UU Pilkada yang Jumat dini hari 25 September 2014 disahkan oleh DPR RI sejatinya sebuah strategi suatu kekuatan domestik / asing yang dijalankan melalui atau pinjam tangan SBY untuk mengganyang eksistensi PDI Perjuangan.Sebuah kekuatan yang tidak menginginkan PDI Perjuangan di bawah Megawati menguat. Banyak faktor peristiwa masa lalu yang akan membahayakan bagi eksistensi kelompok domestik / asing yang bercokol di dalam negara Indonesia jika sampai PDI Perjuangan menguasai kekuatan NKRI. Oleh karena itu melalui menghalalkan segala cara agar PDI Perjuangan tidak pernah mampu membawa Indonesia menjadi negara kuat dengan rakyat sejahtera.
Tragedi sejak dalam perang Kemerdekaan, perang Mandala, hingga peristiwa G30S/PKI adalah warisan bangsa yang harus diamankan oleh kelompok tersebut agar rakyat tidak tahu sampai kapanpun, sehingga eksistensinya dapat dipertahankan di Indonesia untuk berbagai tujuan terutama menguasai sumber daya alam Indonesia.
Untuk melemahkan PDI Perjuangan maka tidak ada cara lain selain merekayasa berbagai UU Pemilu termasuk Pilkada. Jika tahun 2005 terbit UU Pilkada langsung, adalah dalam rangka menjegal kekuatan PDI Perjuangan yang cukup dominan di DPRD. Jika tidak ada perubahan UU Pilkada, maka sulit bagi SBY untuk menempatkan orang-orangnya dalam formasi Kepala Daerah karena DPRD sudah dikuasai PDI Perjuangan. Dengan menggeser kekuatan DPRD kepada kekuatan rakyat maka mudah bagi SBY menerapkan strategi pemenangan para Kepala Daerah, demikian juga Kepala Daerah yang masih menjabat sangat mudah untuk ditekan agar migrasi ke Partai Demokrat. Maka sejak lahirnya UU Pilkada 2005, membanjirlah mgrasi Kepala Daerah yang ingin "Selamat" dari "serangan" orang-orangnya SBY.
Namun ketika Partai Demokrat dan SBY gagal membangun kekuasaan yang handal, maka simpati rakyat bergeser kepada PDI Perjuangan dan Megawati. Apalagi dalam penerintahan SBY selama 5 tahun terakhir hanya menyisakan kegalauan publik atas kinerjanya yang buruk dalam segala bidang. Mulai pemberantasan korupsi yang terkeser-keser hingga jebloknya pengelolaan ekonomi makro seperti defisit neraca perdagangan, defisit neraca pembayaran, jatuhnya nilai tukar Rupiah dari Rp 9.500,- terjun menjadi Rp 12.0000,-, bunga bank yang bertengger tinggi, dan hutang luar negeri yang kini mencapai Rp 3000 Trilyun lebih, belum lagi pemborosan luar biasa dalam mengelola APBN.
Pada pileg / pilpres 2014 terbukti bahwa rakyat telah bersimpati kepada PDI Perjuangan apalagi dengan sikap legowo sang Ketum Megawati untuk mendelegasikan pencapresan kepada sosok Jokowi. Akibat derasnya arus simpati kepada Jokowi dan PDI Perjuangan daripada ke pemerintahan SBY, maka terjadi kekhawatiran di lingkungan penguasa bahwa Indonesia akan terjadinya perubahan besar yang mengancam eksistensinya sebuah kekuatan yang bercokol di negeri ini yang selama ini menguasai migas, laut, dan hutan serta tambang dan kekayaan negara lainnya. Maka terbentuklah kekuatan yang menunggangi pencapresan Prabowo, dengan menggandeng parpol-parpol bermasalah dan yang tidak diakomodir oleh PDI Perjuangan. Berbekal logistik yang hampir tidak terbatas maka serangan gencar dialamatkan ke Jokowi dan PDI Perjuangan dengan beragam strategi. Beragam strategi serangan cukup berhasil karena pada Pileg 9 April 2014 mampu menurunkan elektabilitas PDI Perjuangan dari prediksi sekitar 30% menjadi 19% . Demikian juga saat Pilpres 22 Juli 2014, berbagai strategi serangan juga mampu mengerem elektabilitas Jokowi dari sekitar 60% menjadi 53%.
Serangan terhadap Jokowi tidak cuma sebatas saat pilpres, namun pasca pilpres pun terus diupayakan menggoyang eksistensi hasil pilpres dengan gugatan ke Mahkamah Konstutusi. Karena dalam pengadilan MK, pihak Jokowi menang mak disiapkan amunisi baru yaitu UU Pilkada 2014. Dengan UU Pilkada yang disahkan pada tanggal 25 September 2014 ini maka ada upaya untuk menjegal pemerintahan Jokowi - PDI Perjuangan melalui mekanisme pemilihan kepala daerah lewat DPRD. Dengan Pilkada melalui DPRD maka akan lebih mudah mengatur siapa yang layak dijadikan kepala daerah yang bisa melawan kekuasaan Jokowi dan PDI Perjuangan. Ini sekaligus untuk meredam tampilnya sosok kepada daerah yang berkarakter yang berani membela rakyatnya seperti Wagb DKI Basuki T.P., Walkot Bandung Ridwan Kamil, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, Walkot Surabaya Tri Risma Harini, Bupati Banyuwangi, Bupati Bantaeng, dsb.
Inilah kesempatan SBY dan kekuatan yang melindunginya untuk tetap bisa mengendalikan Indonesia dalam penguasaan sumber daya alam dan meminimalisir kekuasaan Jokowi - JK serta PDI Perjuangan. Akan halnya Koalisi Merah Putih cuma dijadikan kuda tunggangan saja karena mudahnya diadu domba dengan pemerintah terpilih.
Setelah kekuasaan DPRD dikuasai dan kekuatan pemerintahan Jokowi - JK diminimalisir dalam episode berikutnya kita akan saksikan bagaimana infrastruktur pemerintahan NKRI seperti KPK, PPATK, BUMN akan dilumpuhkan melalui UU yang disahkan oleh DPR / DPRD.
Akhirnya saya katakan, lahirnya UU Pilkada 2014 tidak terpisah dari beredarnya Tabloid Obor yang mampu mengerem elektabilitas Jokowi dan PDI Perjuangan.
Terima kasih.