Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerbung

Merebut Desa: Bagian 5

11 November 2024   16:00 Diperbarui: 11 November 2024   18:38 238 35
Dalam rimbunan pohon Bambu, Dimas berdiri dengan pedang tergenggam.

Ia ambil napas panjang. Bau daun kering bercampur tanah masuk bersamaan dengan udara. Ia lalu pasang kuda-kuda dengan tangan kanan mengangkat pedang di atas kepala.

Pedang diayun ke kiri bersamaan embusan napas. Ia lalu serongkan tubuh ke kanan. Kaki kiri diangkat dengan kedua tangan merentang. Sekali gerakan cepat, ia tusukkan pedang ke depan. Pedang berputar di pergelangan dengan langkah kaki taktis bergerak maju.

Dimas sedang mencoba kembali gerakan yang ia pelajari dari kuil misterius. Rangkaian gerakan silat yang sifatnya taktis. Setiap gerakan diikuti tarikan dan embusan napas secara teratur dengan ritme yang berbeda. Begitu seterusnya ia lakukan dengan gerakan yang lain.

Ilmu pernapasan yang ia dapat dari sang ayah sangat membantunya untuk mengombinasikan dengan gerakan pedang dari kuil. Namun, Dimas mengakui, bahwa gerakan silat dari kuil misterius itu justru yang membuat tenaga dalamnya semakin meningkat drastis.

Gerakan yang Dimas lakukan semakin cepat. Pedang mulai bersinar. Ayunannya semakin kuat. Tubuh mulai hangat hingga peluh bercucuran dari kening.

Kaki kiri dientakkan ke depan. Mulut komat-kamit merapal mantra. Tenaga dalam mengalir deras.

Pedang berayun ke bawah dengan penuh tenaga. Seketika angin tajam dengan cahaya kuning mengempas dahsyat. Rumpun bambu di muka dibuat hancur beterbangan terkena jurus Tebasan Ekor Naga Api.

Dimas segera hentikan latihan. Ia atur napas dan merilekskan otot. Ia pandang dengan bangga bekas jalur serangan tadi. Rumpun bambu tiga lapis yang rapat bagai dinding dibuat boyak. Batang patah serta daunnya terpotong-potong.

Kepuasan terukir dalam senyum. Kekuatan yang dimiliki rasanya lebih dari cukup. Ia pandang pedang saktinya dan berkata, "Ayah, Ibu, aku pasti bisa merebut Banyuates."

Dimas coba kembali rilekskan otot. Ia lakukan gerakan pendinginan. Sinar pedang mulai meredup. Tidak jauh dari arah belakang terdengar suara kertakan pohon bambu dan tepukan tangan.

"Wah, hebat sekali, Dimas!"

Dimas terkejut mendengar suara itu. Ia segera menoleh ke belakang. Sebatang pohon bambu menunduk hingga daunnya menyentuh tanah. Di atas batangnya berdiri seorang wanita muda dengan mata sipit dan kulit cokelat. Wanita itu melompat turun. Seketika pohon bambu tersebut melecut berdiri seperti cambukan cemeti.

"Inani, kau sudah lama di sini?" tanya Dimas keheranan.

"Ya, cukup lama. Aku melihatmu bersiap-siap hingga kau keluarkan tebasan kuat seperti tadi."

Inani lalu memujinya karena kemampuan yang luar biasa. Merah muka Dimas. Jarang-jarang ia mendapatkan pujian dari wanita cantik macam Inani. Walau di Banyuates dahulu ia juga mendapatkan pujian dari gadis desa, tetapi itu semua karena sosok sang ayah semata. Pelindung sekakigus pemimpin desa.

Inani mendekat lalu memandangi pedangnya. Wanita itu garuk-garuk kepala lalu berkata,"Pedangmu unik. Senjata semacam ini pasti dibuat oleh orang tertentu, kan?"

"Mu-mungkin saja, Inani."

"Eh, apa maksudmu? Kau yang punya pedang ini, kan?"

"Itu... a-anu."

Dimas bingung menjawab apa. Ia tidak mau mengecewakan Inani dan juga kawan-kawan laskar yang lain perihal pedangnya.

Dimas mendapat impresi yang baik di mata Laskar Naga Kuning sebagai orang yang istimewa. Jikalau mereka tahu kekuatannya berasal dari pedang saktinya, tentu mereka akan kecewa. Namun, berbohong pun juga tidak akan membuatnya lebih baik. Segala kemungkin bisa terjadi termasuk kebohongan yang terbongkar. Namun, lebih baik jujur daripada dusta, kan?

"Aku memanggilnya Pedang Naga Api. Nama tersebut sesuai dengan aliran silat pedang yang kami anut. Namun, pedang ini sebenarnya bukan milikku. Aku menemukannya di suatu kuil misterius di bawah hutan saat pelarian."

Inani terkejut. Dimas tertunduk malu. Seorang yang bukan siapa-siapa mendapatkan tempat istimewa karena pedang sakti. Sekarang membuka rahasianya dan menunggu reputasinya hilang.  Mereka berdua sempat terdiam beberapa saat hingga Inani memecah keheningan.

"Beberapa orang menggunakan ilmu dan benda sakti untuk berbuat sesuka hati. Merampas hak orang lain; membalas dendam kesumat; dan tindakan keji lainnya. Mereka tidak peduli akan perdamaian atau keselamatan orang lain. Namun, kau berbeda, Dimas. Kau bergabung dengan kami untuk perjuangan mulia. Perjuangan bersama dalam melawan tiran zalim."

Inani lalu tepukkan pundak Dimas dan menambahkan, "Aku senang kau di sini, Dimas. Kau memberikan harapan baru bagi kami."

Makin merahlah muka Dimas. Betapa tersipunya ia terhadap ucapan tersebut. Namun, hal itu ada benarnya juga.

Orang-orang atau para pesilat akan sangat tergoda menggunakan benda-benda bertuah untuk kepentingan sendiri. Kebo Alas salah satunya. Ia pergunakan gelang saktinya untuk menguasai desa-desa.

Ah, nama itu membuat Dimas bergidik. Bulu kuduknya terangkat. Ingatan membawanya pada cahaya ungu dari tangan Kebo Alas. Cahaya itu menjalar-menjalar. Sekejap saja menyambar ke depan bagaikan ombak samudera. Sekali empasan saja, orang tuanya berubah jadi mayat.

Dimas sedikit bersurut. Kepalanya tiba-tiba seperti dipukul. Sakit.

"Kau tidak apa-apa, Dimas?" tanya Inani.

"Ti-tidak apa, Inani. Aku hanya sedikit kelelahan saja. Mungkin istirahat sedikit membantu."

Cahaya ungu itu masih terngiang di ingatan. Cahaya setan. Cahaya pembawa celaka. Sulit bagi Dimas melupakan itu setelah tiga tahun berlatih.

"Oh, kurasa saat ini kau memang perlu istirahat. Aku akan beritahu ketua kalau kau tidak bisa ikut hari ini."

"A-apa?" jawab Dimas dengan penuh kebingungan, "Apa maksudmu, Inani?"

"Oh iya, aku lupa. Sebenarnya aku ke sini hendak memberitahu kalau Ketua Wirapati mengundangmu. Beliau mengadakan suatu rapat pertemuan hari ini dengan beberapa orang. Sayangnya, kau tampak perlu istirahat."

Dimas terkejut. Ada apa gerangan Ketua Wirapati mengundangnya dalam  sebuah rapat? Mungkin ini persoalan penting.

"Baiklah, Inani, aku ikut denganmu. Istirahat bisa dipikir nanti," kata Dimas dengan tegas.

***

Balai bambu itu dipenuhi oleh lima orang, baik pria maupun wanita, yang sibuk mendengarkan arahan dari ketua. Mereka tentunya bukan anggota laskar biasa, melainkan pasukan elit. Elit dalam artian memiliki kemampuan silat dan tenaga dalam di atas rata-rata. Jelas sudah ini bukan misi biasa.

"Menurut informasi yang kita gali dari informan," jelas Ketua Wirapati, "Penjara yang kita cari ada di sini. Tepat pada bukit ini."

Ia menunjuk pada salah satu bagian peta yang terpampang pada dinding bambu. Ilustrasi bukit dilingkari tinta merah. Pertanda bahwa itulah lokasi yang dimaksud.

"Mereka sengaja menempatkan adikku di sini agar kita terkecoh menyerang penjara pusat. Maka dari itu aku inginkan kalian yang ada di sini untuk membebaskan dirinya. Sementara aku dan beberapa anggota laskar yang lain akan menyerbu markas bandit yang letaknya di utara," tutur Ketua Wirapati.

Sebuah kehormatan bagi Dimas dapat ikut menjalankan misi ini sebagai misi pertamanya. Ada rasa berdebar dan tidak sabar. Namun, ada rasa kekurangan juga.

Mursyid dan Rahmat jelas ikut Ketua Wirapati. Dimas ingin sekali mengajak mereka berdua. Lumayan untuk mengukur sampai mana kemampuan mereka.

Dimas sering memberikan latihan pada Mursyid dan Rahmat di luar waktu latihan formal. Ia mengajarkan teknik pernapasan untuk mengoptimalkan kekuatan tenaga dalam. Meskipun senjata yang mereka gunakan berbeda, tetapi menambahkan beberapa ilmu tingkat lanjut itu tidak ada masalah dan menjadi keharusan.

Dimas pun mengangkat tangan dalam forum dan mengutarakan pendapatnya. Reaksi yang diterima oleh anggota laskar yang lain ternyata sama. Mereka menolak.

"Apa kau sudah gila?" sahut salah seorang pria.

"Kita ini butuh kecepatan dalam eksekusi bukan untuk sekedar menyergap musuh," cela salah satu wanita.

Dimas malah membuat forum menjadi gaduh. Permintaannya memang sungguh aneh. Ia sendiri juga mengakui itu setelah mengutarakannya. Boleh dikatakan cukup teledor. Orang baru masuk laskar dan baru memulai misi pertamanya, tetapi sudah minta yang aneh-aneh. Keinginannya itu lebih besar hingga ia lupa diri kalau masih menjadi anggota baru.

Ketua Wirapati masih menimang dalam kegaduhan. Beberapa anggota laskar bahkan mendekat dan menguatkan penolakannya. Inani yang berdiri bersebelahan dengan Dimas pun turut serta mendekat. Ia dari tadi tidak mengutarakan apa pun saat kegaduhan di mulai.

Perundingan semakin alot saat Inani terlibat. Salah satu anggota laskar semakin memperkuat argumennya. Inani juga semakin sering menepuk dada seolah menyanggupi kesediaan.

Akhirnya, mereka pun kembali ke posisi masing-masing meninggalkan ketua sendiri di depan. Tampak wajah anggota yang lain kesal dan memasang pandangan tajam ke arah Dimas, kecuali Inani.

"Baiklah, aku akan mengabulkan permintaanmu, Dimas. Kau boleh mengajak dua kawanmu itu, tetapi kau harus bertanggung jawab dan selalu menuruti perintah pemimpin regu-mu yaitu Saudari Inani. Kau paham, Dimas?" seru Ketua Wirapati.

"Paham, Ketua. Saya akan bertanggung jawab penuh atas dua kawan saya itu dan selalu menaati perintah saat menjalankan misi," jawab Dimas sambil menjura.

Forum lalu dibubarkan. Anggota laskar lain pergi meninggalkan tempat sambil mendongkol. Mereka tidak terima atas keputusan tersebut. Sementara Inani harus mencari dua anggota laskar lain yang bersedia untuk menjalankan misi sebagai konsekuensi menyetujui permintaan Dimas.

Sementara Dimas harus puas merasakan senang sekaligus sesal. Senang karena permintaannya dipenuhi. Sesal karena ia sekarang sedikit tidak disukai. Misi akan dijalankan lima hari lagi. Dimas masih ada waktu untuk melatih Mursyid dan Rahmat. Setidaknya untuk persiapan misi.

Bersambung.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun