Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Cleaning Out My Closet

29 September 2021   10:26 Diperbarui: 29 September 2021   11:01 114 1
"Siap-siap, ya, Mas. Sebentar lagi namamu dipanggil, ingat ini siaran live. Jadi, usahakan gak ada kesalahan oke! Santai aja, jangan grogi, anggap saja ini latihan di studio."  Begitu Mas Omes--pembawa acara The Voice indonesia--berujar menyemangati sesaat sebelum namaku dipanggil dalam ajang pencarian bakat bergengsi ini.

Suara gemuruh musik pengiring mulai berbunyi menggelegar, membuatku gugup, air liurku nyaris kaluar mulut, pertanda adrenalinku mulai memuncak.
Aku harus berhasil lolos dalam audisi malam ini, harapan terbesar ada pada malam ini. Minimal satu orang juri menekan tombol di mejanya, lalu kursinya berbalik ke arahku sebagai tanda dukungan untuk lolos ke tahap berikutnya.

Mengenakan sneakers putih tanpa tali, celana jeans  dan t-shirt putih dibalut cardigan abu-abu, tak lupa topi dengan warna senada yang dikenakan agar tampak serasi. Malam ini aku harus tampak seperti seorang rapper.

"Bismillah." Hatiku berucap pelan. "Semoga malam ini semua lancar." Hatiku menambahkan.

Segera namaku dipanggil, kupeluk erat Mas Omes seraya meminta support lagi padanya,  kusalami juga mas Azis sebagai tanda terima kasih karena sudah mengatar sampai ke belakang panggung, dan kulambaikan dua jari tangan pada kamera yang mulai merekam.
Beberapa saat lalu ....

Pelan kulangkahkan kaki ke dalam ruangan besar layaknya gedung teater mewah dengan lampu-lampu besar yang menyorot dan perlahan meredup tanda musik akan segera dimulai. Kutarik napas panjang, tetapi perlahan, aku ingin emosi ini larut ke dalam lagu agar benar-benar menjiwai, dan yang pasti agar pesan lagu yang kubawakan sampai pada seseorang yang kutuju.

Tiba-tiba aku ingat Ibu, kakak dan adikku yang telah menyuruhku pergi dari rumah. Belum hilang rasa sakit dibuang oleh keluarga, dipermalukan dan dihina, walau aku sadar, semua terjadi karena aku seorang pendosa yang telah membuat malu keluarga. Aku ingat akan semua itu, tentang dosa yang akhirnya memutuskan asa keluarga terhadapku.  

Ya, aku nyaris dipenjarakan oleh keluarga dan orang tua sendiri. Beruntung aku berhasil lepas dari jeratan hukum, memutuskan pergi mengikuti arah kaki melangkah, dan di sinilah aku berada sekarang.

Aku benar-benar kecewa terhadap diri sendiri. Kadang, aku pun ingin tertawa jika mengingat masa-masa yang terlewat. Hidupku, terlalu ambigu.

***

Suara melodi keyboard mulai berbunyi pelan, tak lama ketukan drum elektronik mulai mengiringi, nadanya sangat pilu saat musik pembuka dimulai, aku mulai bernyanyi layaknya Eminem di atas panggung.

   "Where's my snare?
     
     I have no snare on my headphones
     
     There you go
     
     Yeah

     Yo yo

      Have you ever been hated or discriminated
      againts

     Pernahkah kamu dibenci atau didiskriminasi?

     I have, I've been protested and demonstrated
     againts"

Semangatku meluap-luap saat bait pertama lagu ini kunyanyikan, aku ingin ini jadi sebuah pesan, kulapalkan lirik lagu ini pelan dengan penekanan pada bait-bait tertentu. Aku berharap satu atau dua juri segera menekan tombolnya dan kursinya berputar ke arahku.

Pada bagian Chorus sengaja ku tinggikan suaraku hingga empat oktaf agar lagu rap ini tampak lebih nge-Rock.

    "I am sorry mama

     I never meant to hurt you

     I never meant to make you cry

     But tonight, I'm cleanin' out my closet"

Aku benar-benar melibatkan semua emosi yang terpendam selama ini, hingga tak terasa bulir air mata mulai membasahi wajah dan suaraku mulai sedikit terisak karenanya.

Beberapa penonton mulai berdiri seraya bertepuk tangan, aku merasakan seisi ruangan gedung ini mendapat pesan yang kumaksud, tampak beberapa penonton berisak tangis seraya turut bernyanyi menyebut mama.

      "I am sorry mama."

      "I am sorry mama."

Aku sengaja membawakan lagu Eminem ini dengan gaya berbeda, bernyanyi dalam tempo pelan layaknya membaca puisi dan diiringi nada yang memilukan hati.

"Jreeeng." Suara tombol pada kursi mulai ditekan, kulihat kursi juri Anggun C Sasmi berputar ke arahku seraya tersenyum, kedua tangannya menyentuh bibirnya, lalu diarahkan kepadaku sebagai tanda dukungan. Kedua matanya tampak berbinar, begitu juga mataku.

"Jreeeng." Tampak kursi juri kedua ikut berputar, kali ini kulihat Titi Dj yang menunjukan dukungan untukku. Ia pun berdiri seraya tangan kanannya menunjuk ke arahku. Argh ... rasanya semangat ini semakin terangkat.

Walau dua juri lain tak juga berputar, suara gemuruh penonton terdemgar memenuhi ruangan. Aku merinding, tak kuat lagi menahan isak tangis saat bait terakhir lagu kunyanyikan.

  "Cleaning out my closet."

Aku tertunduk rapuh, rasa bahagia, sedih dan tegang menjadi satu, tak disangka akhirnya aku lolos malam ini. Terlebih, gemuruh suara penonton yang hadir merasakan emosi yang kualami. Malam ini adalah malam paling emosional sepanjang hidupku.

"Haaai, nama kamu siapa? Sumpah keren banget." Juri Anggun mulai bertanya dengan lembut, disertai pujian yang membuatku sedikit tersipu.

"Nama saya, Jodi," jawabku pelan sambil membasuh air mata yang masih tersisa.

"Jodi, jujur awalnya saya gak yakin bakal lolos, saya kira ini sebuah sajak yang kamu bacakan, tapi pada saat bagian Reff dan Chorus saya baru sadar ini adalah lagu Eminem, dan kamu membawakannya dengan sangat bagus, saya gak berpikir ulang untuk menekan tombol, saya berharap kamu mau bergabung dengan tim saya, what a rap song dude," tutur juri Anggun yang membuat hidungku naik ke langit ketujuh.

"Terima kasih Coach Anggun," balasku pelan sambil mengangkat tangan kanan ke dada kiri sebagai tanda penghormatan.

"Jodii!!" seru Coach Titi memanggil namaku dengan semangat.

"Iya, Coach Titi," balasku tak kalah semangat.

"Jarang sekali saya mendengar orang bernyanyi sampai bikin nangis, saya merasakan emosi yang dalam saat kamu bernyanyi, walau saya akui, membawakan lagu rap dalam kompetisi tarik suara seperti ini memiliki risiko tinggi, tapi kamu mampu melewatinya dengan baik. Saya mendengar sebuah ekspresi yang dalam, soulnya dapet banget."  Coach Titi berkali-kali mengacungkan kedua jempolnya.

"Terima kasih, Coach Titi," balasku pelan. Entah kenapa aku menemukan sosok keibuan dalam dirinya. Tiba-tiba aku ingat Ibu di rumah. Semoga Ibu menontonnya.

"Jodi, satu lagi saya mau tanya." Coach Titi mulai serius bertanya.

"Apa motivasimu untuk mengikuti The Voice Indonesia?" Coach Titi menambahkan.

"Hhhmmm ...." Lidahku mulai kelu, tak yakin apa yang akan aku jawab.

"Hhmmm, saya ...." Aku mulai gugup, tak sanggup berkata seraya menundukkan muka.

"Jodi, are you oke?" Coach Titi mulai menambah perhatian dalam pertanyaannya.

"Saya ingin membuktikan pada diri saya sendiri, bahwa saya layak untuk dicintai."  

Tiba-tiba itu yang keluar dari mulutku. Tak lama aku kembali terisak, bulir air mata kembali membasahi wajah. Aku tertunduk malu seraya menutup wajah dengan kedua tangan. Aku kembali teringat Ibu.

Seisi gedung kembali bergemuruh, aku merasakan tepuk tangan haru kembali penonton dan Coach memenuhi gedung malam ini. Tampak Coach Titi berjalan ke arahku, semakin dekat langkah kakinya  membuatku semakin gugup, entah apa yang akan dia lakukan.

Coach Titi memeluk dengan hangat, dia berbisik lirih ditelingaku.

"Its okey Jodi, malam ini kamu berhasil membuktikan bahwa kamu layak dicintai."  Aku tak kuat lagi menahan air mata,  kupeluk erat Coach Titi layaknya seorang bocah memeluk ibunya.

Sementara itu, kulihat Coach Anggun berjalan ke arahku dan ikut memeluk, seraya tersenyum dia berkata pelan, "You got me, Brother."

Air mataku semakin membuncah, inginku berteriak, melepaskan emosi dan menangis sejadi-jadinya.

Malam ini, seorang pendosa mendapatkan dukungan, pelukan dan tepuk tangan.

Terima kasih Tuhan, Kau telah menutupi aib-aibku.

Malam ini aku memilih Coach Titi untuk menjadi mentor dan bergabung dengan penyanyi lain yang telah terpilih sebelumnya.



Selesai acara, aku kembali ke belakang panggung, tampak Mas Omes memberikan pelukan hangat untukku seraya mengucapkan selamat, dia raih kedua tanganku dan mengajak menari-nari layaknya bocah mendapatkan permen dari ibunya.

Mas Azis menghampiriku, dijabatnya dua tanganku.

"Keren pisan, euy, jadi artis ini mah, hehe," ucapnya polos.

"Makasih, Mas." Kubalas doanya dengan tulus.

"Minggu depan kumpul kembali di sini, ya, Mas Jodi, untuk mengikuti babak selanjutnya, selama dua minggu Mas dan peserta lain akan dikarantina. Sekali lagi selamat ya, Mas," ujar Mas Omes dengan semangat.

Aku diantar menuju ruang ganti, lalu segera bergegas ke luar gedung dan Mas Azis pun mengekori. Di pelataran parkir kami berdua segera naik ke mobil calya merah yang telah menunggu. Aku duduk di depan, sementara Mas Azis mengendarai calyanya menuju jalan utama.

"Sekarang mau diantar ke mana, Mas?" Tanya Mas Azis.

"Ke masjid tadi lagi aja, oh, ya, ini uang seratus ribu yang saya janjikan tadi, terima kasih sudah antar saya dan berakting menjadi saudara saya," tuturku.

"Sama-sama, Mas, jadi saudara beneran juga gak apa-apa, kok. Kabari saja jika perlu suporter lagi hehe," jawab Mas Azis seraya terkekeh.

Tak lama kami sampai ke masjid Al-Amin di daerah tebet Jakarta Selatan, aku turun seraya mengucapkan salam, kuambil gitar dan tas berisi sarung serta mushaf alquran seraya memasuki pelataran Masjid.

Kuambil wudu, lalu sujud syukur di dalam masjid.

"Alhamdulilah, Ya Allah, terima kasih atas kesempatan yang Kau  beri, tuntun aku dijalan yang Kau ridhoi."

Di tempat ini aku memulai lagi langkah, bermalam di masjid, siang mencari nafkah dengan mengamen keliling kota, mengikuti ke mana pun kaki ini melangkah.

Aku akui kerap kali berbohong selama ini, menutupi satu kebohongan dengan kebohongan lainnya. Namun, lewat bernyanyi, aku bisa berkata jujur, aku bisa berucap lantang, lewat bernyanyi pula aku mencoba pulihkan luka, memulai hidup baru dengan segenggam doa.

Malam ini, kembali kumulai Cleaning out my closet.


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun