Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Tirai Gelap: Intrik Suap di Balik Koridor DPR RI

15 Juni 2024   07:09 Diperbarui: 15 Juni 2024   07:09 237 1
Chapter 1: Jejak Awal di Koridor Kekuasaan

Langit Jakarta memayungi Gedung DPR RI dengan nuansa kelabu. Hujan rintik-rintik turun membasahi aspal dan trotoar, menciptakan ritme yang tak terduga di tengah hiruk-pikuk ibu kota. Di dalam gedung megah yang sering menjadi pusat perhatian publik, ada kisah yang jarang terungkap ke permukaan---kisah tentang kekuasaan, ambisi, dan pengkhianatan.

Arjuna Mahendra, seorang anggota DPR yang baru saja terpilih, melangkahkan kaki ke dalam koridor gedung DPR untuk pertama kalinya dengan perasaan campur aduk. Di balik senyum ramah yang dipamerkannya kepada setiap orang yang ditemui, ada kegelisahan yang tak mampu disembunyikan. Baginya, dunia politik adalah dunia baru yang penuh tantangan dan, tentu saja, jebakan.

Ruang kerjanya berada di lantai tiga, sebuah ruang sederhana namun cukup untuk memulai karier politik yang diimpikannya. Pagi itu, ia disambut oleh asistennya, Maya, seorang wanita muda yang cekatan dan penuh semangat.

"Selamat pagi, Pak Arjuna. Ini agenda Anda untuk hari ini," Maya menyerahkan sebuah map berisi jadwal rapat dan pertemuan. "Ada beberapa rapat penting yang perlu Anda hadiri, termasuk dengan Komisi Hukum."

Arjuna mengangguk sambil membuka map tersebut. Matanya menelusuri baris demi baris agenda yang penuh. Namun, yang paling menarik perhatiannya adalah pertemuan dengan seorang tokoh berpengaruh dalam politik, Pak Bram. Bram dikenal sebagai politisi senior dengan jaringan luas dan reputasi yang kontroversial.

Di tengah kesibukan hari itu, telepon genggam Arjuna berdering. Sebuah pesan singkat masuk, tanpa nama pengirim. Pesan tersebut berbunyi: "Waspadai tawaran yang datang dari Pak Bram. Tidak semua emas itu murni."

Arjuna mengernyitkan dahi, mencoba memahami maksud pesan tersebut. Pikirannya melayang ke berbagai kemungkinan, namun ia memutuskan untuk mengesampingkannya sementara. Ia harus fokus pada tugas-tugasnya.

Ketika sore menjelang, Arjuna akhirnya bertemu dengan Pak Bram di ruang rapat Komisi Hukum. Bram, dengan senyum penuh arti, menyambutnya hangat.

"Selamat datang, Arjuna. Saya sudah mendengar banyak tentang Anda. Mari kita bekerja sama untuk kepentingan rakyat," ujar Bram dengan nada bersahabat.

Percakapan mereka mengalir lancar, mulai dari isu-isu hukum hingga rencana kebijakan yang akan diajukan. Namun, di akhir pertemuan, Bram tiba-tiba mengalihkan topik pembicaraan.

"Arjuna, saya punya sebuah proyek yang bisa menguntungkan banyak pihak, termasuk Anda. Tapi, tentu saja, semua ada timbal baliknya," kata Bram sambil menatap Arjuna tajam.

Arjuna merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tahu, inilah momen yang sering dibicarakan dalam bisik-bisik di koridor DPR---tawaran tak resmi yang bisa mengubah hidupnya selamanya. Ia berpura-pura tenang, namun pikiran tentang pesan misterius yang diterimanya tadi pagi kembali menghantui.

"Bapak bisa menjelaskan lebih lanjut proyek tersebut?" tanya Arjuna, berusaha terdengar netral.

Bram tersenyum tipis. "Tentu saja, tapi ini bukan tempat yang tepat. Bagaimana kalau kita bicarakan lebih lanjut di tempat yang lebih privat?"

Pertemuan itu berakhir dengan janji untuk bertemu kembali. Saat Arjuna meninggalkan ruang rapat, perasaan ragu dan curiga semakin menguat. Ia tahu, langkah berikutnya akan menentukan masa depannya---apakah ia akan tetap bersih, atau terjerat dalam tirai gelap yang menyelimuti koridor kekuasaan di DPR RI.

Di luar, hujan semakin deras, seolah-olah langit Jakarta sedang memperingatkannya tentang badai yang akan datang.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun