“Kamu menyeberang dari depan restoran itu. Di depan minimart Anu, tanya Pak Ogah (tukang parkir amatiran) yang biasa berkumpul di situ. Mereka pasti tahu rumah Ustad Muhajir, karena dulu setiap aku menjemputnya, dia selalu menunggu di situ.” Demikian kata temannya yang dulu biasa menjemput Ustad Muhajir dengan sepeda motor.
Arif yang agak takut menyeberangi jalan ramai terpaksa harus berdiri agak lama me-nunggu arus kendaraan terputus. Setelah sampai di seberang, ia langsung mendekati seorang pemuda kurus yang di tangan kanannya ada tulisan (tato) “ini tangan gua” dan di tangan kirinya ada tato “Panjul”. Arif menduga tato yang terakhir itu nama panggilan si pemuda, tapi ia tak berani memastikan.
“Dik,” kata Arif, “tahu rumah Ustad Muhajir?”
“Ustad Muhajir?” ‘Panjul’ mengulang pertanyaan Arif. Berpikir sesaat, kemudian menyambung, “Saya orang sini, tahu ustad-ustad di sini, tapi … rasanya nggak ada tuh yang namanya Muhajir.”
“Katanya dia suka nongkrong di sini; ngobrol, bercanda, atau main catur dengan anak-anak parkir!” kata Arif.
Panjul tertawa. “Mana ada ustad yang mau bergaul sama anak-anak parkir. Ngliat kita aja mereka pada sinis!”
Arif garuk-garuk kepala.
“He Papan! Sini lu!” teriak Panjul tiba-tiba pada temannya yang lebih kurus.
“Ngapa lu, Penggilesan! Mo bagi doku?”
“Doku! Palelu kayak gocapan! Tuh, lu pungutin doku di latar; masukin celengan!” kata Panjul sambil menunjuk lantai halaman minimart yang di atasnya bertebaran uang logam 25-an dan 50-an, yang rupanya dibuang anak-anak tukang parkir itu setiap hari. Pe-muda yang dipanggil Papan itu hanya melirik sekilas sambil terus berjalan ke arah Panjul.
“Eh, elu kenal Ustad Muhajir kagak?” sambung Panjul setelah si Papan berdiri hampir rapat di depannya.
“Ustad Mubajir? Lucu juga namanya,” si Papan pura-pura salah dengar.
“Tampang lu tuh mubajir! Muhajir, budeg! Kenal kagak?” bentak Panjul sambil seenaknya ngelepak kepala temannya.
Si ‘Papan’ cuma nyengir. “Kagak tahu,” katanya kemudian.
“Dasar tikus! Kenalnya kodok doang lu! Coba lu tanya temen-temen!”
Si Papan dengan lincah berlari ke arah teman-temannya yang bergerombol di sebuah sudut, mengelilingi papan catur yang ditaruh di tanah. Tak lama kemudian ia sudah kembali menghadap Panjul. “Kagak ada yang kenal!” katanya.
Panjul menegaskan kabar itu kepada Arif melalui tatapan matanya. Arif garuk-garuk kepala lagi. Wajahnya tampak bingung.
“Begini aja, Mas!” Kata Panjul. “Di sini ada beberapa madrasah, sekolahan, rumah yatim-piatu, majlis ta’lim, masjid, musola … Para ustad kan biasa ngumpul di tempat-tempat gituan!”
Arif segera mengerti. “Iya dah, saya cari,” katanya sambil mengangguk-angguk.
Setelah mengucapkan terimakasih kepada tukang parkir yang ramah itu, Arif mulai melakukan pencarian. Ia tidak lantas mengi-kuti petunjuk Panjul tapi masuk saja ke sembarang gang. Satu demi satu orang yang dipergokinya ditanya. Kadang ia menghampiri warung, tempat-tempat orang berkerumun, tukang-tukang ojek, dan siapa pun. Tapi, setelah sekitar satu jam berjalan, ia belum ber-temu dengan orang yang mengenal Ustad Muhajir. Sekitar sepuluh menit kemudian, sampailah ia di sebuah madrasah. Dari situlah ia mulai melaksanakan cara pencarian yang diajarkan Panjul. Tapi, setelah bertanya kepa-da para pedagang, ibu-ibu, bapak-bapak, para ustad sampai kepala sekolah, ternyata tidak seorang pun yang mengenal Ustad Muhajir.
Dari situ, Arif melanjutkan pencarian. Bertanya pada orang-orang, memasuki majlis-majlis ta’lim, masjid-masjid dan seterusnya. Tapi Ustad Muhajir, seperti sebatang jarum dalam tumpukan pakain bekas di sebuah gudang, belum juga ditemukan. Jangan-jangan ‘jarum’ itu memang tak ada di situ, pikirnya. Tapi, apa mungkin temannya berbohong? Atau dia salah menyebut nama tempat? Mungkin Ustad Muhajir dulu bukan dijemputnya dari kampung ini…
Tak terasa sudah hampir setengah hari ia mencari. Dalam keadaan hampir putus asa, ia menghampiri sebuah kerumunan, lalu meng-ulang pertanyaan yang sama. Jawaban yang sama pun diterimanya. Tak ada yang tahu Ustad Muhajir.
Dengan langkah gontai Arif meninggalkan kerumunan itu. Tapi belum lima menit, ia merasa ada yang mengikutinya. Ketika menoleh ke belakang, seorang pemuda tersenyum kepadanya. Usianya mungkin beberapa tahun lebih tua dari Arif.
“Saya dengar Mas cari Ustad Muhajir?” katanya.
“Oh, iya, benar. Anda kenal?”
“Enaknya kita ngobrol di masjid,” pemuda itu menunjuk sebuah masjid di tengah kampung yang cukup besar, resik, dan sejuk. “Sambil menunggu maghrib!” katanya pula.
Sudah mau maghrib? Arif agak terhenyak. Kemudian mereka memasuki masjid itu. Duduk di lantainya yang bersih. Arif berusaha mengurangi keletihan dengan duduk bersandar sambil memanjangkan kakinya.
“Mau minum?” pemuda itu membuka percakapan.
“Oh, nggak, nggak. Terimakasih!”
“Tunggu sebentar,” kata pemuda itu sambil berjalan menuju sebuah warung kecil. Di situ ia membeli dua botol air mineral. Arif menerima sebotol air yang disodorkan kepadanya dengan agak gugup, lalu mengucapkan terimakasih berkali-kali.
Kemudian mereka pun saling berkenalan. “Nama saya Satria. Kamu boleh panggil saya Satria, Abang, Mas, atau apa saja; asal jangan panggil saya Bang Sat,” kata pemuda itu.
“Saya panggil Abang saja,” kata Arif sambil tertawa kecil.
“Dari mana kamu kenal Ustad Muhajir?”
“Dari teman saya, tepatnya tetangga sekaligus senior saya di kampus. Kami sering ngobrol soal agama, dan senior saya ini sering mengajukan pandangan-pandangan yang saya rasa baru dan agak aneh, tapi justru itu saya menjadi tertarik. Sayangnya sekarang dia sudah pulang ke Surabaya. Menjelang dia pulang itulah, beberapa tahun yang lalu, dia meninggalkan alamat Ustad Muhajir yang disebutnya sebagai gurunya. Tapi alamatnya cuma begini…”
Arif memperlihatkan kertas lusuh yang ada di saku bajunya. Sebuah peta jalan yang sangat sederhana. Di situ bahkan tidak ada nomor rumah, erte, erwe, dan keterangan-keterangan lain yang diperlukan. Satria tertawa.
“Kenapa Abang ketawa?” tanya Arif.
“Alamat ini benar!”
“Jadi, Ustad Muhajir memang tinggal di kampung ini?” Arif bertanya sambil membersitkan senyum gembira.
“Ya. Tapi mungkin cuma saya yang kenal dia. Orang-orang sini mengenalnya dengan nama lain; dan kalau nama itu ditanya, mereka akan menjawab dengan ketus bahwa dia sudah pindah …”
“Oh! Jadi dia sudah pindah dari sini?” kegembiraan Arif memudar lagi.
“Bukan pindah tempat tinggal, tapi pindah agama.”
“Pindah agama? Jadi Kristen? Hindu? Buddha?”
“Bukan. Mereka bilang dia sudah memeluk agama baru, Islam Baru, bikinan dia sendiri. Kadang mereka bilang dia sudah masuk aliran sesat.”
“Oh!” desah Arif sambil mengangguk-angguk.
“Lalu, Abang ini siapanya?” tanya Arif kemudian.
“Temannya. Sebenarnya murid, tapi dia tak pernah mau disebut guru atau ustad. Sebutan ustad hanya digunakan orang-orang yang belum akrab dengannya. Dia sendiri meminta agar dirinya disebut Muhajir saja.”
“Kenapa dia minta disebut Muhajir?”
“Itu ada sejarahnya.”
“Lalu nama aslinya siapa?”
“Cukuplah kamu kenal dia sebagai Muhajir.”
Arif memperlihatkan sikap heran, tapi ia tak berani memprotes orang yang baru beberapa saat dikenalnya itu, yang tampaknya berusaha menyimpan sebuah rahasia.
“Menurut Abang, apa benar Ustad Muhajir itu sesat?”
“Yang saya tahu, orang-orang tidak mengerti cara pemahamannya. Biasa lah, pada umumnya orang kan menerima agama hanya sebagai sebuah paket kepercayaan, yang bahkan hanya diterima sebagai sebuah warisan dari nenek-moyang. Karena itu, ketika ada yang mencoba melakukan pengkajian kritis, muncul lah tuduhan sesat dan sebagainya.”
“Jawaban Abang mirip dengan jawaban teman saya,” kata Arif.
Satria hanya tersenyum.
“Saya sendiri sedang bingung,” sambung Arif setelah beberapa saat terdiam. “Sebenarnya ukuran kebenaran agama itu apa? Ada banyak agama. Ada banyak aliran dalam satu agama. Dalam Islam saja begitu banyak mazhab, dan semua mengaku sebagai pihak yang benar. Ketika ngobrol dengan teman yang saya sebutkan itu, saya merasa senang karena dia mengajak saya berpikir. Di satu sisi, kata orang agama bukan lah sesuatu yang harus dipikirkan. Tapi bagi saya, rasanya sulit untuk menerima agama sambil membiarkan pikiran saya menganggur.”
“Hal itu juga yang terjadi pada saya, sehingga saya belajar pada Muhajir. Sampai kemudian terjadi peristiwa tragis,” kata Satria.
“Maksud Abang?”
“Sejak dia dianggap sesat, dia dimusuhi banyak orang. Di antaranya, yang paling keras memusuhinya adalah mertuanya sendiri. Dia dipaksa menceraikan istrinya. Anaknya pun dibawa oleh mereka, dan dia tak pernah diijinkan untuk bertemu dengan anaknya itu.”
“Oh! Sampai begitu?” Arif hampir terlonjak dari duduknya.
“Kehilangan istri dan anak membuatnya sangat berduka,” Satria menyambung ceritanya. “Sekian lama ia tidak bisa bekerja. Yang dilakukannya hanya bepergian tanpa tujuan. Kadang berhari-hari dia tidak pulang. Badannya semakin kurus dan kotor. Perusahaannya tak pernah lagi diurus, sehingga akhirnya bangkrut.”
Tanpa mereka sadari keadaan masjid sudah semakin ramai. Orang-orang yang berdatangan tampak saling bertegur-sapa, bersalaman, menepuk bahu dan lain-lain, tapi tak seorang pun yang menyapa atau mendekati mereka. Mereka seperti dianggap tidak ada. Beberapa menit kemudian suara muadzin yang dibantu pengeras suara memecah udara.
Satria bangkit sambil menggulung lengan bajunya, lalu melangkah ke tempat mengambil air wudhu. Arif mengikutinya. Suara muadzin memenuhi seluruh ruangan. Agak menyakitkan kuping. Selain itu, gaya sang muadzin memainkan suara terasa seperti ingin memamerkan kemerduan suara dan kepiawaiannya mengatur napas.
“Orang tua itu yang nanti akan jadi imam,” bisik Satria kepada Arif setelah berwudhu. Isyarat tangannya mengarah pada seorang lelaki tua bergamis dan bertutup kepala putih yang baru memasuki masjid. “Mudah-mudahan dia tidak melihat saya.”
Arif kurang mengerti perkataan Satria, tapi keadaan tak memungkinkan untuk ber-tanya. Shalat sudah akan dimulai. Tapi ketika orang-orang bergegas membentuk shaff (barisan) setelah terdengar suara iqamah, Satria malah duduk di beranda tempatnya mengobrol bersama Arif tadi. “Saya juga sudah dianggap sesat, karena saya belajar pada Muhajir,” katanya ketika Arif mendekat dan ikut duduk.
Setelah orang-orang selesai shalat berjamaah, barulah Satria masuk ke dalam masjid, diikuti Arif. Satria menjadi imam, Arif bermakmum di sebelah kanannya, agak ke belakang sedikit.
“Bacaan Abang panjang sekali,” kata Arif setelah mereka selesai shalat.
“Sebenarnya, menurut ajaran Nabi, kalau jadi imam tidak boleh membaca surat yang panjang. Tapi sejak belajar pada Muhajir saya jadi terbiasa membaca surat-surat panjang, dan itu membuat saya merasa nikmat dalam melakukan shalat.”
“Apakah … mereka, orang-orang yang datang ke masjid ini, mengenal Abang?” tanya Arif.
Satria tertawa. “Tentu saja. Saya kan orang sini. Banyak di antara mereka dulu teman akrab saya. Bahkan yang jadi imam tadi itu adalah kakak ayah saya. Tapi sekarang semua cuek. Kalau tidak memandang ayah saya, mungkin mereka sudah melempari saya dengan batu supaya saya tidak menginjak masjid ini.”
Arif mengangguk-angguk.
“Lalu sikap ayah Abang sendiri bagaimana?” tanya Arif kemudian.
“Seperti Abu Thalib, paman Nabi Muhammad. Dia hanya melindungi saya karena saya anaknya, bukan karena sepaham dengan saya.”
Arif mengangguk-angguk lagi.
Satria kemudian mengajaknya meninggalkan masjid, berjalan memasuki gang demi gang, beberapa di antaranya sudah dilewati Arif tadi siang. Akhirnya mereka sampai di sebuah rumah kecil yang terselip di antara rumah-rumah lain di tengah kampung yang padat. Di dalam rumah itu ada beberapa pemuda yang sedang sibuk bekerja. Buah kelapa bertimbun di sebuah sudut, sabut dan tempurungnya berserakan di lantai, suara mesin parut kelapa menderu-deru, berselang-seling dengan suara kapak kecil yang beradu dengan batok kelapa yang dikupas. Arif melempar senyum dan mengucapkan salam kepada para pemuda itu yang serempak menoleh ke arah-nya. Para pemuda itu sudah dijumpainya tadi siang.
“Tadi saya sudah mampir di sini, menanyakan Ustad Muhajir,” kata Arif kepada Satria.
“Mereka tidak kenal Ustad Muhajir,” sahut Satria sambil mempersilakan Arif menaiki tangga kayu.
Di lantai atas Arif mendapati suasana berbeda. Sepi dan agak remang-remang. Ada ruang tamu sempit yang lantainya dilapisi karpet kusam. Di situ ada sebuah sofa tua yang sebagian kulitnya sudah sobek-sobek dan catnya terkelupas. Ada sebuah meja kayu yang kotor, yang di atasanya bertaburan kulit kacang dan bungkus permen. Ada dua kamar tak berpintu yang gelap.
“Silakan duduk,” kata Satria.
“Mau minum apa? Kopi? Susu? Teh?” tanya Satria pula sambil melemparkan sebungkus rokok di atas meja.
“Apa saja lah,” kata Arif.
Satria kemudian memanggil salah seorang pemuda di bawah, lalu memberikan uang untuk membeli minuman. Setelah itu ia pun menjatuhkan dirinya di atas sofa. “Santai saja dulu. Ceritanya kita lanjutkan sambil minum,” katanya kepada Arif.
Arif yang masih merasa lelah hanya duduk dan manggut-manggut. Sebenarnya ia ingin segera tahu kelanjutan cerita Ustad Muhajir.
“Ini adalah rumah Muhajir. Saya dan anak-anak di bawah itu boleh dikatakan merupakan anak buahnya,” kata Satria setelah minuman berupa kopi terhidang di meja.
“Anak-anak di bawah itu, semula anak-anak jalanan. Anak-anak nakal yang boleh dikatakan sudah dibuang oleh orangtua mereka,” Satria menyambung ceritanya. “Muhajir ‘memungut’ mereka satu demi satu. Mengajari mereka bekerja, berdagang, bela diri, dan mengaji. Mereka jadi anak-anak baik, trampil, dan mengerti agama. Tapi sayang, karena guru mereka Muhajir yang dianggap sesat, perbaikan mereka dianggap tak berarti. Mereka pun terbawa-bawa diangap sesat.”
“Saya jadi semakin ingin tahu tentang Ustad Muhajir,” kata Arif. “Tapi saya ingin Abang sambung dulu cerita yang di masjid tadi,” potong Arif.
“O, ya, ya! Baik, akan saya lanjutkan.”
Jadi, kata Satria, setelah dipaksa berpisah dengan istri dan kedua anaknya, dan usahanya pun bangkrut, terjadilah suatu peristiwa yang menggemparkan.
Suatu hari, Muhajir tak bisa menahan keinginan untuk bertemu dengan anaknya. Ia pergi ke sekolah anak-anak itu. Di tengah jalan, ia melihat anaknya ternyata sudah pulang, dijemput oleh nenek mereka, yaitu ibu mantan istri Muhajir. Melihat Muhajir, anak itu pun lari ke pelukannya. Muhajir memeluk dan menciumi anaknya sambil menangis, sementara nenek si anak berlari pulang ke rumahnya.
“Berlari pulang?” potong Arif.
“Ya. Wanita setengah baya itu pulang untuk melapor kepada suaminya bahwa cucu mereka diculik Muhajir!”
Selanjutnya, sambung Satria, kakek kedua anak itu pun berlari dari rumahnya, mencari Muhajir sambil membawa golok. Ketika ia melihat Muhajir sedang menuntun anaknya, ia langsung berteriak, “He, bangsat! Lepasin cucu gua! Haram tanganlu nyentuh cucu gua.”
Muhajir berusaha menenangkan mantan mertuanya, dan menegaskan bahwa ia tak akan membawa lari anaknya itu. Tapi sang mantan mertua yang selagi mudanya dikenal sebagai jawara (pendekar) itu lantas saja mengayunkan golok ke arah Muhajir. Muhajir yang masih muda dan suka mengajar silat secara reflek menghindari bacokan. Seiring dengan itu, secara reflek pula pergelangan tangannya yang keras ‘mementung’ jakun sang mantan mertua, sehingga orang tua itu jatuh terlentang, dan tak bisa bangun lagi.
“Secara tak sengaja, orang tua itu terbunuh,” kata Satria.
Arif menutup mulutnya, menahan seruan kaget yang hampir tercetus. Satria membakar rokok, melempar korek api ke atas meja, lalu menyedot asap dalam-dalam.
“Kalau begitu, saya sudah tahu jawaban pertanyaan saya,” kata Arif setelah agak lama terdiam. “Ustad Muhajir sekarang pasti ada di penjara.”
“Ketika dia dalam penjara,” kata Satria tanpa melihat lawan bicaranya, “yang menjenguknya hanya saya dan anak-anak di bawah itu. Orangtua dan saudara-saudaranya seolah sudah menganggap dia tak ada. Mereka kecewa, karena mereka mengira bahwa Muhajir sengaja membunuh mantan mertuanya,” kata Satria.
“Kasihan!” cetus Arif.
“Tapi dia tegar. Di dalam penjara dia malah semakin giat memperdalam agama. Selanjutnya, setelah tahun demi tahun berlalu, di dalam penjara dia malah dijuluki kiai. Para napi dan sipir menghormatinya.”
“Suatu hari dia bercerita kenapa dia menggunakan nama Muhajir. Katanya, Muhajir itu artinya orang yang berhijrah, orang yang meninggalkan satu tempat untuk pindah ke tempat lain, atau meninggalkan satu kea-daan untuk beralih pada keadaan yang lain. Dengan mendalami agama, katanya, dia adalah orang yang meninggalkan gelap untuk beralih ke terang. Tapi, ketika ia merasa menemukan terang, orang lain malah menganggapnya sesat. Karena itu, ketika di dalam pen-jara, ia menamai dirinya Muhajir Mahjur, orang yang meninggalkan dan ditinggalkan. Dalam hidup ini, katanya, kita harus selalu siap menghadapi dua hal itu: meninggalkan dan ditinggalkan. Tapi kesiapan itu harus dilandasi dengan motivasi yang kuat, yaitu karena Allah, bukan karena yang lain.”
Arif menghela napas. Menatap Satria beberapa saat, meneguk minuman, terdiam, kemudian katanya, “Bisakah Abang mengantar saya menjenguk Ustad Muhajir?”
“Menjenguknya? Di mana? Dia sudah keluar dari penjara, dan pergi entah kemana,” sahut Satria sambil meniupkan asap rokok ke udara. Ada nada pedih dari suaranya.
Dada Arif terasa seperti kena tinju. Sesak. Ia tak tahu harus bicara apa lagi sekarang. Suasana menjadi senyap. Tapi tak lama kemudian suara adzan Isya terdengar. Lalu seorang anak muncul membawa nasi bungkus dan air putih dalam kantong plastik.
“Kita makan dulu, baru shalat. Setelah itu, kamu menginap saja ya? Sudah cukup malam untuk pulang,” kata Satria.
“Tidak,” sahut Arif.
“Kenapa?” tanya Satria. “Tidak biasa tidur di tempat buruk begini?”
“Bukan begitu. Tapi, Ustad Muhajir sudah tak ada. Saya juga harus siap ditinggalkan dan meninggalkan,” sahut Arif.
Keduanya lantas saling berpandangan. Lalu sama-sama tertawa tanpa suara.
***