Matahari, yang mengetahui persahabatan Bumi dan Bulan, iri terhadap persahabatan mereka berdua. Ia berpikir, enak sekali mereka memunguti cahayaku ini sementara aku diam di sini tidak memiliki teman. Kemudian ia merencanakan untuk memisahkan persahabatan mereka berdua, dan akan mengajak Bumi untuk menjadi temannya menjelajahi ruang angkasa dan meninggalkan Bulan.
Suatu ketika Bulan dan Bumi sedang asyik bercerita, kemudian Matahari menyeru Bumi untuk mendatanginya, "Hei Bumi! Kemarilah, aku mau bicara sebentar denganmu!" Bumi pun mendatangi Matahari dengan perasaan penasaran,
"Ada apa Matahari? Tumben sekali kau memanggilku, padahal biasanya kusapa pun engkau enggan menyahut?" tanya Bumi kepada Matahari.
"Ah, itu kan biasanya", jawab Matahari, "Sekarang aku sudah berubah, aku ingin punya teman seperti kau dengan Bulan. Bagaimana kalau kau meneruskan perjalananmu bersamaku saja? Aku lebih besar dari Bulan, lebih bisa menjagamu. Aku pun punya sinar sendiri, tak usah kau memungut-mungut sinarku lagi seperti biasa. Kau cukup berjalan bersamaku, dan kita tinggalkan Bulan."
Bumi tidak mengerti apa yang dibicarakan Matahari, "Apa maksudmu? Aku tidak bisa meninggalkan Bulan! Ia sahabatku dari kecil, bahkan sejak lahir. Mana mungkin ia kutinggalkan begitu saja?"
"Tapi aku lebih hebat dari dia," sahut Matahari
"Tetap saja, ia sahabat sejatiku, aku tidak mau dan tidak akan meninggalkannya. Kalau kau mau memiliki teman, aku mau menjadikanmu teman bersama Bulan. Mungkin bertiga lebih baik," jawab Bumi.
"Ayolah," pinta Matahari memaksa, "Aku tidak suka dengan Bulan. Ia kecil, pengekor, dan redup, bahkan tidak punya cahaya," seketika itu Matahari menghentikan ucapannya karena sadar bahwa ia juga telah menghina Bumi.
"Baiklah," kata Bumi ingin mengakhiri, "aku memang kerdil, membuntutimu, bahkan redup tanpa cahaya darimu yang kupungut. Ternyata kau Matahari yang jahat!" Dengan kesal Bumi meninggalkan Matahari dan kembali untuk bermain dengan Bulan.
"Apa yang ingin dibicarakan Matahari denganmu, Bumi? Tidak biasanya ia begitu," tanya Bulan ketika Bumi kembali.
"Bukan apa-apa, ayo kita teruskan permainan kita tadi, sampai mana? hehe," jawab Bumi menghibur, menghindari pertanyaan Bulan.
Mereka, Bumi dan Bulan, pun tetap bersahabat di hari-hari berikutnya. Tapi Bumi tidak tahu bahwa Matahari menaruh dendam pada mereka. Matahari merencanakan, untuk tetap menjauhkan Bulan dari Bumi. Matahari risih dengan senyum yang selalu Bulan dan Bumi sunggingkan di antara mereka dan dirinya. Kemudian suatu saat yang ditunggu-tunggu Matahari tiba, ia bermaksud untuk menjauhkan Bulan dari Bumi.
Ketika Bumi beristirahat di malam hari, dan Bulan terjaga menyinarinya, Matahari mendatangi Bulan tanpa sepengetahuan Bumi dan mulai memberitahunya kebohongan. "Hei Bulan, tidak tahukah kau apa yang aku bicarakan dengan Bumi beberapa hari yang lalu?" Matahari mulai berbohong. "Apakah Bumi belum juga memberitahumu?"
"Apa maksudmu?" Bulan heran tidak mengerti. "Dia bilang kau tidak membicarakan hal penting."
"Hahahaha.. Kau dibohongi dia. Dia bilang begitu karena dia tidak ingin kau tahu bahwa dia akan memutuskan persahabatannya denganmu, persahabatan kalian!"
"Kau yang bohong!" Bulan mulai marah tidak percaya. "Bumi tidak mungkin seperti itu kepadaku. Ia sahabatku, kami adalah sahabat sejati. Kau tahu itu!"
"Tapi ini buktinya. Ia bersedia hendak melanjutkan perjalanannya bersamaku dan meninggalkanmu. Ia mengakui bahwa aku lebih besar darimu, lebih bisa menjaganya daripadamu. Aku bahkan memiliki cahaya sendiri, tidak seperti kau yang redup, sehingga ia tidak perlu bersusah-susah lagi mengumpulkan cahaya dalam perjalanannya. Kau tahu?"
"Tidak mungkin!" Bulan membentak.
