Tiga tahun telah ia habiskan dengan berlatih dan bertapa. Mempelajari ilmu pedang yang terukir di dalam kuil misterius. Menstabilkan dan meningkatkan tenaga dalam agar dapat mengendalikan pedang saktinya.
Tiga tahun itu pula ia mengubah total keseluruhan kebiasaan hidupnya. Makan dengan lauk buah-buahan liar dan lebih banyak puasa. Menghabiskan waktu dengan berlatih dan semedi.
Selama itu, ia juga tidak pernah bertemu dengan seseorang pun. Bandit atau penduduk desa sekitar. Seluruh kegiatan hanya dilakukannya di sekitar kuil semata.
Banyak perubahan yang mungkin sudah terjadi di luar sana. Hutan yang ia lewati saat ini tampak sedikit berbeda. Dimas bimbang ke mana harus pergi.
Dalam kebimbangan hati ini, suara kegaduhan lapat-lapat tertangkap telinganya. Dari balik deritan pohon tertiup angin. Dari balik ketukan cepat burung pelatuk. Semakin jelas pula suara tersebut.
Dimas lalu berlari mendekati sumber suara. Kelihatannya seperti ada perkelahian.
***
Dimas mulai memanjat sebuah pohon besar di depan. Ia memilih ranting yang rimbun agar tidak ketahuan serta mencocokkan dengan baju hitamnya yang sedikit pudar. Tidak lupa caping bambu buatannya sendiri dilepas untuk melihat lebih jelas.
Seorang wanita muda berbaju kuning dan celana coklat berusaha keras menangkis serangan tiga orang pria. Ia dengan lihai mengayunkan serta memutar toya bajanya.
Namun, Dimas lebih berfokus pada tiga pria yang menyerang si wanita. Baju hitam legam dan udeng hitam dengan motif abu melingkari kepala. Ia langsung menyadari bahwa tiga orang tersebut tidak lain adalah Bandit Hutan Larangan.
Ternyata, mereka tidak banyak berubah. Dimas tidak tahu pasti seberapa kejamnya para bandit ini sekarang. Baju yang mereka kenakan tidak ada bedanya dengan yang mereka pakai saat menyerbu desanya.
Si wanita semakin cepat memutar-mutar toyanya. Tubuhnya meliuk-liuk menghindari tusukan parang. Rambutnya yang terkuncir berkibaran seperti ekor kuda.
Tiga melawan satu, tentulah ini tidak seimbang. Semakin lama si wanita terdesak mundur. Serangan tiga bandit semakin menggila. Dimas sudah tidak dapat menonton lebih lama lagi. Ia harus campur tangan dalam urusan ini.
Ia tutup muka dengan udeng coklat. Merapikan rambut panjangnya agar tidak mengganggu penglihatan. Lalu, ia pakai kembali capingnya.
Mulutnya komat-kamit merapal mantra. Ia alirkan tenaga dalam ke telapak tangan serta gosok-gosokan keduanya.
Seketika, ia lentingkan tubuh laksana anak panah. Melesat kencang ke depan. Saat melayang di udara, ia segera antamkan kedua tangannya secara bergantian. Kanan lalu kiri. Lancarkan dua pukulan jarak jauh.
Dua bungkal angin panas dan keras menderu dengan kencang. Dentuman keras kemudian terdengar yang diikuti hembusan angin. Tiga orang bandit tadi mental berpencar, sementara si wanita muda sedikit surut ke belakang.
Dimas senang pukulan tersebut mampu membuyarkan keroyokan tadi tanpa melukai si wanita muda. Perhitungannya tepat ketika memilih kedua sisi terluar dari tiga bandit tadi.
Begitu mendarat, Dimas terkejut. Ternyata, masih ada dua bandit lagi di jurusan lain. Mereka melawan dua orang pria dengan baju yang sama seperti si wanita muda.
Oh, main keroyok rupanya. Dimas mulai berpikir mungkin para bandit ini sengaja untuk lipat gandakan kekuatan menghadapi si wanita muda. Mungkin mereka ini memiliki ilmu yang rendah.
Ketiga bandit itu lalu bangkit. Mengibas-ibas bajunya yang lusuh terkena tanah. Salah satu dari mereka mendekat. Raut muka kesal dan emosi tampak pada wajahnya yang berkumis tebal.
"Hei, siapa kau?" Bandit berkumis tebal itu acungkan parang panjangnya ke muka. Dimas hanya tertawa dalam hati. Ia tidak mau jawab
"Jika dirimu tidak ada urusan di sini lebih baik pergi saja!"
"Betul, kau mau mati, ya? Pergi saja sana!"
Kedua orang bandit lainnya menimpali. Mereka mendekat pada si kumis tebal. Dimas memilih diam dan tercetus sebuah ide.
Ia menunjuk mereka satu per satu dari yang paling kanan sampai kiri. Tiap kali jarinya menunjuk jatuh pada para bandit, muka mereka seperti bingung. Setelah menunjuk semua bandit itu, Dimas segera gerakkan tangan kiri secara horizontal perlahan ke depan lehar. Gerakannya seperti menyembelih sapi.
Geramlah para bandit saat diejek demikian. Mulut mereka bersumpah serapah. Dimas berhasil membuat mereka emosi.
"Sialan, kau ini memang cari mati. Terima ini!" pekik si bandit kurus paling kiri. Ia melesat ke depan dan kirimkan serangan dahsyat.
Dimas segera alirkan sedikit tenaga dalam. Saat serangan musuh mendekat, ia cabut pedangnya yang tersampir di pinggang kiri lalu sabetkan ke arah musuh.
Cahaya kuning pedang beradu dengan kilau perak parang musuh. Dentingan memecah udara. Bunga api memuncah ke segala arah.
Dimas putar pedangnya dengan lihai untuk memapras tusukan-tusukan musuh. Meskipun hanya menggunakan sedikit tenaga dalam, tetapi cukup untuk membuat musuh kewalahan. Semakin lama kekuatan serangan si bandit berkurang. Gerakannya semakin gontai dan lemah.
Saat itulah, Dimas sabetkan pedang ke kanan dengan sentakan keras. Lengan bandit itu terhuyung tidak seimbang. Dengan cepat Dimas kirimkan satu tendangan keras ke arah perut. Bandit kurus itu pun mental ke belakang.
Raut terkejut mulai nampak pada dua bandit lainnya. Si kumis tebal memberikan isyarat pada kawan sebelah kiri yang berambut gondrong. Mereka manggut-manggut sebentar lalu melesat ke depan secara bersamaan.
Dua serangan berantai melabrak ke arah Dimas. Serangan yang sangat membabi buta. Tusukan dan sabetan deras datang silih berganti. Coba untuk mencincang tubuh Dimas dengan parang panjang mereka.
Dimas segera tangkis tiap serangan yang datang. Ayunan lengan menyentak kuat bagai cemeti. Pedang berputar laksana topan membendung serangan. Rapalan kata samar beradu dengan kerasnya dentingan baja.
Dimas gerakkan kaki untuk sedikit mundurkan diri ke belakang. Lewat dua kali ayunan pedang, ia berhasil sedikit menjauhi kalangan. Segera tenaga dalam dialirkan. Pedangnya mulai menyala kekuningan.
Saat serangan mulai menderu lagi ke arahnya, ia segera sabetkan pedangnya menyamping. Sinar kuning dan angin tajam menderu ke muka. Mata pedang lalu beradu dengan dua parang panjang. Dentuman keras menggelegar. Muntahan bunga api berpencar ke segala penjuru. Inilah jurus "Tebasan Ekor Naga Api" andalan sang ayah.
Dimas berhasil membuat dua bandit itu terpental ke belakang. Kekuatan pedang di tangannya sungguh luar biasa. Jurus andalan dapat meningkat drastis kekuatannya. Kepercayaan diri mulai muncul. Sekarang ia tidak perlu khawatir berhadapan dengan orang-orang macam ini.
Si kumis tebal dan si gondrong kemudian bangkit. Wajah mereka heran dan kesal. Sementara si kurus duduk termangu melihat kehebatan lawannya. Ia tidak berani untuk bangkit.
Si kumis tebal beri isyarat pada kawannya si rambut gondrong. Ia juga segera tarik si kurus untuk segera bangkit. Tampak ia membentaki si kurus dan meyakinkannya bahwa sesuatu yang ia lakukan akan berhasil.
Dimas merasakan bahwa mereka bertiga akan mengeroyoknya lagi. Ia harus sedia bagaimana pun terjadi.
Tiga bandit itu lalu ambil formasi segitiga dengan si kumis tebal pada bagian depan. Mereka kemudian ambil kuda-kuda yang sama. Kaki kiri di depan dengan parang sedikit di tarik ke belakang.
"Orang asing, kau tampaknya memang sangat kuat," ucap si kumis tebal. "Maka dari itu kami terpaksa menghabisimu sesegera mungkin. Terima ini!"
Si gondrong dan si kurus lalu berlari cukup kencang ke depan. Saking kencangnya, tubuh dua orang ini menjadi seperti kelebatan bayangan.
Dimas bersiap-siap. Ia segera alirkan tenaga dalamnya. Seketika, sekelebat bayangan hitam hendak mendekati dirinya dari sisi kanan. Namun bersamaan juga, angin serasa menderu dari atas dengan cepat
Bum!
Tubuh si gondrong tiba-tiba menghempas tengkurap ke tanah dengan keras. Toya baja si wanita muda berhasil diantamkan ke arah bandit tersebut.
Dimas terkejut melihat itu. Namun, pandanganya segera beralih ke kiri saat bayangan yang sama mendekat dengan kecepatan tinggi. Pada jurusan depan pula ia dapati bayangan hitam yang sama melesat kencang ke arahnya.
Degup jantung serasa berhenti. Adrenalin memuncak. Ia berteriak nyaring. Pedang segera dipapraskan ke depan. Putarannya menderu dengan kencang saling bertumbukan.
Kras!
Dua sosok bayangan hitam lalu terlempar ke samping belakang. Berguling-guling di tanah sebentar lalu terdengar teriakan.
"Tanganku!" jerit si kurus sambil memegangi pergelangan tangan kanannya yang puntung.
Semua orang berhenti sejenak. Termasuk dua orang bandit lainnya yang bertarung di jurusan seberang. Diam mematung melihat kengerian yang terjadi begitu cepat.
Si kumis tebal lalu bersiul dua kali dengan nada panjang. Kepalanya meneleng ke jurusan belakang beberapa kali. Dua bandit lainnya menoleh dan memahami isyarat tersebut. Mereka segera menjawab dengan sekali siulan cepat.
Sementara si kurus berguling-guling merintih kesakitan, tiba-tiba si kumis tebal lari dengan kecepatan tinggi menghampiri. Ia lemparkan sebuah bola berwarna merah. Hal ini juga dilakukan oleh kedua bandit lainnya. Ketika mendarat ke tanah, tiga bola merah itu meledak dan keluarkan asap hitam pekat.
Sekejap saja, asap membumbung memenuhi tempat tersebut. Mengurangi jangkauan penglihatan dan juga pernapasan.
***
"Sial! Aku tidak bisa bernapas." Dimas segera lepaskan udeng yang menutup mukanya. Segera ia alirkan tenaga dalam ke tangan. Caping dilepas lalu dikipas-kipaskan ke udara agar kepulan asap itu sirna. Hembusan yang kencang dari capingnya cukup untuk sedikit demi sedikit mengikis kepungan asap hitam. Butuh waktu yang cukup lama agar asap benar-benar lenyap.
Si wanita muda tampak terbatuk-batuk. Kedua kawannya yang lain lalu mendekatinya.
"Saudari, tampaknya para bandit itu melarikan diri!"
"Sial, kita tidak bisa selesaikan misi ini, Saudari."
Si wanita tenangkan kedua kawannya yang tampak kesal. Lalu, ia menunjuk pada bagian belakang dengan ibu jarinya. Dimas pun ikut menoleh ke jurusan yang dimaksud.
Tubuh bandit rambut gondrong masih pada tempatnya. Dimas meneliti apakah mungkin bandit itu pingsan atau ditotok? Jelaslah bahwa kawan-kawannya yang lain lupa untuk mengangkat dirinya dan keburu larikan diri.
Si wanita muda mendekat lalu menjura kepada Dimas. Pada bagian dada sebelah kiri terdapat lambang kecil berupa kepala naga. Senyum puas merekah pada wajahnya yang coklat manis.
"Orang asing, terima kasih telah menolong kami. Tanpa bantuanmu, kami mungkin tidak dapat selamat dari serangan bandit itu."
"Sama-sama, Nona. Aku senang dapat membantu Anda sekalian." Dimas balas menjura dan segera kenakan kembali caping di kepala dan kalungkan udeng pada lehernya.
Kedua kawan si wanita muda mendekati tubuh si rambut gondrong. Tubuhnya tampak kaku tegang; Matanya masih berkedip ketika tubuhnya dibalik; dan dadanya kembang kempis.
Oh, mereka ingin dirinya hidup-hidup ternyata. Mungkin mereka ingin mendapatkan informasi darinya. Dimas berpikir tentang siapakah orang-orang berpakaian kuning-coklat ini. Apakah kepentingan mereka dengan para Bandit Hutan Larangan ini? Dan apakah mereka dapat membantu dirinya?
"Saudara," kata si wanita muda itu memecah lamunannya. "Siapakah gerangan namamu, Saudara?"
Dimas terkesiap. Ia terlalu terbawa pikiran hingga tidak memperhatikan orang di hadapannya.
"Dimas Pradana, Nyonya."
"Dimas Pradana, ya? Apakah kau tidak punya gelar? Aneh, biasanya orang-orang dengan kesaktian besar sepertimu tidak akan menyebut nama asli." Si wanita muda itu tersenyum heran.
Gelar? Ah, ia lupa sedang berhadapan dengan orang asing. Seharusnya ia beri saja nama samaran untuk menghindari sesuatu yang terburuk. Namun, orang-orang ini tampak tidak memiliki niat jahat. Ya, dilihat dari perlawanan mereka tadi.
"Maaf, apakah kalian ada urusan dengan orang-orang berbaju hitam tadi?" tanya Dimas pada si wanita muda.
"Mereka adalah Bandit Hutan Larangan. Mereka menguasai desa-desa sekitar Gunung Naga ini sejak beberapa tahun yang lalu. Banyak penduduk yang diperbudak dan sebagian terusir dari desa."
"Sedangkan dirimu, Nyonya?"
"Oh, namaku Inani. Aku dan dua kawanku adalah anggota Laskar Naga Kuning. Kami bertiga sedang menjalankan misi. Berkat bantuanmu misi kami dapat berjalan dengan lancar. Terima kasih, Dimas." Si wanita dan dua kawannya menjura kembali kepada Dimas.
Orang-orang dari Laskar Naga Kuning ini tampaknya dapat membantunya. Mereka juga berperang dengan Bandit Hutan Larangan. Ini kesempatan yang harus diambil oleh Dimas.
"Tampaknya kita semua memiliki urusan yang sama dengan para bandit itu. Apakah aku boleh ikut dengan kalian?"
Si wanita muda dan dua kawannya kemudian berembuk singkat. Dimas berharap bahwa mereka akan bersedia membawanya pula. Tidak mungkin bagi dirinya untuk membebaskan desa tempat tinggalnya sendiri. Bisa jadi musuh sudah semakin besar dan kuat.
Anggota laskar itu kemudian berbalik. Si wanita muda mendekat, sedangkan salah satu kawannya mulai memanggul si rambut gondrong.
"Baiklah, Dimas, dirimu telah membantu dalam menyelesaikan misi ini. Ditambah kau sendiri tadi bilang bahwa kau juga ada urusan dengan para bandit itu, kan?" tanya Inani.
"Betul, aku memang memiliki urusan dengan para bandit itu. Mungkin aku juga bisa membantu kalian."
"Bagus, kami juga senang hati membawamu ke markas. Senang rasanya kalau ada bantuan dari orang sakti sepertimu. Mari, ayo ikut kami!"
Bersambung.