Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

"Sebelum Semuanya Terlambat"

23 September 2020   19:20 Diperbarui: 23 September 2020   19:30 91 4
Umat manusia di seluruh dunia saat ini sedang dihantui oleh sebuah pertanyaan besar yaitu kapankah pandemi covid-19 berakhir. Berbagai prediksi atau spekulasi ahli, ilmuwan, akademisi, dan media bermunculan. Dirjen WHO Tedros Adhanom berasumsi pandemi covid baru bisa berakhir dua tahun lagi (bbc.com 22/8/2020). Namun tak seorang pun sejatinya bisa memastikan hal itu. Bisa saja waktunya lebih cepat atau malah sebaliknya. Hanya Tuhan yang tahu dan kuasa ada padaNya.

Dampak pandemi covid begitu luar biasa. Hampir seluruh bidang, negara, kelas ekonomi, strata sosial, usaha atau perusahaan terkena imbasnya. Seorang epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman menyatakan bahwa virus corona membawa dampak sangat besar dalam kehidupan manusia di dunia bahkan terbesar sepanjang sejarah pandemi (okezone.com 29/8/2020). Bahkan dampaknya masih akan terasa hingga puluhan tahun ke depan seperti yang dikatakan pimpinan WHO (antaranews.com 1/8/2020).

Sampai awal September, corona dunia mencapai hampir 30 juta kasus, meninggal hampir 1 juta, dan sembuh 20 jutaan (wikipedia.org). Setidaknya sudah 200 negara yang mengonfirmasi terjangkit virus ini. Sementara untuk skala nasional, berdasarkan data di laman covid-19.go.id, terdapat 220 ribuan kasus, sembuh 164 ribuan, dan meninggal 9000an.

Dibanding pandemi Black Death abad ke-14 yang memakan korban 75 sampai 200 juta jiwa menurut data National Geographic, angka kematian covid lokal dan global totalnya tidak seberapa. Namun efek destruktif yang ditimbulkannya begitu hebat. Tidak hanya mengancam kesehatan dan keselamatan jiwa manusia tapi juga meneror bidang ekonomi, sosial, psikologi, dan  geopolitik yang akan sangat mungkin menyaingi dampak pandemi flu Spanyol 1918 yang jauh lebih mematikan.

Kekacauan dan kerusakan yang ditimbulkan pandemi ini begitu nyata dan kronis. Kita bisa lihat dari data dan fakta yang tersaji di media atau bahkan dalam realitas kehidupan sehari-hari di sekitar kita. Corona "berhasil" menyabotase dan mengubah tatanan hidup manusia di planet ini hanya dalam hitungan beberapa bulan saja.

Hari-hari belakangan ini makin identik dengan kemunduran, perlambatan, dan stagnasi hampir di semua bidang kehidupan. Sadar atau tidak fase bertahan hidup sesungguhnya sudah dimulai. Pada tahap ini, kebanyakan orang tidak punya pilihan lain selain berusaha sebisa mungkin meredam laju ekses negatif akibat ganasnya pandemi agar tidak kian terpuruk. Ketidakpastian kapan berakhirnya pandemi makin menambah beban berat fase survival ini harus dijalani.

Skenario new normal yang digulirkan pemerintah sejak 1 Juni lalu menyaratkan adanya perubahan kebiasaan dan adaptasi baru segenap warga dalam sejumlah aspek kehidupan. Dalam prakteknya bukanlah suatu hal yang mudah diterima dan diterapkan seluruh kalangan. Rendahnya tingkat kesadaran masyarakat terutama di zona merah terhadap protokol kesehatan selama pandemi berandil besar dalam reproduksi penularan virus corona yang kian masif.

Data menunjukkan sejak diberlakukannya new normal, kasus covid di Indonesia malah melonjak tiap bulannya. Di akhir Juni terjadi peningkatan 29 ribuan kasus, akhir Juli 52 ribuan kasus, dan akhir Agustus 66 ribuan kasus. Bahkan pada Kamis, 3 September lalu, Indonesia mencatatkan rekor penambahan kasus harian sebesar 3.622 orang (kompas.com 1/9/2020).

Tak lama berselang, Indonesia langsung dilockdown 59 negara. Sementara itu, CDC, otoritas AS dalam penanganan penyakit, mengeluarkan travel warning level 3 ke Indonesia. CDC menyebut bahwa risiko covid-19 di Indonesia tergolong tinggi. Sehingga masyarakat AS diimbau untuk tidak bepergian ke Indonesia kecuali mendesak (suara.com 8/9/2020).

Tren kenaikan ini masih sangat mungkin terus berlanjut. Menurut Pakar Epidemiologi Universitas Indonesia, Pandu Riono, meski telah mencapai angka 100.000, puncak pandemi masih jauh. Ia menilai puncak pandemi dapat dilihat jika sudah ada perlambatan pertumbuhan kasus dan itu sulit diprediksi di Indonesia (voaindonesia.com 3/7/2020). Sementara itu, Syahrizal Syarif, epidemiolog lain dari UI memprediksi kasus positif covid di Indonesia bisa capai 500 ribu pada akhir tahun (liputan6.com 10/9/2020).

Muncul pertanyaan mengapa kasus covid di negera kita masih tetap tinggi dan belum ada tanda-tanda penurunan hingga September ini. Kenapa negara lain ada yang mampu dan berhasil menangani covid? Bagaimana caranya? Apa resepnya? Tidak bisakah kita tiru dan terapkan di Tanah Air?

Berkaca pada beberapa negara yang berhasil dalam menangani covid, ada beberapa faktor yang menjadi kunci suksesnya yakni:

Pertama, kepemimpinan. Di awal merebaknya corona, negara-negara seperti Laos, Kamboja, Vietnam, Taiwan, Hong Kong, dan Selandia Baru begitu aware, cepat beraksi, siap siaga dalam mengantisipasi penyebaran corona lebih lanjut. Kepemimpinan yang cepat dalam mengambil keputusan, bekerja keras dan cerdas serta tegas dan konsisten dalam eksekusi kebijakan, menjadi kunci utama bagi pemulihan kesehatan nasional.

Negara seperti Vietnam dianggap punya respons cepat dan kontrol pemerintah yang kuat. Vietnam bisa membuat keputusan yang cepat dan implementasi dengan segera. Sistem politik Vietnam sebagai negara satu partai, disebut para ahli sebagai penyokong keberhasilan dalam mengatasi covid.

Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern diakui banyak pengamat sebagai salah satu kepala negara yang sukses perangi corona. Selandia Baru bahkan mencatat 100 hari tanpa kasus covid. Namun Ardern tetap menerapkan protokol kesehatan demi mencegah gelombang baru corona (detik.com 10/8/2020). Profesor Michael Baker dari Universitas Otago, menyebut kekuatan utama Selandia Baru adalah kombinasi antara ilmu pengetahuan dan kepemimpinan (cnnindonesia 16/4/2020).

Kemudian, sinergi antar stakeholder. Selandia Baru dianggap contoh yang tepat dan layak jadi acuan bagaimana pemangku kepentingan di Selandia Baru dapat berkolaborasi dengan baik. Pemerintah bersama parlemen termasuk oposisi, bahu-membahu dalam melawan covid (bisnis.com 5/6/2020). Dukungan parlemen pada pemerintah ikut berkontribusi pada kesuksesan Negari Kiwi ini dalam mengatasi penyebaran covid.

Berikutnya, sistem kesehatan dan teknologi. Belajar dari pengalaman epidemi sars tahun 2002-2004, Hong Kong dan Taiwan yang terdampak parah, telah mengantisipasi munculnya wabah penyakit baru, menular, dan berbahaya dengan membangun sistem dan fasilitas kesehatan kelas dunia. Taiwan menggunakan big data dan teknologi untuk menahan laju penyebaran virus corona. Sementara Hong Kong melakukan pengujian virus corona yang sangat banyak dan cepat seperti yang dilakukan Korea Selatan dan Singapura (grid.id 23/5/2020).

Selanjutnya, aturan dan sanksi. Selama pandemi berbagai negara "berlomba" membuat berbagai aturan plus sanksi hukuman dari yang ringan sampai berat. Dari sebatas sanksi sosial sampai denda dan pidana penjara. Diharapkan hal itu dapat memberi efek jera bagi pelanggar sekaligus meredam menjalarnya pandemi.

Misalnya Singapura membuat UU Penyakit Menular. Jika melanggar, ancamannya hukuman penjara hingga 6 bulan atau denda maksimal 10.000 dollar Singapura (sekitar Rp 112 juta) atau kombinasi keduanya (kompas.com 27/3/2020). Di Korea Selatan, warga asing yang melanggar ketentuan karantina terancam dideportasi. Sedangkan warga lokal terancam hukuman penjara dan denda (katadata.co.id 24/4/2020). Taiwan memberlakukan hukum yang tegas kepada mereka yang membuat atau menyebar hoaks medis tentang wabah virus corona (kumparan.com 7/4/2020). 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun