Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Proyek X [Mimpi Perjalanan2]

21 April 2012   04:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:20 113 0
Merekayang betul-betul menggemari kecantikan Is secara detail pasti akan kecewa. Mungkin sedikit mengutuk: bagaimana mungkin Is lebih memilih lelaki buta untuk menjadi kekasihnya. Supar dan Parwi (sebelumnya pernah mencoba mengatur agar mereka berdua bisa digosipkan berpacaran dengan Is) merupakan pengikut fanatik Is yang tak habis pikir: atas alasan apa, lelaki buta itu dipilih Is untuk menjadi kekasihnya? Atau, jangan-jangan, memang lelaki buta itu yang mampu memikat hati Is.

Sejarah, bagi Supar dan Parwi, memang ruwet. Dalam risalah Raqk, yang juga merujuk pada tiga risalah yang lain (Zart, Tabr dan Thusl), Qobil, putra anak manusia pertama Adam yang rupawan harus rela berjodoh dengan Labuda, putri yang buruk rupa. Sedang Habil, putra yang buruk rupa justru dijodohkan dengan Iqlima yang rupawan. Dalam konteks "keseimbangan" genetika, perjodohan ini memang masuk akal. Tapi, bukankah kesempurnaan seharusnya justru hanya disandingkan dengan kesempurnaan jua?

Sebagaimana apa yang telah dikatakan risalah kuno Arab yang juga dirujuk oleh keempat risalah tersebut: "lelaki baik akan berjodoh dengan perempuan baik, dan perempuan kafir tidak boleh dinikahkah kepada lelaki yang taat (judul bab: An-Nur, tanda ke-3)". Apakah mungkin, Supar dan Parwi telah tertipu, bahwa kecantikan bukanlah kesempurnaan?

"Ah, pertanyaan bodoh! Memangnya, kalian berdua tidak tahu?", Odin berkata sambil memandang sinis.

"Memangnya kau lebih tahu?," Parwi menyerang dengan ketus. "Nyatanya Aphrodite lebih senang selingkuh dengan Ares!," Supar juga tak mau kalah oleh lelaki yang punya masa kecil yang kelam tadi. Tentu kisahnya tak pantas untuk diceritakan. Jika seseorang mengetahuinya, biarlah karena Odin sendiri yang menceritakannya. "O, jangan salah sangka teman?! Kesempurnaan fisik bukan segalanya!"

"Lalu apa yang bisa kau katakan tentang perselingkuhan Aphrodite dengan Ares? Apa kau mau bilang bahwa Hephaestus yang pincang seharusnya lebih menarik dari pada Ares yang gagah perkasa?", Parwi juga turut menyela.

"Ya..ya..bukannya begitu, sih?". Sekarang Odin tampak malah tampak tak begitu yakin dengan pola pikirnya.
Malam 11, bulan Januari. Ada sejumlah celah metodologis yang bisa Is gunakan untuk menyerang kekasihnya itu. Kekasihnya buta. Mana mungkin ia bisa menceritakan betapa cantik Is? Hal itu mungkin saja terjadi, jika kekasih Is tidak buta sejak lahir. Mungkin dengan perantaraan nasib sial, seseorang bisa menjadi buta. Dan setelah sekian lama akrab dengan konsep-konsep yang lahir dari indra mata, seperti cantik, misalnya, kekasihnya itu tetap bisa menceritakan betapa cantik Is. Tetapi tidak! Kekasih Is bukan tidak buta sejak lahir. Ia betul-betul buta sejak lahir. Is belum bisa menerima: dari mana kekasihnya bisa menceritakan betapa cantik Is?

"Kau hanya harus percaya, kekasihku," kekasih Is setengah meminta pengertian Is.  "Tidak! Kau sendiri yang bilang: jangan terlalu mempercayai seseorang!"

"Tapi, aku jujur, kekasihku," kekasih Is masih mencoba bertahan. "Tidak! Kurasa kau sudah berbohong. Engkau sudah terpedaya oleh tipuan-tipuan orang-orang di sekitarmu. Kau buta. Sejak lahir, lagi. Kau mengatakan apa yang orang-orang katakan tentang diriku, bukan? Dari mana kau bisa mengatakan jika perpaduan alis dan mataku lebih indah dari awan sore yang berarak membentuk bidadari?", Is setengah membentak. Is kesal.

Tiga setengah tahun yang lalu, kekasihnya sudah mengatakan, betapa ia sangat ingin menjadi suami Is. Tetapi, tentu saja, waktu itu, Is bukan bidadari jelek yang tak punya banyak penggemar. Jadi, ketika itu, Is menolak pinangan kekasihnya itu. Tapi, ada skenario lain yang Is ingin mainkan: suatu saat nanti, mungkin dengan perantaraan kebetulan, Is akan menghubungi kekasihnya itu, untuk suatu maksud yang lebih cocok disebut rayuan.

Kita semua, toh, tahu: tak ada yang benar-benar serius dalam sebuah rayuan. Mungkin Is memang ingin melumat tubuh kekasihnya itu, tapi mungkin juga tidak. Is mungkin menginginkan kekasihnya itu menghasrati tubuhnya yang aduhai, tapi mungkin juga tidak. Apa yang akan dikatakan orang-orang nanti, jika mereka mengetahui: Is telah merayu seorang lelaki buta! Iih...!

Sampai suatu saat, di pagi hari, tepat 1238 hari yang lalu, atau 1 hari setelah tiga setengah tahun yang lalu menurut perhitungan kalender bulan, keadaan menjadi tak terkontrol. Is muak dengan segala atribut yang disematkan orang-orang kepadanya: rupawan, aduhai, cantik, lemah lembut, bahkan keibuan, atau malah bidadari yang menenggelamkan segala kahyangan.

Ia hanya ingin menjadi perempuan sahaja, atau malah: perempuan saja -tanpa fonem "ha" di antara kata saja. Titik. Bagaimana mungkin, orang-orang membingkai konsep-konsep kehidupan yang harus ia jalani. Toh, dia sendiri yang akan menjalani kehidupannya -bukan orang-orang. Mengapa ia harus mencari kekasih yang tampan? Ia juga menolak harus tampil wangi setiap pagi ketika orang-orang desa sudah mulai pergi ke pasar melewati jalan setapak di depan rumahnya. Beberapa hal itu membuatnya: kacau!!

Tentu, penolakan yang ia lakukan, toh, tak segampang yang ia pikirkan. Ia harus mencari cara agar apa-apa yang ia lakukan nantinya menjadi logis di mata orang-orang desa. Untuk itu, ia berguru kepada Odin. Semua orang di desa tahu: Odin bukanlah pemuda yang pantas dijadikan teman, apalagi oleh seorang bidadari semacam Is. Odin selalu meracau, menyeringai, sinis, mulutnya penuh ludah-ludah yang tak akan habis-habisnya ia muntahkan untuk menenggelamkan segala suasana menjadi memuakkan.
Hari berganti, dan bulan sudah mulai melingkar penuh. Risalah Thusl yang tersimpan rapi di perpustakaan desa mengatakan bahwa musim hujan akan datang bersama dengan para pedagang dari negeri-negeri yang jauh. Para pedagang ini, justru menawarkan dirinya untuk membeli persediaan bahan makanan kami. Seolah, mereka ingin mengatakan: uang lebih berharga dari pada biji-bijian kami.

Nah, kepada pedagang-pedagang ini, Is akan menguji proyek penolakannya: bahwa ia perempuan saja, tanpa embel-embel bidadari yang menenggelamkan semua kahyangan.  Tepat ketika pedagang-pedagang itu datang ke desa, seperti yang diramalkan risalah Thusl, hujan datang bertubi-tubi. Saat hujan bersembunyi di dedaunan hutan desa, Is menghampiri salah seorang dari pedagang-pedagang itu. Ia bertanya dan mencoba mengkonfirmasikan keadaan dirinya dengan sebuah pertanyaan sederhana: bukankah aku perempuan buruk rupa? Tentu saja, Is mengharapkan jawaban yang jujur dari pedagang tersebut.

Dalam pikirannya, segera setelah pedagang itu menjawab, ia akan mematahkan jawaban jujur pedagang tersebut dengan logika-logika aneh yang sudah ia pelajari bersama Odin -lengkap dengan mimik khas seorang perempuan tak cantik. Ia juga tak akan mau, bila pedagang tersebut, mencoba menenangkan dirinya dengan kata-kata bijaksana sebagaimana yang ia dengar dari orang-orang desa.

Tapi, setelah beberapa dedaunan melayang jatuh di sela-sela tanah di antara mereka berdua, pedagang itu tak jua memberikan jawabannya. Is baru saja akan melakukan rencana cadangan bila pedagang ini tak mau diajak bekerja sama, tapi pedagang itu segera berkata: bukankah kau memang buruk rupa? Mengapa kau menanyakan hal yang sudah kau ketahui? Tentu saja kau perempuan buruk rupa! Apa yang kau harapkan dari pertanyaanmu? Kau ini perempuan aneh!

Jelas, jawaban pedagang itu di luar prediksi Is -sama sekali. Jadi, Is tak tahu harus melakukan apa. Semua rencana yang ia susun dimulai dari asumsi dasar yang sudah diruntuhkan oleh jawaban pedagang tersebut. Is benar-benar tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Bahkan, hanya untuk mengkonfirmasi jawaban pedagang tersebut dengan kalimat: benarkah?, Is tetap tidak sanggup. Is terlanjur tenggelam dalam kekecewaan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Musimhujan tak lagi bersembunyi di dedaunan hutan desa. Payung-payung dilipat baik-baik sebagaimana sebelumnya. Hujan benar-benar telah pergi bersama dengan kepergian pedagang-pedagang itu. Risalah Zart di bawah judul bab Kenangan, tanda ke-111, mencatat beberapa kejadian penting setelah Is bergaul dengan Odin dan berbincang kepada pedagang-pedagang yang meninggalkan desa.  Rupanya kekecewaan telah benar-benar merenggut ingatan Is -betapapun ia masih dipuja-puji orang-orang desa sebagai bidadari. Tapi, ketika ia mendapatkan hal yang sebaliknya -yang selalu ia idamkan -- dari para pedagang, justru ia tidak sanggup.

"Kau terlalu sibuk memikirkan kenyataan, kekasihku..," lelaki buta kekasih Is menyergah kemurungan Is.  "Apa aku sudah berubah?," tanya Is kepada kekasihnya.  "Kau dulu sering tertawa ceria, dan kini....," kekasih Is menjawab sekenanya.

"Ya, aku dulu melakukannya..,"  "Tapi, kau tetap bidadari kekasihku..," kekasih Is mencoba meyakinkan kesetiaannya di hadapan Is.  "Kau buta sejak lahir. Apa yang kau ketahui tentang kecantikanku!!"

"Tapi, orang-orang desa mengatakan kebenaran itu -setidaknya kebenaran itu kenyataan yang mereka yakini"  "Apa yang bisa kau ceritakan kepadaku tentang keyakinan dari sebuah kebenaran, ataupun kenyataan menurut ungkapanmu! Nyatanya, pedagang-pedagang itu mengatakan hal yang sebaliknya tentang diriku: aku buruk rupa!!"

"Kau terlalu sibuk memikirkan kenyataan, kekasihku...kau terlalu sibuk..."  "Justru kau yang tidak menyempatkan diri untuk memeriksa keyakinanmu!!"

"Untuk apa? Kehadiran cantikmu sudah cukup buatku. Terserah apa kata pedagang! Aku tetap mengagumi kecantikanmu,""Keyakinan konyol!!"

"Aih, justru kau yang tampak konyol, kekasihku? Kau habiskan waktumu untuk hal yang tak bisa kau pahami sepenuhnya. Kau melewatkan keindahan-keindahan yang bisa kau akrabi di setiap inchi keberadaanmu. Setidaknya, jika kau tetap ingin kritis, kau tak boleh menyia-nyiakan kenyataan dengan tak mengakrabinya."  "Mungkin....yah, bisa saja..aku akan bertemu Odin," Kekasih Is hanya menghela napas. Dan, Is pun segera bergegas.
Setelah melewati pertigaan kecil di ujung desa, belok kiri, menyeberang sungai kecil berbatu, menyibak beberapa ranting yang menggelantung di jalan setapak, menuruni jalan tiga perempat ladang jagung, sampailah Is di gubug tak berdinding. Seseorang berpakaian sama seperti semua pemuda di desa tampak menepuk-nepuk kedua kakinya dengan ranting kecil secara bergantian: kiri lalu kanan, kanan lalu yang kiri.

Mungkin, kakinya kelelahan setelah berjalan jauh, pikir Is. Mata pemuda ini menatap tajam ke kerumunan semak-semak di depannya. Ya, dialah Odin. Entah dari mana kata itu berasal. Orang-orang desa mengenalnya setelah wabah kematian yang menyerang desa mereka, sepuluh tahun yang lalu. Waktu itu kematian mengunjungi desa tiap tiga menit. Pada saat wabah berhenti, orang-orang desa menemukan Odin duduk telanjang di atas salah satu kuburan terakhir yang dibuat orang desa.

Sejak saat itu, Odin menjadi tempat bertanya hal-hal yang bertentangan. Jika orang-orang desa ingin mendengar yang tidak sepantasnya didengar, melihat yang tak semestinya diihat, melakukan yang belum pernah dilakukan, maka orang-orang desa bisa belajar kepada Odin. Itulah mengapa Is terobsesi untuk berguru kepada Odin untuk memeriksa hal-hal yang ia anggap tak seharusnya terjadi -termasuk tentang kecantikannya. Tetapi, proyek penolakannya tak disetujui Odin. Is hanya diperbolehkan untuk mencobanya secara tak serius. Tentu saja, Is menolak. Kini, Is bahkan tak tahu apa yang harus ia bicarakan dengan Odin. Mereka berdua masih duduk di gubug tak berdinding -membiarkan angin hutan menerpa lamunan mereka.

"Tentu saja kau memang cantik. Apalagi yang kau harapkan?," tanya Odin tiba-tiba setelah beberapa kali mengucapkan kalimat yang sama tersebut berulang kali di masa lalu.  "Tapi, para pedagang itu mengucapkan hal yang sebaliknya!," timpal Is.

"Apa yang mereka tahu tentang kecantikan dirimu?," sahut Odin cepat-cepat.  "Yang aku tahu, orang-orang desa tak punya dasar yang meyakinkan untuk memuja kecantikanku!"  "Untuk apa dasar itu?"

"Setidaknya mereka punya sesuatu yang meyakinkanku!"  "Apa kekasihmu tak cukup meyakinkanmu?"  "Apa? Dia? Dia itu buta! Apa yang bisa kau pahami dari keyakinan orang buta sejak lahir! Apa kau coba mengatakan bahwa penglihatan batinnya lebih tajam dari mata kepala? Tidak! Itu klise!"

"Tidak! Kecantikanmu tidak klise!"  "Owh, sejak kapan kau mulai seperti orang-orang desa itu!" Odin, tentu saja, terhenyak oleh tuduhan Is. Ia sama sekali tak menyangka akan mendapat tuduhan serius ini. Baginya, tuduhan itu sangat menyakitkan. Sebab, seumur hidup ia mencari jalan setapak yang tak pernah dilalui orang-orang desa. Ia mempunyai jalannya sendiri. Ia tak pernah menyangka bahwa ia akan disamakan dengan orang-orang desa.

Waktu diam beberapa lama. Setelah beberapa jangkrik hutan menyeringai, ia mengaku: "Ya..setidaknya, beberapa kali, sepertinya, aku memimpikan berciuman dengan dirimu!" Odin menghirup napas udara hutan dalam-dalam, berharap Is akan melunakkan tuduhannya. Tetapi, tampaknya hal yang sebaliknya justru terjadi.

"Oiya? Wow! Odin? Kaukah itu?"  Is mulai bertingkah -mungkin ia girang. Is meliukkan tubuhnya sambil berjalan setengah putaran untuk menggoda Odin. Sembari mengulum senyum, Is mendekatkan dua jarinya ke kedua bibirnya layaknya mengulum sebatang rokok yang menyala dan kemudian seolah menghembuskan asap rokok ke wajah Odin.  "Sumpah! Demi Dewan Tinggi Langit, apa kau menggodaku?," suara Odin meninggi.

"Ow, jadi, kau sekarang menuduhku menggodamu? Bukankah kau justru mengatakan sesuatu yang bisa disebut godaan kepadaku?," Is justru balik menyerang.

"Kau yang memaksaku mengatakan hal itu!"  "Aku tak memaksamu untuk melibatkan diri dalam obyek pembicaraan kita? Justru kau sendiri yang melempar dirimu dalam pembicaraan kita!" "Tapi, kau keras kepala!"  "Okey, tapi itu bukan urusanmu! Kau bisa saja tak melempar dirimu..." "Sudah, sudah, sudah...," Odin menarik lengan Is. Dan....
Pagi tanggal 12 bulan April. Gemerisik daun di hutan dan angin-angin kecil yang bercanda membaitkan simphoni pendek di ujung desa. Risalah Zart, di bawah judul bab Kejadian Terencana, tanda ke-444, yang juga dirujuk oleh ke-3 risalah yang lain mencatat adanya ketegangan kecil setelah insiden pertemuan Is dan Odin di gubug ujung desa. Beberapa orang desa percaya bahwa keduanya telah berlaku tak senonoh.

Beberapa yang lainnya hanya percaya bahwa mereka hampir saja berciuman. Sebagian kecil percaya bahwa justru Odin atau Is yang sengaja melakukan godaan kotor. Yang jelas, beberapa saksi yang muncul mempunyai kesaksian yang sama-sama tak mengarah pada satu kesimpulan. Akhirnya, Kepala desa menganggap keduanya tak boleh lagi berduaan di gubug ujung desa itu. Gubug itu dibakar dan dimusnahkan. Sejak kejadian itu, sepertinya, Supar tak lagi tertarik melewati jalan setapak hanya agar dapat mengakrabi wangi Is saat orang desa pergi ke pasar di pagi hari.

"Kita tak mungkin lagi melewati jalan setapak itu lagi, Wi," Supar setengah bergumam.  "Ya, tampaknya kita harus melewati jalan yang lain," Parwi menyetujui ide Supar.  "Heh! Bukankah kalian sudah kuperingatkan?," Odin menyungut dengan sinis.

"Kami tak mungkin mengikuti jalan gelapmu, kawan?" Parwi menyergah dengan cepat. Dan secara hampir bersamaan, Supar dan Parwi tertawa terbahak-bahak.  "Betul!", Supar menguatkan sergahan Parwi.  "Kalian jangan salah sangka. Aku tak mempromosikan jalan-ku kepada kalian. Kalianlah yang tampaknya hanya mengikuti jalan orang-orang desa. Bukankah kalian harus menemukan jalan kalian sendiri?"

"Tapi, kami tak punya pilihan lain?," "Hanya Is yang pantas dijadikan gadis pujaan?"  "Memangnya kau mempunyai gadis pujaan yang lain?,""Hahahahahahahhahhaha!!!!"  "Kami akan mencari gadis pujaan yang lain!"

Beberapa pemuda desa yang lain masih melewati jalan setapak sebagaimana saat orang desa pergi pasar pada pagi hari. Mereka masih mencoba mengakrabi wangi Is yang tak lagi sewangi dulu. Tapi, lama kelamaan, tak ada lagi pemuda desa yang melewati jalan setapak itu. Kecuali, seorang pemuda buta yang tak tahu harus mencari jalan selain jalan setapak yang dilalui orang desa saat pergi ke pasar pada pagi hari.  Pemuda buta itu adalah lelaki buta kekasih Is.    (*)
Kembang, April 2012

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun