Alam raya ini memang memiliki keunikan, saat ramai netizen membela Andika Kangen Band, tetiba  nama Duta Sheila on Seven jadi Trending Topic di Twitter. Kenapa bisa terjadi? Padahal Andika dan Duta tidak sama dan tak memiliki hubungan dalam perkara Bullyan kemarin.
Jawabannya ada pada kesederhanaan dan kepolosan mereka berdua, hanya saja, netizen kita kerap terbelah antara empati dan iri, hingga dua musisi ini dapat perlakuan berbeda.
Andika dan Duta boleh jadi cerminan banyak dari kita, berasal dari orang biasa tapi ingin memiliki karya, yang tentu saja penuh cerita suka dan duka dalam menjalaninya.
Sebelum era Andika dan teman-teman kangen Band kerap dapat ledekan, Duta dan Sheila on7 pun pernah mengalaminya, sesosok vokalis dengan rambut nyentrik pernah meledeknya habis-habisan di muka publik, alih-alih mendapat tepuk tangan, sang pelaku malah menerima aneka hujatan. Saat diminta tanggapan atas ledekan tersebut, Duta malah menjawab santai, dan dengan rendah hati mengakui bahwa karyanya memang tak seberapa. Sebuah tanggapan yang berhasil menarik empati para netizen, Sheila On7 tetap eksis, sang pembully perlahan hilang di telan bumi.
Tenyata netizen kita masih memiliki rasa empati tinggi, sebuah karya itu harusnya di kritik dengan karya pula.
Pernah suatu ketika Band sekelas Yovie n Nuno melemparkan sebuah kritik (atau ketidaksukaan) akan maraknya kembali tren lagu Melayu lewat sebuah lagu berjudul "ku tak suka lagu ini", sebuah lagu yang diracik dengan komposisi nada memukau, seolah menunjukkan superioritas sebuah genre lagu modern yang berbanding terbalik dengan nada mendayu-dayu dan lirik sederhana yang kala itu di wakilii Kangen Band, Wali, sembilan Band, hingga ST12.
"Ku tak suka lagu ini
 kenapa engkau tetap suka
 kalau bukan kekasihku
 tak sudi ku nyanyikan lagu ini"
Lagu yang dibalas dengan lagu sederhana oleh Charlie ST 12 berjudul "lagu kampungan"
"Kangen Band Wali
 dan sembilan band
 St 12 juga ikutan kampungan"
Pada saat itu, lagu-lagu ini tak menimbulkan gejolak di media sosial, biasa saja, sebuah kritik melalui karya dibalas dengan karya, semua pendengar menikmati karya pengkritik dan yang di kritik lewat senandung nada.
Cara kritik dengan karya ini sejatinya telah di ajarkan oleh ulama-ulama kita terdahulu, saat Abu Hamid Al-Ghazali mengkritik cara pandang filsuf Yunani melalui Kitab Tahafut Falasifah, Kira-kira seratus tahun kemudian Ibn Rusyd menjawab kritik itu dengan sebuah karya memukau pula melalui Kitab Tahafut Al Tahafut Falasifah. Andai saja waktu itu Al-Ghazali masih hidup, bukan tidak mungkin akan menjawabnya lewat sebuah kitab pula.
Ulama kita telah membuat standar tinggi tentang adab-adab mengkritik. Bukan melalui olok-olok atau nyinyir yang menunjukkan kebodohan.
Cerita tentang Andika dan Duta boleh jadi adalah pembelajaran bagi kita tentang perspektif kesederhanaan. Setiap selera akan selalu memiliki massa, ada pasar dan penggemarnya sendiri. Kangen Band dan Sheila on7 berhasil membuat sebuah pasar, lalu ditambah dengan pasar empati yang mengiringi karya-karya hebatnya.
Cerita tentang kesederhanaan boleh jadi juga sebuah filosofi bagi merk otomotif dunia bernama Toyota, membangun citra sederhana bagi pasar Indonesia yang kerap gagap teknologi boleh jadi adalah langkah yang tepat. Berbeda dengan Nissan dan Mazda yang membawa teknologi berkemajuan atau KIA dan Hyundai yang kaya terobosan, Toyota tetap di percaya pecinta otomotif Indonesia dengan simbol kesederhanaan, mesinnya bandel, bisa diperbaiki dan dirawat oleh bengkel manapun di tanah air. Itulah kenapa kesederhanaan (walau aslinya gak sederhana amat dalam merk mobil Toyota terkini) membuat harga jual kembali Toyota tak terlalu terdampak depresiasi.
Andika, Duta dan Toyota seolah mewakili sebuah frasa yang pernah diungkap oleh Mantan Wapres Jusuf Kalla pada suatu ketika:
KEMBALI KE ARTIKEL