Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Sarjana Sial (7)

19 Agustus 2014   23:30 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:07 96 0
Inilah hal yang paling lucu jika bekerja menjadi guru les privat- jika tidak bisa disebut memuakkan- yaitu harus membuatkan contekan untuk siswaku sendiri yang masih kelas dua SMA. Sedangkan pada saat bersamaan, aku bertanggung jawab dalam perkembangan belajarnya.
Sore ini, Katerina benar-benat gelagapan, sebab besok akan ada ulangan tiga mata pelajaran, yang harus dihadapinya: Fisika, Matematika, dan Bahasa Inggris. Saat aku datang kerumahnya, untuk mengajar les seperti biasa, sejenak tadi kulihat dia termangu-mangu di meja belajar, dengan buku-buku paket dan catatan yang bertumpuk di depannya. Dia bingung, dari mana dulu harus memulai belajar.
“Wah, tumben sudah siap dengan buku bertumpuk begitu. Semangat sekali hari ini,” godaku saat masuk ke dalam kamarnya.
Gadis imut itu hanya meringis menatapku, sesaat kemudian pandangannya kembali ke tumpukan buku-buku. Raut malas bercampur kesal terbersit di wajahnya.
“Hari ini kita buat contekan saja, Mas,” ucap Katerina.
Sejenak aku terbengong. “Contekan?”
“Iya, contekan.”
Namun akhirnya aku maklum, dan mengiyakan saja ide itu, setelah dia menceritakan kekesalannya. Aku jadi kasihan. Aku pikir, kebijakan yang dipakai di sekolahnya itu cukup buruk: membolehkan para guru mengadakan ulangan tiga mata pelajaran pada hari yang sama, dengan dua pelajaran eksak. Setahuku, satu hari maksimal hanya diperbolehkan ulangan dua mata pelajaran. Dan tidak diperbolehkan, jika ada dua mata pelajaran eksak diujikan pada hari yang sama. Terlalu banyak pelajaran diujikan pada hari yang sama, tidak akan membuat siswa menjadi hebat, malah akan megakibatkan belajarnya tidak optimal.
“Yakin, mau buat contekan?” lanjutku.
“Tidak ada lagi waktu untuk belajar sebanyak ini.”
Gadis ini kadang memang malas, tapi sebenarnya cerdas. Aku pikir yang dikatakannya benar juga. Memang seharusnya jauh hari sebelum ulangan, dia sudah belajar sedikit demi sedikit. Namun jika jangka waktunya terlalu lama, dan yang dipelajarinya terlalu banyak, jelas pada saat ulangan yang dulu-dulu pernah dipelajari akan terlupa. Untuk itu, menjelang ulangan, seorang murid memang perlu sedikit mengulang apa yang dulu pernah dipelajari, agar ingatannya segar kembali. Namun saat ini, bagi Katerina tidak ada waktu untuk melakukan itu semua, pada tumpukan bukunya.
“Mana dulu yang harus aku garap?” tanyaku.
Katerina mengurai tumpukan bukunya, memilah-milah, lalu menyodorkan buku paket Fisika kepadaku. “Mas, membuat contekan ini saja dulu. Sementara aku belajar Bahasa Inggris.”
Aku mengambil kertas HVS kosong, memotongnya memanjang menjadi tiga bagian. Lalu mulai menyalin rumus-rumus Fisika pada kertas itu dengan tulisan kecil-kecil.
“Kamu bisa baca tulisan sebagus ini?” aku menyodorkan kertas dengan tulisan rumus Fisika itu.
Katerina mengernyitkan kening, mendekatkan tulisan itu ke matanya. “Tidak jelas, Mas.”
“Ah, masak gak jelas. Kamu jangan meremehkan tulisanku begitu,” ujarku bercanda.
Lagi, Katerina mengamati contekan rumus yang kecil-kecil itu. “Hanya beberapa yang bisa dibaca. Sebagian yang lain tidak,” ujarnya.
“Ya, sudah. Aku buatkan lagi yang lebih baik,” aku mengambil sisa sobekan kertas HVS, lalu menulis lagi. “Jangan kuatir, dulu waktu sekolah, tulisanku terkenal paling jelek.”
“Yang bagus, Mas,” Katerina merengek, memukul langanku.
Seseorang mengetuk pintu kamar, sesaat kemudian pembantu masuk- setelah Katerina membukakan pintu- dengan membawa secangkir teh dan sepiring kue kering. “Silakan, Mas,” ucapnya setelah meletakkan di atas meja.
Kuambil hidangan itu, mengunyahnya sambil menyalin rumus-rumus lagi. Saat semacam ini, dalam hati selalu kugumamkan mantra yang kucuplik dari tulisan Pramoedya: makin sengsara, makin lucu. Aku pikir inilah gunanya kuliah empat tahun: membuat contekan anak SMA dibayar dua puluh ribu rupiah, selain menjadi sopir taksi. Sangat lucu.
“Kok sepi-sepi saja di rumah?” tanyaku, sambil melirik Katerina yang membolak-balik catatan Bahasa Inggrisnya.
