Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Anonim (3/4)

2 April 2022   10:17 Diperbarui: 2 April 2022   10:17 285 2
Hari-hari itu terasa mencekam. Demonstrasi anti pemerintah tanpa henti digelar di berbagai kota secara serentak dan masif. Mereka menyuarakan hal yang sama yakni pergantian kekuasaan yang telah bercokol selama 30 tahun lebih di Tanah Air. Mereka menghendaki suksesi kepemimpinan dari rezim Orde Baru karena maraknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang berdampak buruk bagi kehidupan bangsa dan negara.

Krisis kepemimpinan telah melahirkan ketidakpercayaan publik yang memuncak di tahun 1998. Mahasiswa sebagai motor pelopor pergerakan, menuntut perubahan total melalui gerakan reformasi. Dengan jargon "turunkan presiden", "bubarkan orba", "berantas KKN", "turunkan harga sembako", mereka turun bersama-sama ke jalan dan dengan lantang menuntut mundur status quo.  

Krisis moneter tahun 1997 yang melanda beberapa negara Asia termasuk Indonesia, seakan menjadi jalan pembuka bagi kejatuhan penguasa Orba. Krisis tersebut membuat kondisi ekonomi dalam negeri kian berantakan dimana rupiah merosot, utang luar negeri menumpuk, dan harga sembako melonjak.

Pada gilirannya, kondisi itu membuat rakyat tidak bisa lagi menolerir pemerintah yang berkuasa. Wajar jika kemudian penguasa yang sudah berkuasa sejak 1966 itu dituntut mundur dari tampuk kekuasaannya.

.......

Mengenakan jaket kuning almamaternya, sang mahasiswa larut dalam lautan para demonstran. Sejak memutuskan pensiun bermain musik pasca kematian salah satu personel bandnya, ia kembali fokus pada urusan sekolahnya. Di penghujung tahun SMA-nya, ia berusaha keras agar bisa lulus dan juga kuliah di universitas negeri.

Impiannya itu akhirnya terwujud. Saat ia dinyatakan diterima di PTN idaman, Mama begitu bangga padanya. Sekali lagi, Mama seakan membuktikan strategi yang telah ia tempuh itu kembali membuahkan hasil. Sesuai dengan janjinya, sebuah mobil kemudian dihadiahkan kepada sang anak atas keberhasilan itu.

Masih segar dalam ingatannya, sebuah pertanyaan yang dulu ia ajukan saat masih duduk di bangku SD. Saat kuliah, pertanyaan itu seakan bergaung kembali. Seiring waktu dan bertambahnya pengetahuan dan informasi yang diperoleh, muncul pemahaman dalam dirinya.

Menurutnya, Indonesia sebenarnya negara kaya raya tetapi kemudian jadi merana karena salah kelola. Lalu apa solusinya? Berkaca dari negara tetangga Singapura yang berhasil menjadi maju dan kaya, maka diperoleh dua faktor kunci yaitu kepemimpinan dan kemauan.  

Singapura telah membuktikan dua faktor itu sejak dari awal berdirinya. Meski tanpa sumber daya alam, mereka kemudian bisa menjadi negara maju sekaligus pusat keuangan dan bisnis dunia seperti sekarang. Hebatnya lagi hal tersebut mampu diwujudkan dalam kurun waktu dua puluh tahun saja sejak negara itu merdeka tahun 1965.

Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia bukan tidak mampu melakukan hal yang sama. Dengan sumber daya alam dan manusia yang dimiliki, Indonesia sangat mungkin mengikuti jejak Singapura. Dengan semangat dan tekad kuat disertai kerja keras, tidak menutup kemungkinan suatu hari kelak Indonesia bisa sejajar dengan Singapura atau bahkan melebihinya.

Terdorong akan hal itu, ia mulai terlibat dalam organisasi kemahasiswaan. Dengan membawa idealisme semacam itu, berbagai aksi dan demonstrasi ia ikuti. Kadang tidak sedikit aktivitas itu berakhir dengan pembubaran dan kericuhan. Hal itu dikarenakan rezim Orba sangat  sensitif dan alergi dengan segala macam kritik meski itu positif dan membangun sekalipun.

Saat pecah reformasi 98, ia berada di akhir tahun kedua perkuliahan. Sehari setelah peristiwa penembakan di Trisakti, ribuan mahasiswa dan pelajar dari Jakarta dan sekitarnya turun ke jalan melakukan aksi long march menuju Universitas Trisakti. Mereka mengutuk keras aksi represif dan brutal aparat terhadap mahasiswa sehingga menimbulkan korban jiwa.

Sambil membawa spanduk, mereka meneriakkan yel-yel reformasi. Mereka berkumpul disana untuk menyatakan solidaritas dan bela sungkawa mereka atas tragedi tersebut. Mereka juga berjanji akan terus melanjutkan perjuangan agar apa yang diamanatkan dari gerakan reformasi dapat tercapai.

......

Di hadapan barisan aparat yang sudah berjaga dan bersiaga dengan peralatan lengkap, satu per satu mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi bergantian menyampaikan orasinya. Tampak jelas ketegangan mewarnai kedua belah pihak. Mewakili almamaternya, sang mahasiswa didaulat untuk berorasi.

"Rekan-rekan mahasiswa juga pelajar sekalian. Kita sama-sama mengetahui peristiwa tragis yang menimpa rekan-rekan kita sesama mahasiswa kemarin. Kita mengecam keras tindakan penyerangan dan kekerasan aparat terhadap mahasiswa yang berdemonstrasi dengan damai di dalam kampus. Untuk itu, tiada kata lain bagi kita selain terus berjuang melanjutkan perjuangan rekan-rekan kita yang telah mengorbankan jiwa raganya demi tegaknya reformasi. Kita harus terus berjuang sampai tujuan reformasi ini bisa tercapai. Hidup mahasiswa! Hidup reformasi!"

Seiring siangnya hari, suasana semakin memanas. Tiba-tiba saja gas air mata ditembakkan ke arah pendemo beberapa kali. Sontak semua orang kocar-kacir dibuatnya. Sang mahasiswa yang berada di barisan depan, sambil menahan mata yang perih segera bergerak mundur masuk ke dalam area kampus.

Tanpa disadari, dari balik kabut tipis muncul seorang aparat berpakaian lengkap lalu mendorongnya dengan memakai tameng sehingga membuatnya terjerembab ke belakang. Tanpa ampun sang mahasiswa lalu diringkus dengan tangan diborgol. Dengan wajah tertelungkup ke tanah, ia hanya bisa menyaksikan pemandangan chaos terjadi di sekitarnya dengan pasrah.

.......

Malam itu, Mama tampak cemas. Ia buru-buru mematikan televisi yang tiada henti dari sore menyiarkan berita bentrokan yang terjadi antara aparat dan mahasiswa. Terlintas di benaknya tragedi berdarah Trisakti yang baru satu hari berlalu. Membuatnya khawatir jika terjadi sesuatu pada si anak. Sementara itu, Papa terlihat beberapa kali menelepon sekretariat Badan Eksekutif Mahasiswa untuk menanyakan perihal anaknya.

Di pagi itu sebelum berangkat, si anak pamit pergi ke kampus namun tidak memakai mobilnya. Seperti biasanya tanpa bilang ke Mama, ia selalu pulang ke rumah saat sore hari atau paling lambat maghrib. Kalaupun ada keperluan atau terlambat pulang, ia akan menelepon untuk mengabari.

Kali ini yang terjadi sebaliknya. Tak ada kabar berita dari sang anak sementara pemberitaan di media massa sedang heboh-hebohnya tentang bentrokan kembali antara aparat dan mahasiswa yang melakukan unjuk rasa di tempat yang sama. Hal itulah yang membuat kedua orangtuanya gusar.

"Apa kata BEM, Pa?" tanya Mama.

"BEM masih mencari tahu jika ada laporan mahasiswanya yang 'hilang'," kata Papa.

"Terus gimana?" tanya Mama lagi.

"Kalau ada perkembangan, mereka akan lapor ke kita. Berdoa saja semoga segera ada kabar berita," ujar Papa.

Suasana kian tegang. Telepon yang ditunggu-tunggu belum masuk sejak satu jam dari kontak terakhir. Sang anak yang dinanti-nantikan kepulangannya juga belum ada tanda-tanda. Sementara malam semakin bertambah larut. Ditambah kondisi fisik yang melemah dan pikiran lelah, semuanya lengkap sudah.

Pukul sepuluh lebih sedikit, terdengar suara sebuah motor berhenti di depan rumah diikuti bunyi pagar yang dibuka. Papa langsung bergegas keluar disertai Mama. Bak orang pulang dari haji, kedatangan sang anak disambut riang gembira oleh kedua orangtuanya.

"Kami sangat mengkhawatirkanmu. Kamu baik-baik saja, Nak?" tanya Mama dengan mata berkaca-kaca.

"Baik-baik saja, Ma," jawabnya dengan tenang.  

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun