Setidaknya inilah yang dapat aku lakukan untuk mengusir rasa jenuh dan jengkel: bermain domino bersama teman-teman sesama sopir taksi, diatas lantai berpaving, beralas koran bekas, di pelataran diskotek, sembari menunggu penumpang yang tak juga keluar dari dalam sana.
Aku selalu berusaha membuang pikiran negatif terhadap semua ‘skrip’ yang dituliskan Tuhan atas hidup ini. Dan berhasil. Saat ini setidaknya. Tiga tahun yang lalu, aku masih mengenakan toga dan diwisuda dengan nilai lumayan, plus sebagai wisudawan dengan karya penelitian terbaik. Tiga bulan setelah itu, aku masih mengenakan seragam quality control, di sebuah perusahaan makanan. Setahun berikutnya, aku adalah seorang karyawan di sebuah bank swasta, dengan baju dan celana necis, plus dasi. Dan kini, aku menemukan diri dengan wajah penuh penjepit jemuran, berada di antara teman-teman sopir taksi, dalam malam yang dingin dan sepi, menunggu pelacur bersama om-om yang mabuk keluar dari diskotek, untuk di antar ke hotel agar dapat menuntaskan birahinya dengan bebas di sana.
Hal paling indah dalam hidup adalah saat kita mampu mentransformasikan kesengsaraan menjadi sebuah komedi. Lalu kita dibuat terbahak-bahak karenanya. Bukan berarti pasrah, dan tidak berbuat apa-apa. Bertarung, melawan hingga remuk, lalu kalah, kemudian tertawa, itulah maksudku.
‘Makin sengsara, makin lucu’. Itulah mantra yang kupetik dari tulisan Pramoedya Ananta Toer. Kalimat itu sering kali kugumamkan, sambil membayangkan wajah Pramoedya yang terbahak-bahak setiap hari, selama belasan tahun di penjara Nusakambangan. Atau membayangkan, bagaimana dia terkekeh-kekeh, saat popor senapan menghantam kepalanya. Juga saat sepatu lars tentara menendang kemaluannya, waktu diinterogasi.
Begitulah aku, hanya terkekeh-kekeh, saat menemukan diri berada di sini: terdampar sebagai sopir taksi, tatkala harga BBM melambung.
Aku berani bertaruh, tidak ada seorangpun anak sekolah, yang bercita-cita menjadi sopir taksi. Tapi aku senang, meski pekerjaan ini tidak pernah dicita-citakan oleh manusia manapun di muka bumi. Pertama: pekerjaan ini halal. Kedua: menjadi sopir taksi yang hanya beroperasi pada malam hari (sebab sore hari aku bekerja sebagai guru les) memberikan kekuasaan dan kebebasan tak terhingga. Bayangkan, aku bebas kencing di manapun aku suka, saat tengah malam. Tanpa mempedulikan adat, kesopanan, susila, atau tata hukum manapun. Bahkan aku bebas mengencingi tempat-tempat yang berada di luar imajinasi terliar manusia sekalipun. Misalnya: aku pernah mengencingi pintu gerbang Mabes Polri; mengencingi pintu gerbang Mabes TNI; mengencingi gedung DPRD; mengencingi gedung Pemprov. Coba bayangkan, Adolf Hitler sekalipun, tidak mempunyai kekuasaan dan kebebasan sehebat itu.
Dan bahkan yang terakhir, aku tergoda untuk berak di tengah perempatan jalan raya, tepat di jantung kota. Tidak akan sulit untuk melakukannya. Tengah malam, frekuensi kendaraan yang lewat pasti sedikit. Polantas yang jaga juga sudah tidak ada. Tunggu saja hingga jalanan agak sepi. Setelah itu lari ke tengah perempatan, jatuhkan ‘Bom’ di situ, lalu pergi sebelum ada mobil lewat.
Mudah. Namun yang satu ini belum sempat aku lakukan. Tunggu saja. Pasti akan aku wujudkan kelak. Itulah kekuasaan dan kebebasan yang tak terbatas, bagi seorang sopir taksi yang beroperasi malam hari.
“Ayo kocok lagi,” ucap salah seorang teman. Dilemparkannya tumpukan kartu domino ke hadapanku.
“Kok lemes, sudah nyerah?” sahut yang lain.
“Apa?! Nyerah?!” jawabku bersungut-sungut. “Wajahku masih cukup ditempati dua puluh penjepit lagi, dan muka kalian masih muat untuk sepuluh penjepit lagi. Tidak ada yang boleh berhenti. Kalau ada yang menyerah, sanksinya tetap sama seperti dulu. Dan aku tidak akan mengambil resiko, dalam keadaan seperti ini.”
Kami memang membuat kesepakatan, bahwa siapapun yang menyerah dan berhenti bermain, karena di wajahnya sudah terlalu banyak penjepit yang menyebabkan perih. Maka sebagai sanksinya, orang itu harus mentraktir dua bungkus ayam bakar, per orang. Saat ini ada enam sopir yang sedang berkerumun. Kalau menyerah, itu artinya harus membeli dua belas bungkus ayam bakar untuk mereka. Tentu saja aku tidak terlalu goblok untuk menanggung resiko itu. Bukannya tidak dermawan, atau tidak suka dengan daging ayam bakar, melainkan belum ada seorang penumpangpun yang masuk ke dalam taksiku, hingga tengah malam ini.
Aku kocok lagi kartu dominonya, lalu membagikannya pada mereka.
“Kok senyum-senyum?” tanya Pardi.
Aku tidak menjawab. Kali ini kartu yang kupegang sangat bagus. Aku senang, hingga mesam-mesem sendiri. Jika aku bisa memenangkan permainan ini hanya dengan beberapa banting kartu saja. Maka dua penjepit akan lepas dari mukaku. Dan penderitaan ini akan terasa lebih ringan.
“Jangan seneng dulu. Kita lihat siapa yang tetawa paling akhir,” sesumbar yang lain.
Aku diam tidak mempedulikan.
Sudah dua putaran, masing-masing sudah membanting dua kartu. Dan kini giliranku untuk membanting kartu yang ketiga.
“Kampret!!!” umpat Pardi sambil menggaruk-garuk kepala. Sementara yang lain hanya terkekeh-kekeh balas membanting kartu. Rupanya kartu yang kubanting itu mengakibatkan kartunya mati satu.
Benar perhitungannku, pada putaran keempat aku sudah mengakhiri permainan.
“Jiamput!” lagi Pardi mengumpat. Rupanya setelah dijumlah, kartu matinya mempunyai angka terbesar. Itu artinya tiga penjepit harus ditempelkan di mukanya lagi. Menggenapinya menjadi dua puluh empat. Kini mukanya mirip bulu landak.
“Kocok lagi, Di. Sampek lecet,” kulempar serakan kartu domino ke depannya, disertai tawa yang lain.
“Taksi!!!” tiba-tiba saja terdengar suara memanggil.
Sontak saja permainan terhenti. Serempak kami menoleh ke arah suara itu. Seorang gadis keluar dari dalam diskotek. Cukup cantik. Temaram lampu pelataran membasuh seluruh tubuhnya. Dia mengenakan rok mini, sedikit di bawah pantat. Postur tubuhnya agak tinggi. Pahanya putih mulus. Pantatnya padat berisi. Payudaranya tampak menonjol, dibalut dengan kaos ketat. Gadis itu masih muda, mungkin sekitar dua puluh lima, atau dua puluh tiga tahun.
“Taksi, Pak!” lagi, gadis itu memanggil.
Panggilan itu membangunkan kami dari bengong.
Tersadar, Pardi langsung meloncat. “Yahu..!!!” pekiknya kegirangan. Pertama: dia terbebas dari puluhan jepitan yang menggigit kulit mukanya. Dan kedua: saat ini dia berada pada antrian pertama. Artinya, purel montok yang keluar dari diskotek itu adalah bagiannya.
Memang begitulah kesepakatan yang pernah kami buat. Jika di tengah-tengah permainan ada penumpang, maka siapapun yang memperoleh giliran untuk mengangkut penumpang itu, otomatis gugur permainannya. Begitu pula dengan segala macam sanksi bodoh yang berlaku.
Setelah melepas puluhan penjepit yang menempel di mukanya sembari meringis kesakitan, Pardi bergegas menuju taksinya, lalu mengangkut purel cantik itu entah ke mana.
“Semprol! Beruntung kamu, Di,” umpat salah seorang.
Kami melanjutkan permainan. Posisi Pardi sudah diganti oleh teman lain. Orang yang mengganti itu kini kembali mengocok kartu, lalu membagikannya.
Mukaku terasa nyeri bercampur gatal. Ingin menggaruk, tapi tentu saja tidak bisa. Sebab jika satu saja jepitan itu terjatuh akibat sentuhan tangan, maka sanksinya akan ada dua jepitan lagi yang harus ditambahkan. Itu jika yang jatuh satu, bagaimana jika yang jatuh tiga atau empat? Bisa berlipat kesengsaraan yang menempel di muka ini. Maka bagaimanapun perih dan gatalnya, aku hanya bisa memerotkan mukaku ke kanan dan ke kiri, mirip pemain pantomim.
Sementara itu, bangunan diskotek dengan model yang tidak jelas itu, bagiku lebih mirip kepala orang gendut yang tertawa mengejek kami: para sopir taksi gendeng, yang terkekeh-kekeh ditengah dingin malam, bermain domino dengan muka dipenuhi penjepit, yang tidak juga dapat penumpang.
Diskotek ‘Germo Gendut’, begitulah teman-teman sesama sopir taksi menyebutnya. Nama sebenarnya adalah diskotek DIAMOND, namun karena beberapa alasan, maka para sopir lebih suka menyebutnya Germo Gendut. Gendut, karena bentuk bangunannya mirip wajah manusia yang berpipi tembem. Germo, karena dari pintu itu- yang bentuknya mirip mulut- selalu keluar pelacur-pelacur cantik, yang jelas harganya tidak murah. Maka tidak heran, jika pengungjungnya adalah orang-orang kaya, juga orang-orang penting. Dan kami, para sopir taksipun sering terkaget, saat melihat wajah-wajah tokoh yang sering nongol di media masa, ternyata nongol juga dari mulut ‘Germo Gendut’, sembari menggandeng purel cantik. Yang untuk sekali kencan short time saja, gajiku sebulan sebagai sopir taksi pasti tidak akan cukup.
“Balak tiga,” ucap salah seorang sambil menghempas kartu di atas alas koran bekas.
Aku hanya menggaruk-garuk rambut. Kali ini rasanya aku sial lagi. Kartuku tidak begitu bagus. Kini giliranku, setelah berpikir sejenak, aku angkat kartu dan hendak membantingnya. Namun tiba-tiba saja terdengar suara memanggil; “Bang, taksi!!”
Kontan saja aku meloncat kegirangan. Kali ini keberuntungannku mirip dengan Pardi, beberapa menit yang lalu. Akhirnya aku terbebas juga dari penjepit-penjepit bangsat ini. Aku berada pada antrian nomer dua setelah Pardi. Ini berarti penumpang yang keluar dari mulut ‘Germo Gendut’ itu adalah bagianku.
Aku menghempaskan seluruh kartuku ke atas alas koran bekas disertai umpatan teman-teman. Setelah melepas seluruh penjepit dari kulit wajah, kuambil taksiku, lalu menghampiri kedua penumpang itu.
Seorang gadis remaja cantik, mengenakan rok mini, berkulit putih, dan rambut berombak, masuk ke dalam taksiku. Gadis itu bersama dengan laki-laki baya, yang mungkin lebih pantas menjadi ayahnya.
“Ke Novotel, Bang,” pinta pria baya itu.
“Baik, Pak.”
Taksiku melaju dengan kecepatan sedang, menembus kelimun malam, menyusuri jalan yang mulai sepi. Deretan lampu-lampu jalan seperti rahib-rahib jangkung dengan kepala menyala, menunduk memberi berkah atas kekurangajaran manusia yang lalu-lalang di bawahnya.
Dari spion tengah, kulihat pria baya itu menciumi purel cantik yang duduk di sebelahnya. Membasuh seluruh wajah gadis itu dengan jilatan.
Kini jilatannya beralih ke leher putih gadis itu, diiringi tangan kirinya yang merogoh dan meremas payudaranya.
Fyuhh…, asem!! umpatku dalam hati, sembari membuang pandangan ke depan, mencobah untuk tidak mempedulikan ‘pergumulan’ di kursi belakang. Sesekali juga kusapukan pandangan ke kanan-kiri jalan, melihat tubuh-tubuh gelandangan yang terhampar begitu saja di emperan-emperan toko.
“Augghhh…!” sebuah lenguhan pelan dari kursi belakang, memaksa mataku untuk menatap spion tengah kembali. Sialan, rupanya tangan pria baya itu sudah merogoh masuk di antara paha putih gadis itu.
Seorang gelandangan yang mungkin sedang mabuk, tiba-tiba saja melintas, menyeberang tanpa aba-aba. Spontan kuinjak pedal rem, sembari menyemprotkan klakson. “Jiancok…!!!” teriakku.
Aku menarik nafas lega, hampir saja melindas pemabuk gendeng. Kembali kulajukan taksi, sambil menatap spion tengah. Pria setengah baya dan pelacur cantik itu melongo. Tatapan kami beradu dalam spion.
“Ada apa, Mas?” tanya pelacur itu.
“Mungkin orang mau bunuh diri, Mbak,” jawabku sekenanya.
Dari spion tengah, tampak pria setengah baya itu masih bengong seperti kebo bego. Setengah mati aku menahan tawa, sambil membayangkan betapa tidak enaknya saat libido sudah mencapai ubun-ubun, tiba-tiba saja dipaksa untuk berhenti. Mirip naik mobil, pada saat kecepatan sudah mencapai gigi maksimum, tiba-tiba saja harus berhenti dengan kontan. Pasti akan terjungkal.
Tapi rupanya pria baya itu belum kapok juga. Kini lidahnya kembali menjulur- persis biawak tua- menjilati leher putih gadis itu. Dan tangannya kembali merogoh selangkangannya.
Namun ternyata pelacur cantik itu sudah tidak bernafsu lagi. Tidak dipedulikannya ‘serangan’ pria baya itu. Dia membuka tasnya, mengambil rokok, lalu menyulutnya. “Tolong AC-nya dimatikan, Mas. Biar kaca pintunya saya turunkan saja,” ucapnya.
Lengkap sudah. Kini taksiku penuh dengan aroma alkohol dari kedua penumpang di bangku belakang, asap rokok, plus aroma birahi dari pria baya, yang seolah tidak mampu lagi menahan nafsunya hingga sampai di kamar luks Novotel.