Bicara nasib memang terasa menyedihkan bagi sebagian orang, kenapa seperti itu? ya karena nasib sering dijadikan kambing hitam dari sebuah peristiwa yang “dianggap” jelek. Pernah, bulan lalu saya bertanya ke seorang penjual bakso namanya pak amat yang sering lewat di kompleks rumah orang tua saya, saya sudah mengenalnya sejak saya masih SMA, sekarang usianya sudah masuk ke kepala lima. Saya bertanya ke beliau sambil membeli semangkok bakso. “kok masih berjualan pak, kenapa ngga buka warung saja yang diam saja biar ngga capek”. Bapak amat ini menjawab sambil duduk menemani saya. “ya ini kan sudah nasib saya mas, mau gimana lagi, memang nasib saya berkeliling dagang baksonya”. Lalu saya menjawabnya “bapak pernah berusaha untuk membuka warung permanen?”. Pak amat menjawab lagi, “pernah sekali mas,tapi kayaknya gak cocok, sepi mas karena anak saya yang menjaga, saya lebih suka berkeliling”. Dari ungkapan beliau ini saya paham bahwa pak amat lebih senang berkeliling, maka saya mengajukan ide “gimana kalau saya memberikan tambahan modal untuk 2 gerobak lagi, pak amat yang masak semuanya, nah pak amat sekarang punya 3 gerobak bakso, yang satu tetap bapak jalankan yang 2 kita mempekerjakan orang, gimana pak?lalu saya ambil 40%nya pak, bakso bapak enak, empuk juga”. Mendengar tawaran saya, pak amat nampak bersemangat, lalu berkata “wah..saya setuju mas”
KEMBALI KE ARTIKEL