"Mungkin saja. Aku lebih dalam segalanya daripadamu. Kau hanya menyusahkan Bumi dalam perjalanannya. Terserah kau saja percaya atau tidak. Besok siang aku akan memancarkan cahayaku yang paling terang dan mengajak Bumi pergi, sementara kau tidur!" Matahari meninggalkan Bulan dengan tawa ringan, sementara Bulan sangat merasa bingung tidak percaya pada apa yang didengarnya.
Semalaman itu Bulan berpikir, tidak seceria biasanya menjaga malam Bumi. Ia bingung memandang wajah Bumi di sampingya, bagaimana mungkin Bulan yang telah menjadi sahabat Bumi sejak lahir itu akan ditinggalkan begitu saja demi Matahari yang bahak tidak pernah memiliki teman? Ia sungguh tidak percaya, dan malam pun serasa berlalu lebih cepat. Tiba-tiba Bumi terbangun di pagi hari.
"Hai Bulan! Mimpi indah seperti biasa," sapa Bumi riang kepada Bulan
"Oh, iya. Iya iya," jawab Bulan bingung.
"Kamu pasti lelah, sekarang gantian aku yang berjaga. Silahkan kau beristirahat."
Bulan hanya mengangguk, dan pergi ke belakang Bumi ke tempat ia biasa beristirahat. Namun ia tidak sungguh-sungguh beristirahat, ia hanya berpura-pura, menunggu tengah hari apakah benar Bumi akan pergi meninggalkannya dan menuju Matahari. Beberapa waktu pun berlalu, dan tengah hari pun tiba. Matahari memancarkan cahanya yang paling cerah, benar.
Ternyata Bumi merasa silau dengan cahaya Matahari yang begitu terang, terlalu terang malah. Ia tidak tahan dengan panas cahaya yang tidak biasa dari Matahari ini. Kemudian Bumi ingin menegur Matahari agar menghentikan cahayanya yang berlebihan itu. Baru saja Bumi akan bergerak menuju tempat Matahari, ternyata Bulan mengira jalan Bumi itu hendak meninggalkannya selamanya.
Kemudian Bulan bergerak ke depan Bumi. Menghalangi jalan Bumi. Seketika itu juga suasana menjadi gelap gulita. Cahaya Matahari tertutup sepenuhnya oleh badan Bulan yang ingin menghadang Bumi. Apa ini, ternyata telah terjadi gerhana. Sambil menitikkan air mata, Bulan berbicara kepada Bumi.
"Bumi, benarkah ini? Kau akan meninggalkan aku, sahabatmu, untuk pergi bersama Matahari? Jahat sekali kau jika ini benar. Lantas apa yang selama ini membuat kita selalu bersahabat? Kau mempercayaiku, dan aku pun tak pernah sekalipun meragukanmu. Apakah semuanya akan berakhir di sini? Hanya gara-gara orang ketiga? Matahari itu?"
"Apa maksudmu?" Bumi sungguh tidak mengerti.
"Kau akan meninggalkanku bukan? Kemarin malam Matahari itu telah menceritakannya kepadaku. Kau akan melanjutkan perjalananmu dengan Matahari itu, dan meniggalkanku seorang diri. Aku memang tak sehebat Matahari itu. Tapi aku telah berusaha sebaik mungkin untuk menjadi sahabatmu yang terbaik. Percayalah padaku. Ijinkan aku tetap menjadi sahabatmu, tetap bersamamu dan menemanimu dalam melanjutkan perjalanan ini. Bukankah kita pernah berjanji? Sudah lupakah kau?"
Akhirnya Bumi mengerti, bahwa itu adalah kebohongan Matahari yang disampaikan pada Bulan untuk menghancurkan persahabatan mereka. Ia menceritakan semuanya kepada Bulan apa sebenarnya yang ia bicarakan dengan Matahari berhari-hari sebelumnya, bahwa Matahari telah membujuknya untuk pergi bersamanya dan meninggalkan Bulan, namun ia menolaknya, demi persahabatannya yang telah mereka bina sejak lama. Sedikit demi sedikit, Bulan pun percaya, dan perlahan air matanya pun ia hentikan.
Kemudian Bumi mengakhiri, "Bulan, aku tahu kita memang saling mempercayai, sejak dulu, sekarang, bahkan sampai kapan pun, aku akan tetap percaya kepadamu, sahabat. Dan kau pun demikian, sungguh percaya kepadaku. Aku tahu itu. Maka dari itu, percayalah bahwa sehebat apa pun Matahari itu dibandingkan dengan kita, tidak akan lebih hebat daripada persahabatn ini yang telah kita miliki bahkan sebelum kita mengenal dia."
Bulan mengangguk, berjalan ke arah Bumi, sehingga gerhana pun berhenti, langit kembali cerah, seperti persahabatan mereka, dan ia pun memeluk Bumi. Saling terharu pada apa yang telah mereka lalui, bahwa mereka telah berhasil melalui cobaan persahabatan ini bersama-sama. Dengan kunci, kepercayaan dan nilai persahabatan, yang bahkan dapat mengalahkan betapa hebatnya Matahari.