Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Sepenggal Kisah dari Sekolah Laskar Pelangi

9 April 2023   10:10 Diperbarui: 9 April 2023   10:20 293 3
Setelah beberapa bulan menganggur dikarenakan PHK akibat pandemi, Haris mulai bisa move on dan menentukan langkah yang akan diambil ke depannya. Meski masih dibayang-bayangi kekhawatiran akan merebaknya kembali pandemi, ia telah mantap dengan keputusan yang ia buat.

Ide untuk mengajar di sekolah swasta yang berada dekat rumah mertuanya itu tercetus begitu saja. Tidak semata-mata karena faktor jarak yang dekat tapi karena berbagai macam pertimbangan. Selain usia yang sudah tidak lagi muda, kegiatan mengajar bukan hal yang asing karena berkaitan dengan pekerjaannya dulu.

Haris sadar jika sekolah yang sudah berdiri selama 50 tahun lebih itu, bukanlah tempat yang dapat diandalkan untuk mencari materi. Hal itu disebabkan karena imbalan yang diterima tidaklah seberapa. Namun jika didasari oleh motivasi dan niat yang tulus dan ikhlas, maka semua akan terasa lebih ringan, mudah, dan berkah. Begitu pandangan Haris dan mendapat dukungan dari sang istri.

Pada awalnya Haris cukup terkejut saat mendapati kondisi internal sekolah itu. Kesan awal yang ia tangkap seperti sekolah laskar pelangi di novel best seller-nya Andrea Hirata. Untuk jenjang SMA, masing-masing tingkat hanya ada satu rombel atau kelas saja. Untuk kelas 12, siswanya ada 15 orang. Jumlah itu terbilang lumayan dibanding dengan kelas 10 dan 11 dimana jumlah siswanya masing-masing kelas tidak lebih dari 10 orang.

Selain kekurangan murid, SMA itu juga kekurangan guru. Banyak guru yang keluar karena dipicu oleh pandemi dan berbagai alasan lainnya. Akibatnya jam kosong tidak terelakkan. Fenomena guru rangkap mata pelajaran merupakan hal yang biasa dan tak terhindarkan.

Haris dan sekolah yang saling memerlukan seakan dipertemukan oleh takdir. Kehadirannya di saat genting seperti itu dirasakan besar pengaruhnya dalam mengatasi masalah defisit guru yang terjadi. Bak simbiosis mutualisme, keduanya saling membantu dan melengkapi.


........


Saat bersamaan, istrinya Haris, Mutia, yang mempunyai usaha di dekat sekolah berkenalan dengan Bu Ani. Anaknya Bu Ani, Intan, merupakan salah seorang siswi kelas 12 yang diajar Haris. Saat mengantar dan menjemput sang anak,  Bu Ani kerap mampir ke tokonya Mutia. Di kesempatan itulah, ia banyak bercerita pada Mutia perihal anaknya dan dirinya sendiri.

Dia mengatakan anaknya tidak bisa diterima di SMA negeri setelah mencoba dua jalur yang berbeda yakni jalur prestasi dan zonasi. Di jalur prestasi, nilainya kalah bersaing dengan peserta lainnya. Selain itu, jalur ini memang banyak dan ketat peminatnya sedangkan kuota yang tersedia hanya 10% atau satu rombongan belajar saja. Sementara di jalur zonasi, ia juga tidak berhasil karena faktor umur yang lebih muda meskipun alamat domisilinya terbilang dekat dengan sekolah.

Intan punya nilai akademik yang bagus ketika SD dan SMP. Di kedua jenjang itu ia bersekolah di sekolah negeri. Diluar itu ia juga punya prestasi dan pernah juara beberapa kali lomba menggambar dan mewarnai saat masih di bangku SD. Begitu pula saat hendak SMA, ia ingin melanjutkan ke SMA negeri. Alasan utamanya adalah faktor ekonomi orangtuanya yang tidak mampu.

Saat kondisi deadlock setelah gagal dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), ia disarankan ke sebuah SMA swasta. Karena tak ada pilihan, Intan kemudian dimasukkan ke sekolah itu. Mengingat orangtua Intan yang terkendala finanasialnya, maka seluruh biaya sekolahnya ditanggung oleh adiknya Bu Ani.

Dalam masalah biaya pendidikan, sebenarnya bukan tidak ada usaha yang ditempuh Bu Ani. Ia sudah mencoba jalur afirmasi khusus bagi keluarga yang tidak mampu. Namun upaya itu ditolak dengan alasan Bu Ani dan suaminya berpendidikan sarjana.

Bagi Intan tidaklah mudah memulai sekolah di tempat yang tidak diharapkan. Kondisinya diperparah lagi oleh terjadinya pandemi. Akibatnya sekolah memberlakukan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) atau Belajar Dari Rumah (BDR). Kondisi itu berlangsung selama satu setengah tahun tahun. Saat naik kelas 12, terpikir olehnya untuk pindah sekolah. Namun karena kendala biaya, hal itu diurungkan.

Di suatu kesempatan Bu Ani mengaku ke Mutia jika ia dulunya adalah seorang wanita karir. Karena sibuk dengan pekerjaannya, ia terpaksa harus meninggalkan sang anak dan menitipkannya ke orangtua. Itu sebabnya ia tidak memiliki memori saat anaknya masih kecil.

Kini saat anaknya sudah SMA, ia seolah hendak menebus kealpaannya yang dulu. Berbagai cara ia lakukan dimana salah satunya dengan mengantar dan menjemput sang anak meskipun si anak sendiri sudah besar dan bisa sendiri.  

Bu Ani terpaksa berhenti bekerja karena peristiwa kecelakaan tragis yang menimpanya. Ia terjatuh dari motor yang membuatnya lumpuh total. Pengobatan yang menguras habis keuangan keluarga dilakukan selama berbulan-bulan demi kesembuhan dan kepulihan dirinya. Dengan izin Allah, ia akhirnya bisa sembuh dan sehat kembali meskipun tidak seperti sedia kala. Musibah itu berpengaruh pada gerakan kedua kakinya yang tidak senormal dulu lagi.

Mutia berusaha menjadi pendengar yang baik dan memosisikan dirinya sebagai a shoulder to cry bagi Bu Ani. Ia bersimpati atas setiap masalah yang dialami Bu Ani. Ia coba menghibur dan memberi semangat padanya semampu yang ia bisa lakukan.  

Setiap kali Bu Ani bercerita, Mutia langsung menceritakan kembali hal itu kepada Haris. Sejak saat itu, Haris jadi lebih memperhatikan Intan. Sejak saat itu pula, ia jadi tahu banyak cerita di balik diri dan keluarganya Intan.

Melalui kegiatan belajar dan mengajar di kelas, Haris jadi lebih tahu dan memahami sosok dan pribadi Intan. Baginya, Intan berbeda dari anak-anak lain di kelas. Ia punya kelebihan dan kemampuan di bidang akademis.

"Aku rasa anak itu mestinya bisa bersekolah di sekolah yang lebih memadai dan membantu bagi pengembangan dirinya," ungkap Haris kepada Mutia.

"Andai saja mereka punya pilihan untuk  itu," ujar Mutia.


...........


Di akhir Maret, sebuah keajaiban terjadi. Dengan wajah berseri-seri, Bu Ani mampir kembali ke toko Mutia untuk mengabari jika sang anak diterima di Program Studi Arsitektur Universitas Indonesia lewat jalur prestasi atau SNBP (Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi). Mutia ikut senang mendengar kabar itu dan mengapresiasinya.

Haris terkejut saat  mengetahui hal itu dari Mutia. Benar-benar tidak disangka dan diduga. Seperti mimpi yang menjadi nyata. Untuk bisa lulus atau masuk UI terutama prodi unggulan dan favorit jelas bukan perkara yang mudah. Namun demikianlah faktanya sang anak bisa diterima.

Fenomena itu sarat arti dan makna. Roda kehidupan selalu berputar. Tak ada yang mustahil jika Tuhan berhendak. Klik! Seperti membalikkan telapak tangan. Nasib seseorang bisa berubah 180 derajat seketika.

Bagi Haris yang berusaha bangkit dari keterpurukan akibat pandemi, peristiwa itu sangat relevan dengan dirinya dan mengajarkan pelajaran yang penting dan berarti. Peristiwa itu memberinya semangat dan motivasi untuk terus berjuang tanpa henti dalam kondisi apapun. Pantang menyerah, tidak berhenti berharap, positive thinking, dan melakukan yang terbaik dari tiap tugas atau pekerjaan yang diemban setiap saat.

Demikian yang dilakukan sang anak. Dalam kondisi sekolah yang terdampak akibat pandemi dan keterbatasan guru, ia tetap menunaikan tugasnya sebagai seorang pelajar dengan baik. Belajar dan terus belajar hanya itu yang ia perbuat selama masa sulit itu. Kini semua kerja keras, kesungguhan, dan kesabaran itu membuahkan hasil.

Tidak semua orang bisa mengalami peristiwa serupa. Haris merasa beruntung setidaknya bisa menjadi saksi atas peristiwa langka itu. Juga menjadi bagian dari sepenggal kisah dari sekolah laskar pelangi.

Di kesempatan yang tidak sengaja, Haris bertemu Bu Ani bersama anaknya. Kepada keduanya, ia berkata, "Selamat ya! Saya ikut bangga dan bahagia. Semoga sukses selalu menyertai."


(berdasarkan kisah nyata dengan berbagai penyesuaian dan modifikasi)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun