Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Sengkarut (1/2)

24 September 2022   10:10 Diperbarui: 24 September 2022   10:13 268 3
Jakarta, Maret 1999

"Para hadirin sekalian. Indonesia bangsa yang besar. Wilayahnya begitu luas. Penduduknya sangat banyak. Kekayaan alamnya melimpah-ruah. Budayanya beraneka ragam. Dengan semua itu, apakah hidup adil, makmur, dan sejahtera akan langsung bisa kita nikmati? Apakah status negara besar, terhormat, dan diperhitungkan di mata dunia akan langsung bisa kita sandang?"

"Tidak! Itu sungguh pemikiran yang naif. Cita-cita Indonesia hebat tidak serta-merta dapat kita peroleh tanpa ada perjuangan. Impian itu harus diperjuangkan kembali sebagaimana dulu cita-cita Indonesia merdeka diperjuangkan dengan susah-payah oleh para pejuang dan pahlawan."

"Kita memang sudah merdeka namun ingat perjuangan tidak akan pernah berakhir. Orde reformasi yang baru kita jelang menjadi bukti akan hal tersebut. Banyak hal yang harus kita lakukan. Masa depan negeri ini ada di pundak kita. Apa yang kita perbuat hari ini, kelak akan dituai anak cucu kita."

"Saudara-saudara sekalian. Putra-putri harapan bangsa. Negeri ini memanggil anda. Negeri ini membutuhkan anda. Peran serta dan kontribusi anda sangat diharapkan demi kemajuan dan kemaslahatan bersama. Indonesia gemilang hanya masalah waktu. Tidak inginkah kita mewujudkan impian besar itu sesegera mungkin? Untuk itu, mari kita sama-sama menyongsong Indonesia yang lebih baik dan membanggakan lagi di masa depan."

Selesai menyampaikan orasinya, pria yang mengenakan peci hitam dan batik itu langsung disambut tepuk tangan dari para hadirin yang hadir dalam acara kampanye itu. Saat turun dari podium, masa berebut dan berdesak-desakan untuk menyalaminya. Tak ketinggalan para pejabat dan petinggi partai juga menyalami dan memberinya ucapan selamat.

"Man, jalan, Man!" panggil sang majikan.

Merasa belum ada jawaban, ia pun langsung mengeraskan suaranya.

"Herman!" serunya.

"Iya, Pak! Siap!" ucapnya terbangun dari mimpinya dengan terkaget-kaget di kursi kemudi mobil.

"Astaga! Kenapa nih sopir?" gumamnya dalam hati.

........

Beberapa bulan sebelumnya

Sore menjelang maghrib itu, ramai orang-orang berlalu-lalang di salah satu kawasan padat penduduk di kota Jakarta. Dari jalan cabang yang terhubung ke jalan utama, terdapat sebuah pangkalan ojek. Disana terlihat beberapa tukang ojek yang sedang ngetem menunggu penumpang. Salah seorang dari mereka tampak sedang memperhatikan seorang laki-laki yang baru turun dari metromini lalu menyapanya.

"Elu, Man!" tegurnya.

"Eh, Bang Udin," jawabnya kaget.

"Baru pulang?" tanyanya.

"Iye, Bang. Sekarang ngojek, Bang?" ucapnya.

"Iye. Daripade nganggur di rumah," sahutnya suntuk.

"Lu mau pulang? Nyok ikut sekalian!" ajaknya.

"Makasih, Bang!" katanya segera naik ke motor bebek jadul tetangganya itu.

"Udeh lame ngojeknye, Bang?" tanyanya sesaat motor mulai melaju.

"Baru seminggu. Kalo dipikir, berat rasanye. Setelah 16 tahun kerje, gare-gare krisis moneter, perusahaan gulung tikar dan kite terpakse kene PHK masal. Parahnye pesangon kagak dapet. Alasannye perusahaan terlilit utang ," keluhnya.

"Aye ikut prihatin dengernye, Bang. Mudah-mudahan cepet dapet gantinye ye," imbuhnya.

"Sekarang usie udeh gak mude lagi. Anak-anak makin gede. Kebutuhan juge bertambah. Perasaan hidup di zaman Orba atau Orla kagak jauh beda. Malah tambah suseh. Tapi gak tahu nih Orde Reformasi yang sekarang nih. Siape tahu nasib rakyat kecil kayak kite bise berubah," urainya.

"Banyak yang berpikir dan berharap gitu termasuk aye, Bang. Tapi harga BBM naik. Sembako juge melambung. Rupiah merosot. Kerusuhan dimane-mane. Kok jadi kacau-balau gitu ye?" tukasnya.

"Aye juge jadi berpikir kenape tiap kali bangse nih mau berubeh ke arah yang lebih baek harus berdarah-darah. Ape memang gitu carenye? Tapi setidaknye rezim Orba dan kroninye yang sarat KKN udeh disikat abis semue," timpalnya.

"Omong-omong, gimana kerjaan lu, Man? Masih nyopirin Tuan Mukti?" sambungnya.

"Masih, Bang. Gak terase udeh hampir tige tahun. Semue berkat Mpok," sahutnya.

"Syukur deh. Seneng aye dengernye. Omong-omong, selame tige tahun kerje, gaji naik gak?" guraunya.

"Belum sih, Bang. Tapi kadang aye suka dikasih tambahan sama Nyonye," tuturnya.

"Oh gitu. Oh iye, kabarnye si bos mau nyaleg ye?" tanyanya.

"Iye, bener. Sekarang lagi sibuk-sibuknye kesane kemari. Aye juge jadi ikutan repot nih," timpalnya.

"Kalo orang kaye, enak ye. Mau ape aje bise. Mau bikin partai juge kalo duitnye banyak bise. Beda ame kite. Udeh kerje keras banting tulang jungkir balik, hasilnye gak seberape. Bukan aye pesimis tapi kenyataannye seperti itu," selorohnya.

"Emang gitu, Bang. Kite lihat aje Jakarte. Yang kaye makin kaye, yang miskin makin miskin. Jurang pemisah antara si kaye dan miskin makin dalem. Kesenjangan ekonomi dan sosial makin kontras. Kalo kayak gini terus, gimane nantinye?" celetuknya.

"Kalo udeh gitu, kite bise ape lagi," ujarnya sambil menghentikan motornya.

"Makasih ye, Bang! Gak mampir dulu?" ucapnya saat turun dari motor.

"Makasih deh. Laen kali aje. Maen deh lu ke rumah," katanya.

"Iye, Bang. Tar kesane," pungkasnya.

 .........

Siang itu, seorang wanita dengan penampilan yang trendi dan berkelas, duduk di sebuah restoran mewah. Ia tampak excited menanti kedatangan seseorang. Meski tidak muda lagi, pesona kecantikan dirinya  masih tetap terpancar. Tak lama kemudian muncul seorang laki-laki muda berusia awal 20-an tahun datang menghampirinya. Dengan wajah sumringah, wanita itu menyambut kedatangannya. Itu adalah pertemuan pertama keduanya di ruang publik.

Semua berawal dari telepon yang dilakukan Aldo ke rumah keluarga Mukti untuk menawarkan asuransi dari perusahaan tempatnya bekerja. Mendapat izin untuk datang dan bertemu langsung dengan sang nyonya rumah, Aldo lalu menemui Nadia guna membahas perihal asuransi tersebut lebih lanjut.

Tidak menyia-nyiakan kesempatan berharga itu, Aldo mengerahkan seluruh kemampuannya untuk meraih hati calon customer-nya. Sebagai seorang fresh graduate, karakter gaul dan supel yang melekat padanya sangat cocok dengan bidang yang ia geluti. Meski baru tiga bulan bekerja, kinerjanya mulai terlihat dari bertambahnya jumlah nasabah lewat tangannya.
 
Diluar urusan asuransi, ada hal lain yang Nadia rasakan di momen bersama Aldo. Yaitu perasaan ketika ada seseorang yang bisa diajak bicara, memperhatikan, dan jadi tempat curhat. Kondisi yang kontras terjadi dalam rumah tangganya. Hubungannya dengan sang suami terasa kian hambar dan renggang setahun terakhir ini. Baginya kehadiran Aldo seolah menjadi jawaban atas dilema itu.

Terhadap asuransi pendidikan bagi anaknya, Nadia tanpa ragu menyatakan setuju. Tidak perlu waktu lama, ia langsung menyampaikan hal itu ke Aldo. Ia lalu memintanya untuk mempersiapkan seluruh berkas dokumen dan melakukan pertemuan segera. Aldo menyambut baik keinginan Nadia itu. Pada hari yang ditentukan itu, keduanya bertemu kembali.

"Terima kasih sudah datang," sambut Nadia girang.

"Maaf sudah menunggu, Bu," ucapnya.

"Tidak apa-apa. Panggil Nadia saja," sahutnya.

"You look gorgeous today. I like that brooch," pujinya.

"Oh, thank you," jawabnya tersipu-sipu.

"Maaf jika mengganggu kesibukan anda hari ini," sambungnya.

"Oh, tidak sama sekali. Sebenarnya saya sangat mendambakan pertemuan ini sejak telepon anda waktu itu," ungkapnya.

"Ini semua berkasnya. Kalau semua sudah oke, silahkan ditandatangani," lanjutnya sambil menyodorkan pulpen.

"Aldo, please stay for a while! We'll have lunch before you're going back to work.  Okay?" ajaknya sesaat setelah selesai tanda tangan.

"That would be wonderful. I'm so honored to be with you. Thank you," balasnya.

Selesai pertemuan dan jamuan makan yang mengesankan itu, Nadia berterima kasih sambil menyentuh jemari Aldo di atas meja. Tak menyangka hal tersebut, Aldo balik berkata dia yang justru harus berterima kasih atas kebaikan Nadia padanya. Nadia bahkan menawarinya untuk mengantar kembali ke kantor kalau saja Aldo datang tanpa motor. Di ujung perpisahan itu, keduanya tampak bahagia dan tersirat keinginan untuk bertemu kembali.

........

Di rumah sepetak dua lantai yang berdempetan dengan rumah lainnya, disanalah Bang Udin dan keluarganya tinggal. Dihubungkan oleh gang-gang sempit, rumah itu terletak di pemukiman padat penduduk di jantung kota Jakarta. Berada tak jauh dari Kali Ciliwung, kawasan itu rentan akan ancaman banjir yang datang sewaktu-waktu terutama saat hujan turun.

Dihuni Bang Udin, istri, dan tiga orang anaknya, rumah itu sebenarnya kurang layak untuk ditempati. Namun tak ada pilihan lain bagi warga kelas menengah ke bawah seperti Bang Udin. Demi bertahan hidup di kota besar seperti Jakarta, mereka terpaksa harus menyesuaikan diri dengan keadaan.

Orangtua Bang Udin dan juga istrinya merupakan keluarga pendatang yang sudah lama tinggal di Jakarta. Sekian lama berbaur dengan budaya dan penduduk asli setempat, tak heran jika mereka juga dianggap sebagai orang Betawi.

"Bang, Sani bilang ke aye perlu biaye buat praktikum sekolahnye. Dini juge katenye mau study tour ke Yogya. Aye bilang ke mereka berdue tar Enyak bilangin dulu ke Babe. Sabar, ye," ungkapnya.

"Iye, Min. Pas banget tu bocah-bocah. Satu kelas 3 SMA same 3 SMP. Masih untung si bontot baru kelas 4 SD. Doain aje Abang sehat bise cari rezeki. Lu juge, Min. Sehat terus supaye tetep kerje di rumeh si bos," jawabnya.

"Oh iye. Satu lagi, Bang. Cicilan motor udeh due bulan nih nunggak. Kasian tuh bocah-bocah sekolahnye kalo motornye sampe diambil same dealer," tuturnya.

"Iye, Min. Abang tahu. Mudah-mudahan ade rezekinye ye," tukasnya.

Terngiang kembali percakapan dirinya dengan sang istri beberapa hari lalu saat sedang ngetem di pinggir jalan. Tiga bulan setelah dirumahkan, hidup Bang Udin sekeluarga tampak semakin susah. Penghasilannya dari ngojek naik turun dan tidak menentu. Namun ia tidak punya pilihan lain. Beruntung sang istri bekerja di rumah Tuan Mukti.

Mpok Mineh memang sudah lama bekerja sebagai pembantu rumah tangga di perumahan tempat keluarga Mukti berada. Sejak keluarga Mukti pindah ke rumah itu lima tahun lalu, Mpok Mineh sudah bekerja untuk mereka. Ia datang setiap pagi diantar oleh Bang Udin. Berbagai pekerjaan rumah tangga ia lakukan hingga selesai sekitar pukul 10 atau 11. Setelah selesai, ia terbiasa pulang sendiri karena jarak ke rumahnya tidak terlalu jauh.

Terdengar bunyi klakson kendaraan seakan saling bersahut-sahutan sehingga membuat Bang Udin tersadar dari lamunannya. Tak disangka sebuah mobil yang tidak asing baginya melintas pelan di hadapannya. Di tengah kondisi jalan yang padat merayap, terlihat cukup jelas penumpang di dalam mobil sedan putih itu.
 
"Nyonye Mukti dengan seorang laki-laki. Tapi jelas bukan Tuan. Kayaknye masih muda orangnye. Kelihatannye akrab banget," gumamnya.

Mendadak ia teringat cerita istrinya. Saat itu ia tidak terlalu menanggapi karena tidak percaya. Ia malah menganggap istrinya sudah berburuk sangka pada Nyonya.

"Lu jangan gosip aje, Min. Gak baek. Dose tau," ujarnya.

"Aye gak gosip, Bang. Aye cerite ape adenye. Aye lihat sendiri si laki-laki tuh dateng ke rumah ketemu Nyonye. Malah aye sendiri yang nyuguhin minum waktu die bertamu. Terus due tige kali aye denger gak sengaje mereka lagi ngobrol di telepon," kilahnya.

"Bener tuh kate Mineh. Sekarang aye udeh lihat langsung dan ngebuktiin. Kalo emang hal itu bener terjadi, kebangetan deh Nyonye. Gak kasihan ape same Tuan. Kalo tar ketahuan, ape jadinye nanti rumeh tanggenye," gumamnya sambil menatap mobil itu berlalu dari hadapannya.

........

Tuan Mukti adalah sosok pengusaha muda sukses yang punya segalanya. Harta kekayaan, kedudukan, status sosial, reputasi, relasi, istri, dan anak dimilikinya semua. Namun ada satu hal yang belum ia rasakan dan membuatnya terobsesi untuk meraihnya. Apalagi kalau bukan kekuasaan dan jabatan publik. Hal itulah yang kemudian mendorongnya untuk ikut kontestasi pemilu legislatif tahun 99.

Siang itu, ada hal yang tidak biasa dilakukan Tuan Mukti. Disodori selembar kartu nama berisikan sebuah alamat, Herman disuruh Tuan mengantarnya ke alamat tersebut. Herman tahu banyak jalan di Jakarta karena sebelum jadi sopir Tuan Mukti, ia sudah narik angkot sejak remaja.

Saat sopir sebelumnya berhenti karena sakit-sakitan, ia ditawari Mpok Mineh untuk menggantikannya. Herman yang tinggal tidak jauh dari rumah Mpok Mineh dan Bang Udin, tanpa pikir panjang menerima pekerjaan tersebut. Itu sebabnya ia merasa sangat berutang budi pada Mpok Mineh.

Tiba di sebuah SPBU sesuai dengan alamat yang tertulis, seorang pria mendatangi mobil Tuan Mukti yang baru terparkir. Pria itu lalu masuk ke mobil dan tak lama kemudian mobil berjalan kembali. Berada di dalam mobil yang sama, tak pelak percakapan antara tuan dan tamunya itu, didengar langsung oleh Herman.

"Pak Mukti tak perlu khawatir. Jumlah suara segitu bukan masalah. Kami bisa membantu anda mewujudkannya. Banyak yang sudah memakai jasa kami. Mereka sudah membuktikan sendiri hasilnya. Berbagai posisi penting dan strategis dalam pemerintahan mereka tempati. Namun kami tidak bisa menyebutkan nama mereka karena itu rahasia dan tidak etis. Bahkan saya pun tidak bisa memberi tahu Bapak identitas saya sebenarnya karena terikat dengan kode etik kami," tuturnya.

"Jadi saya harus percaya pada anda walaupun saya tidak kenal sama sekali," ujar Tuan menohok.

"Sayangnya begitu, Pak. Mohon Bapak maklum. Ini tidak lain karena tuntutan pekerjaan ini. Banyak pihak yang terlibat di dalamnya. Jadi kami harus ekstra hati-hati. Tujuannya tidak hanya kebaikan diri kami sendiri tapi juga klien kami. Untuk itu, kami sangat mengharapkan kepercayaan Bapak pada kami dalam pekerjaan ini," sahutnya.

"Silahkan Bapak pikirkan dulu baik-baik. Kami hanya menawarkan saja. Pilihan ada pada Bapak," lanjutnya.

"Apakah kita akan bertemu lagi setelah ini?" tanyanya.

"Nanti kami yang akan menghubungi Bapak kembali sebab kami tidak bisa dihubungi. Pastikan Bapak sudah mantap dengan jawaban yang akan diberikan karena tawaran ini hanya datang sekali saja. Begitu Bapak menyatakan oke, kami akan segera gerak cepat. Bekerja dengan rapi, senyap, dan terselubung," pungkasnya sambil menjabat tangan Tuan lalu keluar dari mobil.


(BERSAMBUNG)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun