Salah satu produk lidah yang paling sering diumbar dalam kehidupan sehari-hari kita yaitu canda. Canda memang kadang kala bahkan sering dibutuhkan untuk memecahkan kebekuan suasana yang dengannya pembahasan sesuatu yang sebetulnya ilmiah akan menjadi renyah. Canda juga kadang dibutuhkan untuk mempererat tali silaturahmi antar sesama muslim. Namun dalam bercanda kita harus memperhatikn betul dimana kita dan sedang apa kita. Jangan sampai candaan yang seharusnya menyenangkan menadi menghinakan. Maka benarlah sebuah sya’ir arab:
لكلّ مقال مقام ولكلّ مقام مقال
Yang artinya: “setiap perkataan itu ada tempatnya dan setiap tempat itu ada perkataaanya.”
Oleh karenanya tidak pantaslah seorang anak kecil diberi candaan yang masih samar dan menimbulkan perdebatan. Sebab anak kecil tanpa pikir panjang akan mempercayainya bahkan mengadopsinya. Maka cukup perkataan yang benar adanyalah yang tepat untuk anak kecil.
SEKEDAR BUMBU
Baru-baru ini muncul statement bahwa da’I itu kudu bisa melawak. Pernyataan tersebut bisa benar bisa juga salah. Hal itu kembali dari sudut mana kita menilai. Jika dipandang dari sudut pragmatis maka sudah pasti hal itu hampir mutlak kebenarannya. Dengan kecerdikan da’i dalam melawak sekarang ini tempat-tempat pengajian dibanjiri massa, selain sebagai tempat mengaji, berkumpul juga dapat menjadi tempat hiburan. Akan berbeda jika kita memandangnya dari sudut realita jangka panjang, mungkin sekarang tempat pengajian masih dianggap tempat sakral untuk menimba ilmu namun di massa yang akan datang tidak tau kapan mungkin tempat pengajian akan dikira tak ubahnya seperti panggung komedi yang pembicaranya dengan ajaibnya membuat orang terpingkal-pingkal. Bahkan seorang da’i yang pandai melawak tanpa memperhatikan kualitas materi dakwahnya lebih digandrungi daripada da’i yang tulus menyampaikan secara syar’i. Hal seperti itu memang sudah diperkirakan. Selain faktor eksternal, factor internal dari manusia yang cenderung menyukai hal-hal menyenangkan lah yang mendasarinya.
Dengan demikian, apakah seorang da’i harus mengalah dan mengesampingkan tujuan dakwah demi menuruti hawa nafsu manusia yang notabenenya sering dikuasai syaitan? Tentu tak akan pernah. Da’i yang benar-benar berniat tulus mengabdi di dunia dakwah harus pintar betul mengondisikan dirinya dan apa dikatakannya agar sesuai rute tanpa melenceng sedikitpun dan jika memang diperlukan, candaan cukup dijadikan sebagai terminal atau stasiun untuk kembali mengisi energy dan bahan bakar.
Dakwah itu pada dasarnya merupakan ibadah. Dan ibadah seseorang tidak akan diterima tanpa tiga syarat, yaitu: Iman, ikhlas dna mengikuti sunnah. Candaan yang berlebihan dalam dakwah dan melupakan esensinya sama saja beribadah dengan sia-sia secara akhirat. Karna hanya nikmat keduniaan lah dirainya.
Berikut ini beberapa kaidah fiqih tentang humor dan candaan dalam dakwah, agar candaan kita berkualitas, positif serta tanpa melupakan esensi dari dakwah itu sendiri, dan tidak menimbulkan dampak negative bagi pndengar:
1. Tidak menjadikan simbol-simbol Islam (tauhid, risalah, wahyu dan dien) sebagai bahan gurauan. Firman Allah: “Dan jika kamu tanyakan mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” (QS. at-Taubah:65)