“Ibu ada, mungkin di kamarnya,” jawab Katerina tanpa memalingkan pandangan dari buku catatannya.
“Ayah kalau pulang malam-malam, ya?”
“Iya, begitulah. Mulai kemarin dia tidak pulang, katanya sih ada kunjungan dinas keluar kota,” jawab Katerina acuh.
Jika sudah berbicara tentang ayahnya, Katerina selalu terkesan tidak peduli. Kasihan gadis ini. Dia memang hidup bergelimang uang. Tiga buah mobil mewah terparkir di garasinya yang luas. Satu untuk ayahnya, satu untuk ibunya, dan terakhir untuk dirinya. Apapun yang dimintanya, akan terwujud dengan mudah. Termasuk sedan mewah itu, yang dimintanya sebagai hadiah ulang tahun. Satu-satunya yang tidak bisa dia minta dengan mudah adalah kehadiran ayahnya di rumah, bahkan pada hari Minggu sekalipun. Sebagai seorang anak tunggal, dia benar-benar telah kehilangan figur seorang ayah.
Hanafi- ayahnya- adalah seorang anggota DPRD yang sangat sibuk. Menurutnya, semenjak SMP, jarang sekali dia menemukan ayahnya duduk santai dirumah, bercanda bersamanya atau ibunya, kecuali hari raya atau hari-hari besar lain.
“Sudah selesai, Mas?” tanya Katerina.
“Hampir,” jawabku sambil terus menulis contekan.
“Sip…! Hampir selesai,” seru Katerina senang.
“Hampir bosen nulis maksduku. Kurang banyak.”
Katerina merengek, lalu melemparkan pulpennya ke arahku.
“Coba lihat ini, bisa baca, gak?” kusodorkan hasil tulisan itu.
Katerina mendekatiku, mengambil contekan, lalu mengamatinya sejenak. “Bisa. Bagus,” dia tersenyum.
“Coba baca dari jarak jauh.”
“Dari jarak berapa meter, Mas?” Katerina bercanda.
“Memang kamu mau baca contekan dari jarak berapa kilometer?” balasku.
Katerina meringis, lalu mencoba membaca tulisan kecil itu dari jarak sekitar setengah meter. “Bisa,” dia tersenyum senang.
“Jangan senang dulu.”
“Lha?! Ya, senang dong. Sudah punya senjata kok,” Katerina mengacungkan kertas contekan yang baru kubuatkan itu.
“Kalau senjatanya makan tuan?” ujarku dengan mimik serius.
“Ah, gak mungkin, gak mungkin. Mana mungkin kertas ini bisa makan Katerina,” jawab gadis itu bercanda lagi.
Aku hanya tersenyum simpul, tidak mempedulikannya, lalu mencecap teh hangat dari cangkir yang tersaji di depanku.
“Kalau ketahuan membuat contekan, bilang saja guru lesnya yang ngajari,” ucapnya sambil memberikan contekan yang belum selesai ditulis itu kepadaku.
“Cerdas,” aku terkekeh.
Satu setengah jam telah berlalu. Les selesai. Ibu Katerina, yang aku tahu bernama Lusi, telah menungguku di ruang tamu.
“Silakan duduk, Mas,” ucapnya sambil tersenyum ramah.
Akupun duduk di atas kursi tamu mewahnya.
“Ini untuk Mas Ahzam, buat beli bensin,” Lusi menyodorkan amplop putih ke depanku.
Dengan sungkan kuambil uang itu, melipatnya, lalu memasukkannya ke dalam saku celana.
Setiap akhir bulan, Lusi selalu memberiku uang yang dibungkus rapi dalam amplop putih. Lumayan, meskipun isinya tidak pernah lebih dari lima puluh ribu. Setidaknya ada tambahan uang les, selain gaji yang aku dapat dari lembaga bimbingan belajar.
“Bagaimana perkembangan belajar Katerina?” lanjut Lusi.
“Bagus, Bu. Katerina itu sebenarnya anak cerdas.”
“Yang sabar ya, Mas,” ujar Lusi sopan.
Beberapa bulan mengajar les Katerina, aku jadi tahu, ternyata Lusi adalah tipe orang kaya yang bisa menghargai. Tipe orang kaya yang tidak menganggap remeh orang lain. Meskipun hidup bergelimang uang dan barang mewah, dia menganggap guru les- bernasib sial- yang ada di depannya ini, seolah sederajat dengan dirinya. Bahkan pernah suatau kali- saat kedua pembantunya pulang kampung- dengan tangannya sendiri dia memasak air panas, membuat teh hangat, lalu menyajikannya untukku. Tentu saja saat itu aku hanya terbengong-bengong.
Pribadi Lusi, sangat kontras dengan suaminya (Hanafi), yang angkuh, sombong, berwajah kaku seperti aspal dan sukar tersenyum, juga cenderung bodoh dan mau menang sendiri.
“Kalau pagi, Mas kerja di mana?”
“Saya wirausaha, Bu. Pagi hingga siang saya menjahit sepatu kulit, yang nantinya akan saya pasarkan sendiri. Sedangkan sorenya saya mengajar les seperti ini,” jawabku berbohong. Aku pikir jawaban seperti itu tidak begitu memalukan, dibanding jika aku berkata jujur, bahwa malam hari bekerja menjadi sopir taksi, yang mangkal di depan diskotek Germo Gendut.
“Ya…, ditelateni saja, Mas. Hidup memang tidak mudah,” nasehatnya.
Aku tahu, maksud Lusi memberi nasehat semacam itu adalah baik. Aku juga yakin, kalimat itu tulus keluar dari dalam hatinya. Aku akan tertunduk khidmat meresapai nasehat itu, bahkan mungkin aku akan menitikkan air mata, seandainya nasehat itu keluar dari mulut wanita tua, yang sepanjang hidupnya adalah perjuangan keras dan kesengsaraan. Namun karena nasehat itu keluar dari mulut wanita dengan dua sedan BMW di garasinya, plus satu sedan Mercy seri terbaru, maka ditelingaku nasehat itu rasanya seperti ‘makian’. Bukan hanya itu, nasehat itu juga rasanya seperti air kencing yang disiramkan ke muka. Tapi terlepas dari itu semua, Lusi adalah orang baik.
“Ya, memang harus begitu, Bu,” aku mengangguk-ngangguk, meringis, dan pura-pura meresapi.
“Sepatu hasil jahitannya dijual kemana, Mas?”
“Kemana saja. Ke toko-toko yang mau menerima.”
“Wa…, bagus…, bagus…,” Lusi mengangguk-ngangguk sambil tersenyum tipis. Wajahnya bersih terawat, begitu juga dengan kulitnya. Dia masih terlihat muda. Aku taksir umurnya sekitar empat puluh tahun.
“Yang sabar ya, Mas, kalau mengajar Katerina. Dia terkadang manja. Kadang juga semaunya sendiri.”
“Biasa, Bu. Begitulah remaja. Apalagi jika kurang mendapat perhatian dari orang tua, dia akan mencari sosok lain untuk mengisi kekurangan itu.”
“Itulah kekhawatiran saya,” Lusi mengusap-usap keningnya, tampak berpikir sejenak. Sepertinya dia tidak berpura-pura dengan ucapannya.
“Ya…, mudah-mudahan dia tidak memerlukan sosok semacam itu. Kalaupun dia memang memerlukan, atau sedang mencarinya, semoga dia menemukan orang yang baik.”
Kini Lusi menatapku lekat-lekat. Dia menegakkan punggung. Tadi, aku berharap ucapanku bisa membuatnya sedikit tenang. Tapi ternyata tidak, kelihatannya dia malah menjadi khawatir.
“Kasihan Katerina,” lanjutnya. “Semenjak SMP dia sudah sering ditinggal ayahnya, karena kesibukan kerja. Jarang sekali ada waktu luang bagi kami untuk berkumpul bersama. Itulah sepertinya yang menyebabkan timbulnya rasa ketidakpedulian terhadap ayahnya. Bahkan akhir-akhir ini, jika ayahnya sedang libur dan berada di rumah, Katerina sudah tidak peduli lagi. Seperti ada jarak di antara mereka.”
Aku hanya diam, tidak memberi tanggapan apapun. Tapi kali ini aku benar-benar memperhatikan keluh kesah ibu rumah tangga kaya raya ini.
“Maukah Mas Ahzam menolong saya?” ujar Lusi bersungguh-sungguh.
“Maksud Ibu?”
“Maksud saya, Mas bukan hanya mengajar pelajaran sekolah, tapi juga mengisi kekosongan sosok psikologis yang dibutuhkan Katerina.”
“Kekosongan sosok psikologis?” aku mengernyitkan kening. Aku dapat menduga kemana arah pembicaraannya, namun aku pura-pura saja tidak tahu, dan sengaja memancing, agar Lusi mengatakan maksudnya dengan lebih gamblang.
“Maksud saya… em…. Maksud saya Mas Ahzam, em……”
“Iya?!” ujarku tenang.
“Bukan hanya mengajar pelajaran sekolah, tapi juga mengisi sosok ayah. Secara psikologis, berperan sebagai ayah bagi Katerina.”
Tepat sekali dugaannku. Bodohnya diriku, kenapa tadi berbicara macam-macam, hingga memancing kekhawatiran Lusi, yang pada akhirnya menyusahkan diriku sendiri. Harusnya tadi aku diam saja, atau pura-pura bodoh.
Tapi semua sudah terlanjur. Biar sajalah, aku juga merasa terhormat, berperan sebagai ayah pengganti, dalam keluarga pejabat kaya raya ini. Meskipun hanya dibayar lima puluh ribu perbulan, dan ini sudah melampai tanggung jawabku sebagai guru privat.
“Saya pikir selama ini Mas Ahzam sudah sangat mengenal Katerina,” lanjut Lusi. “Guru les biasanya cukup dekat dengan muridnya, bahkan kadang sudah seperti sahabat sendiri. Jadi saya pikir, Mas tidak akan kesulitan melakukan hal itu.”
Aku mengangguk dengan berat. “Ya, saya usahakan, Bu,” ujarku lirih.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun