Sabtu pekan lalu, 28 Desember 2013, dua buku puisi esai karya penulis Indonesia diluncurkan dan dibedah di Singapura. Dua buku tersebut masing-masing Imaji Cinta Halima karya Novriantoni Kahar dan Kutunggu Kamu di Cisadane karya Ahmad Gaus. Acara ini merupakan kerjasama antara Leftwrite Center,Jabatan Pengkajian Melayu National Universtity of Singapore (NUS) dan the Art House.
Selain mengundang langsung dua penulis puisi esai Indonesia, acara yang bertajuk Pembaharuan Sastra: Puisi Esai dalam Gerakan Pemikiran, ini juga menghadirkan Dr Azhar Ibrahim dari NUS dan Mohamed Imran dari the Reading Group Singapura. Acara dimulai dari pukul 10 s.d 12 siang waktu setempat.
Dalam mengantarkan sesi diskusi, Mohamed Imran mengatakan bahwa puisi esai telah menarik perhatian kalangan peminat dan pemerhati sastra di Singapura, terutama terkait dengan pembaruan di ranah sastra dan sekaligus sebagai gerakan pemikiran. “Kita mengetahui bahwa dua pembicara ini bukan hanya penulis puisi tapi juga aktivis yang sudah lama bergiat dalam gerakan Islam progresif di Indonesia,” ujar Imran. “Apa yang mereka tulis dalam buku mereka masing-masing tentunya tidak jauh dari apa yang menjadi concern mereka selama ini sebagai intelektual dan aktivis,” tambah pendiri the Reading Group Singapura tersebut.
Ahmad Gaus yang tampil sebagai pembicara pertama mengulas peta sastra Indonesia modern dan dimana posisi puisi esai. Menurutnya, puisi esai sebagai sebuah gerakan lahir dengan terbitnya buku Atas Nama Cinta karya Denny JA yang memuat lima buah puisi esai bertemakan diskriminasi berdasarkan perbedaan ras, sekte agama, orientasi seksual, dan pandangan agama. Dari segi bentuknya puisi esai berbeda dengan puisi lirik. Puisi lirik adalah puisi yang mengungkapkan perasaan melalui simbol dan metafor. Sedangkan puisi esai mengungkap realitas melalui bahasa konvensional. Dalam sejarah perpuisian di Indonesia, puisi lirik merupakan puisi arus utama, dan telah menjadi paradigma dalam penulisan puisi. Puisi esai menawarkan genre baru penulisan puisi yang berusaha keluar dari arus utama tersebut dan membentuk tata bahasa sendiri di luar lirisisme.
Novriantoni, Ahmad Gaus (tengah), dan Mohamed Imran
Kelahiran puisi esai, lanjut Gaus, diilhami oleh tulisan John Barr yang mengatakan bahwa puisi semakin sulit dipahami publik. Penulisan puisi mengalami stagnasi, dan tak ada perubahan berarti selama puluhan tahun. Publik luas merasa semakin berjarak dengan dunia puisi. Menurut John Barr, para penyair asik masyuk dengan imajinasinya sendiri, atau hanya merespon penyair lain. Mereka semakin terpisah dan tidak merespon persoalan yang dirasakan khalayak luas. Barr merindukan puisi dan sastra seperti di era Shakespeare. Saat itu, puisi menjadi magnet yang dibicarakan, diapresiasi publik, dan bersinergi dengan perkembangan masyarakat yang lebih luas.
Sementara itu Novriantoni Kahar yang tampil sebagai pembicara berikutnya menuturkan pengalamannya menyampaikan gagasan-gagasan keislaman dalam bentuk puisi. Selama ini, ujarnya, ia banyak menulis kolom atau artikel ilmiah populer di surat kabar dan majalah. Sebagai pengamat pemikiran dan gerakan Islam, ia merasa mendapatkan media baru dalam menyampaikan kegelisahannya secara impulsif dan personal. Puisi esai baginya merupakan pengalaman baru dalam berwacana. Alumni Universitas Al-Azhar Kairo ini menulis kisah-kisah cinta dalam antologi Imaji Cinta Halima yang bulan November lalu juga diluncurkan di Jakarta. Dengan setting dunia Timur-tengah, buku puisi esai Novri hampir semuanya terkait dengan pergulatan perempuan Muslimah dalam menyikapi moderitas.
Dr Azhar Ibrahim Alwee yang menjadi pembahas pada acara tersebut menandaskan pentingnya karya-karya sastra selalu diletakkan dalam setting sejarah yang rill. Menurut dosen dari National University of Singapore ini, puisi esai semangatnya sejalan dengan yang selama ini dikenal sebagai puisi memori sosial. Di dalam puisi jenis ini, isu-isu yang menjadi perhatian publik dibawa ke dalam karya puisi. “Dengan cara seperti itu, masyarakat menjadi akrab dengan puisi,” tutur Azhar di hadapan para peserta yang hadir dari kalangan aktivis, dosen, pegiat seni, termasuk sastrawan ternama Singapura Mohamed Latiff dan Suratman Markasan.
Untuk uraian lengkap dari Novri dan Azhar lihat link berikut:
Setelah sesi peluncuran dan diskusi buku, saya membacakan sebuah puisi berjudul Sehelai Kain dari Surga yang pernah saya posting juga di Kompasiana.
Andy, seorang pengajar muda sastra di sekolah Singapura membaca penggalan puisi berjudul "Gereja Tua" dari buku Kutunggu Kamu Di Cisadane karya Ahmad Gaus
Posted by Gaus, 31 Dec 2013. Follow my twitter: @AhmadGaus / Facebook: Gaus Ahmad