Kebijakan makan gratis lahir dari ambisi besar pemerintah untuk menciptakan pemerataan akses pangan bagi seluruh masyarakat. Program ini menargetkan kelompok rentan seperti siswa sekolah, masyarakat miskin, dan pekerja informal yang sering kali menghadapi tantangan dalam memenuhi kebutuhan makan harian.
Dalam pidatonya, Presiden Prabowo menyebutkan bahwa "Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah, dan sudah seharusnya rakyat mendapatkan manfaat penuh dari kekayaan tersebut." Dengan basis argumen tersebut, makan gratis tidak hanya dipandang sebagai langkah humanis tetapi juga sebagai strategi awal untuk mengurangi jumlah kemiskinan struktural di Indonesia. Program ini dilaksanakan dalam bentuk penyediaan makanan harian di sekolah, pasar rakyat, dan dapur umum, yang bekerja sama dengan kelompok tani, UMKM, dan koperasi lokal untuk menggerakkan ekonomi masyarakat.
Dalam Tulisan ini saya sebagai penulis juga menyoroti beberapa aspek yaitu :
1. Ketergantungan dan Mentalitas Subsidi
Salah satu kritik terbesar terhadap program makan gratis adalah risiko terciptanya ketergantungan masyarakat terhadap bantuan pemerintah. Alih-alih memotivasi masyarakat untuk bekerja lebih keras dalam memenuhi kebutuhan pangan, kebijakan ini dapat memunculkan mentalitas subsidi yang dapat mengurangi daya saing individu. Ketergantungan ini juga berpotensi merugikan generasi muda, terutama jika program makan gratis tidak disertai dengan edukasi mengenai pentingnya kemandirian ekonomi.
2. Tantangan Logistik dan Pendanaan
Mengelola program makan gratis di negara sebesar Indonesia dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa memerlukan infrastruktur logistik yang sangat Rumit. Tantangan seperti distribusi makanan ke daerah terpencil, kualitas gizi yang harus dipastikan tetap baik, hingga potensi penyelewengan anggaran menjadi isu besar.
Selain itu, dari sisi pendanaan, keberlanjutan program ini memerlukan alokasi anggaran yang signifikan. Dengan asumsi rata-rata biaya makan per orang sebesar Rp10.000 per hari, maka untuk melayani 50 juta penerima manfaat saja dibutuhkan Rp500 miliar per hari atau setara Rp182,5 triliun per tahun. Angka ini jelas menjadi beban berat bagi APBN, terutama jika tidak diimbangi dengan peningkatan penerimaan negara.
3. Efektivitas Sasaran
Dalam implementasi kebijakan publik, akurasi sasaran adalah faktor kunci keberhasilan. Sayangnya, program makan gratis berpotensi melahirkan fenomena salah sasaran. Banyak pihak yang tidak benar-benar membutuhkan bantuan, seperti kelompok menengah ke atas, dapat memanfaatkan kebijakan ini, sementara masyarakat miskin di daerah tertinggal justru kesulitan mengaksesnya.
4. Potensi Monopoli Pasokan Pangan
Kerjasama pemerintah dengan kelompok tertentu dalam penyediaan bahan pangan untuk program ini bisa menciptakan monopoli baru. Jika tidak diawasi dengan ketat, pihak-pihak yang terlibat dalam pengadaan makanan dapat memanfaatkan situasi untuk keuntungan pribadi, sehingga merugikan petani kecil dan pelaku usaha lokal.
Dari tantangan-tantangan yang saya sebutkan diatas,maka dari itu saya juga mencoba membuat alternatif solusi bagi pemerintah untuk melaksanakan program ini demi visi Indonesia Emas 2045, alternatif solusi yang coba saya berikan yang pertama adalah Integrasi dengan Program Pendidikan dan Pelatihan Agar kebijakan makan gratis tidak sekadar menjadi subsidi jangka pendek, pemerintah perlu mengintegrasikan program ini dengan pendidikan dan pelatihan keterampilan. Misalnya, program ini dapat dikaitkan dengan pelatihan bagi masyarakat untuk memproduksi dan mengelola bahan makanan secara mandiri melalui pertanian rumah tangga atau urban farming. selain itu untuk mengatasi tantangan salah sasaran, pemerintah Dapat membangun sistem pendataan yang akurat dan terintegrasi. Teknologi seperti big data dan kecerdasan buatan dapat digunakan untuk memetakan kelompok penerima manfaat secara efektif. Sistem ini juga harus transparan dan melibatkan partisipasi masyarakat agar pengawasan berjalan dengan baik. alternatif solusi berikutnya adalah pemanfaatan sumber daya lokal sebesar-besarnya. dengan cara Pemerintah perlu menggandeng koperasi, UMKM, dan petani kecil sebagai mitra strategis. Dengan demikian, kebijakan ini tidak hanya memberikan makan gratis tetapi juga mendorong perputaran ekonomi lokal. dan alternatif solusi yang terakhir adalah pengawasan ketat terhadap Implementasi
Kelemahan utama dari banyak program pemerintah di Indonesia adalah lemahnya pengawasan. Oleh karena itu, untuk mencegah penyelewengan anggaran dan memastikan program berjalan sesuai tujuan, pemerintah harus melibatkan lembaga pengawas independen. Selain itu, sistem audit berkala perlu diterapkan untuk mengidentifikasi masalah sejak dini.
Dengan mengandalkan APBN saja saya rada tidak cukup untuk menopang kebijakan makan gratis. Maka dari itu pemerintah perlu mencari alternatif pendanaan, seperti kerjasama dengan sektor swasta, filantropi, atau program Corporate Social Responsibility (CSR). Dengan demikian, beban keuangan negara dapat dikurangi.
Kebijakan makan gratis yang dicanangkan oleh pemerintahan Prabowo-Gibran adalah langkah ambisius yang dapat memberikan dampak besar jika dikelola dengan baik. Namun, tanpa perencanaan matang, kebijakan ini berpotensi menimbulkan tantangan baru, seperti ketergantungan masyarakat, masalah pendanaan, hingga penyelewengan anggaran.
Agar program ini benar-benar mendukung visi Indonesia Emas 2045, pemerintah perlu mengadopsi pendekatan holistik yang mencakup penguatan pendidikan, pendataan yang akurat, pemanfaatan sumber daya lokal, serta pengawasan yang ketat. Dengan kombinasi strategi tersebut, makan gratis dapat menjadi langkah awal menuju Visi Indonesia Emas 2045.
Saya berharap program ini dapat dimaksimalkan dan dijalankan dengan baik tanpa terkendala suatu apapun, Besar harapan saya agar program ini tidak menjadi sebuah 'market' bagi beberapa orang saja namun bisa dirasakan oleh seluruh lapisan massa rakyat di Indonesia.
Akhirul qalam itu saja yang bisa saya sampaikan dalam tulisan ini, dan semoga bermanfaat bagi para pembaca.
AN