sudah mandi berkali-kali, membersihkan daki. keluar ke hutan-hutan, trotoar, gang-gang,
menelusuri kampung-kampung, membawa barang jual, menawarkan kepada tiap orang yang dijumpa,
di tepi-tepi jalanan. seperti moyangku, berangkat sebelum matahari teribit, pulang setelah matahari terbenam.
Karena aku masih bujang, aku suka pada mereka yang berumah tangga, seperti kawan-kawanku.
Menjadi nahkoda, menjadi kapten bagi keluarga. Mereka mengayuh perahu, melawan ombak dan badai.
Mereka terus belajar menandai cuaca, menebak mata angin, membaca garis-garis bintang.
kemudian melewati pulau-pulau pesisir, pelabuhan, dermaga, menuju ke sebuah istana, istana cinta.
Karena aku seorang lelaki, aku suka pada perempuan yang lincah, seperti ibuku.
Perempauan yang lentik jari-jarinya menggengam daun pintu, lalu melemparkannya kepada dunia.
Aku kagum setiap kali mereka menumpahkan matahari dari jendela kamarnya, betapa matahari itu
pecah sebutir demi sebutir, melelehkan langsat kulitnya, menjadi cair keingat dan menenggelamkan
kaki hingga kepala.
Karena aku masih sendiri, aku suka padamu yang setia menanti, seperti kekasihku. teramat jauh,
jauh ke kotamu aku belumlah sampai, menantilah dari hati. Nanti, aku datang membawa karangan mawar
dan melati. Nanti, akan kutanam di matamu, tapi, menantilah..aku musti cari banyak uang supaya itu
bisa kubeli. Pasti, waktu adalah kesetiaan atas segala cinta dan janji.