Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Mati Karena Obat

15 Oktober 2013   00:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:32 600 0
Seringkali tahu lebih banyak tentang sesuatu jauh lebih berbahaya daripada tahu secukupnya.

Teringat saat saya harus opname akibat Demam Berdarah Dengue (DBD) sekitar Tahun 2007, saat itu sedang mewabah di kampung saya. Saya harus masuk rumah sakit karena katanya trombosit saya sudah dibawah standar, jadi saya harus istirahat total, diinfus, dan minum obat, untungnya nafsu makan tidak berkurang sama sekali.

Di kamar sebelah saya juga pasien DBD yang sudah masuk sehari dua hari lebih awal dari saya, dan istimewanya menurut gosip perawat yang rutin masuk untuk memeriksa saya, pasien tersebut adalah seorang dokter yang sedang memperdalam mengenai DBD.

Trombosit kami berpacu, bahkan bisa dikatakan saya memenangkan perlombaan karena selain sudah start DBD dan masuk rumah sakit lebih dahulu, trombosit si  dokter masih 7, sedangkan saya yang masuk rumah sakit belakangan trombosit saya sudah 4, pada saat yang bersamaan.

Dokter spesialis berdiskusi dengan orangtua saya dan akhirnya diputuskan bahwa saya harus siap-siap untuk tindakan transfusi dalam waktu 8 jam kedepan dan tindakan apa pun yang bisa dilakukan untuk mencegah trombosit saya turun lebih dekat menuju NOL.

Keluarga berbicara di depan, tapi mungkin mereka tak sadar kalau suaranya masih terdengar ke dalam. Terus terang saat orang panik saya malah bingung, karena saat itu saya merasa baik-baik saja, bosan harus di tempat tidur terus, bahkan masih bisa nonton TV, menelpon, dan bercanda, makan terang bulan (martabak manis), sate kambing, bahkan KFC.

Saya baru mengerti kalau jumlah trombosit saya itu termasuk kondisi kritis setelah keesokan harinya saya dengar perawat cerita di depan kamar dengan orangtua bahwa si dokter yang trombositnya 7 itu telah meninggal, menurut perawat kondisi ini selain takdir, mungkin karena dipercepat oleh kecemasan si dokter itu sendiri yang sangat memahami tentang DBD.

Akhir cerita, dua hari kemudian saya sembuh dan pulang (kalau tidak, mungkin tulisan ini tidak ada, hehehe.....) tanpa harus ditransfusi darah, dalam dua hari itu trombosit saya naik hingga batas normal, yang kata dokter karena saya tidak sulit makan dan minum sehingga kondisi tubuh cepat pulih.

Dari situ akhirnya saya menyimpulkan, tahu terlalu banyak bisa jadi berbahaya, adalah aman untuk tahu secukupnya, tapi kalau sampai tidak tahu apa-apa, itu namanya kebangetan... hehehehe...

Ijinkan saya mengakhiri tulisan ini dengan mengulang sebuah cerita yang pernah disampaikan oleh Ajahn Chah, bila tidak sama persis dengan aslinya, semoga tidak mengurangi maknanya.

Ceritanya begini:

Seorang dokter umum pergi kepada koleganya seorang dokter spesialis untuk mendapatkan obat atas penyakit yang dideritanya.

Dokter spesialis memberikan resep tiga jenis obat yang ternyata menurut dokter umum adalah obat yang dia ketahui dengan detil kandungan dan fungsinya, dan dia kecewa karena berharap sang dokter spesial akan memberikan resep yang luar biasa untuk dirinya.

Dokter umum ini menyampaikan keluh kesahnya kepada setiap keluarga, kerabat, kolega, dan kenalan yang menjenguknya mengenai betapa dokter spesialis itu tidak lebih cerdas darinya walaupun seorang spesialis, dokter umum ini terus mengeluh dan kecewa sepanjang waktu atas kebodohan dan kesalahan resep si dokter spesialis.

Sampai dua minggu kemudian, dua hari setelah acara pemakaman si dokter umum, anak si dokter umum menemukan di bawah kasur, 3 pepel obat yang diresepkan oleh  si spesialis, masih utuh dan tersegel rapi tanpa kurang satu butir pun.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun