Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Kritik-Kritik Hizbut Tahrir

11 April 2015   10:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:15 1534 0
Tulisan ini tidaklah mewakili institusi. Tetapi tulisan ini murni pendapat pribadi. Tulisan ini adalah kesimpulan dari apa yang diajarkan Hizbut Tahrir. Tulisan sederhana ini sekedar luapan isi pikiran atas tuduhan-tuduhan yang terkesan emosional, yang ditujukan kepada jamaah Hizbut Tahrir. Tulisan ini mencoba mendudukkan persoalan pada tempatnya, dimana Hizbut Tahrir memiliki suatu pemahaman, dan dengan pemahamannya itulah segala pandangan terhadap realitas terpancarkan.

Hizbut Tahrir adalah sebuah partai politik yang memperjuangkan kembalinya kehidupan Islam di bawah naungan khilafah Islam. Dalam perjuangannya, Hizbut Tahrir menempuh perjuangan untuk mengubah masyarakat, dari yang semula belum Islami menjadi masyarakat Islami. Dengan masyarakat Islami itulah, maka seluruh sendi-sendi kehidupan Islam akan terwujud. Sendi-sendi kehidupan Islam yang dimaksud ada tiga aspek, yaitu aspek hubungan manusia dengan Sang Pencipta (Allah) yang meliputi akidah dan ibadah; lalu aspek hubungan manusia dengan dirinya sendiri yang meliputi akhlak, makanan-minuman, dan pakaian; serta aspek hubungan manusia dengan sesamanya yang meliputi kehidupan sosial, politik pemerintahan, ekonomi, pendidikan, keamanan, kesehatan, dan sebagainya. Jadi, pergerakan dakwah Hizbut Tahrir adalah pada ranah perubahan masyarakat, bukan perubahan individu.

Ada dua pandangan tentang masyarakat. Pandangan pertama menganggap bahwa masyarakat adalah sekumpulan individu yang mendiami tempat tertentu dan memiliki tujuan yang sama. Sementara pandangan yang kedua, masyarakat adalah sekumpulan individu mendiami suatu tempat yang diikat dengan pemikiran tertentu, perasaan tertentu, dan sistem tertentu. Dengan adanya perbedaan pandangan seperti ini, maka akan berbeda pula dalam memahami cara mengubah masyarakat.

Pada pandangan yang pertama, perubahan masyarakat hanya dipahami dari perubahan individu-individu. Jika tiap-tiap individu telah menjadi Islami, maka hal itu akan menghasilkan masyarakat yang Islami. Jadi, perubahan itu hanya cukup pada tataran individu-individu saja. Perubahan individu, ditandai dengan perubahan pada hal-hal yang melekat pada individu. Apa saja hal-hal yang melekat pada individu? Yaitu meliputi akidah, ibadah, makanan-minuman, pakaian, dan akhlak. Jika hal-hal seperti ini sudah Islami, maka akan dinilai sebagai masyarakat yang Islami.

Sementara pada pandangan yang kedua, perubahan masyarakat tidak cukup dipahami dari perubahan individu, melainkan harus ada perubahan hal-hal yang mengikat individu-individu tersebut. Apa saja hal-hal yang mengikat individu-individu tersebut? Hal-hal yang mengikat individu-individu tersebut tidak lain adalah pemikiran, perasaan, dan sistem yang diterapkan di tengah-tengah mereka. Karena itu, selain individu-individunya sudah Islami, maka pemikiran yang diterapkan di tengah-tengah mereka, perasaan, serta sistem politik yang ada, juga harus Islami. Inilah yang menjadi pandangan Hizbut Tahrir.

Dalam pandangan Hizbut Tahrir, perubahan individu, tidak serta merta akan mengubah kondisi masyarakat. Individu yang baik, ditambah individu yang baik lagi, kemudian ditambah puluhan bahkan ratusan hingga ribuan individu yang baik lagi, belum tentu akan menghasilkan masyarakat yang baik. Kenapa bisa dikatakan belum tentu? Sebab, yang berubah hanya individu-individunya saja. Sementara hal-hal yang mengikat individu satu dengan individu yang lainnya, tidak berubah.

Karena yang berubah hanya individu, maka perubahan itu hanya berkisar pada hal-hal yang melekat pada individu. Sementara pemikiran, perasaan, dan sistem yang ada, tidak berubah sama sekali. Jadi, kalau individu-individu itu sudah memiliki akidah Islam, tata cara peribadatannya juga sudah bagus, pakaiannya mengikuti sunah rasul, makanan dan minumannya jauh dari yang haram, akhlaknya juga sangat dijunjung tinggi; tetap saja tidak akan dikatakan sebagai masyarakat Islami, jika sistem yang mengikat individu-individu itu masih berupa sistem yang tidak Islami, misalnya politiknya demokrasi atau otokrasi, sistem ekonominya liberal atau ekonomi sosialis, bersahabat dengan negara kafir harbi, menjadikan hak legislasi itu kepada manusia (kedaulatan di tangan manusia), dan sebagainya.

Berdasarkan pandangan di atas, perubahan-perubahan yang terjadi di dunia Islam, harus dibarengi dengan perubahan-perubahan pemikiran, perasaan, serta sistem; bukan hanya perubahan individu saja. Ketika perubahan itu terjadi, maka konsekuensinya adalah terjadi perubahan menyeluruh dalam segenap aspek kehidupan. Tidak bisa dilakukan secara bertahap. Ketika terjadi perubahan masyarakat, dari masyarakat yang tidak Islami menuju masyarakat yang Islami, ditandai oleh satu peristiwa besar yaitu tidak diakuinya lagi pemikiran, perasaan, dan sistem lama (selain Islam); serta diterapkannya sistem Islam secara menyeluruh dalam setiap aspek kehidupan.

Namun jika yang diterapkan adalah setengah-setengah atau bertahap (misalnya perubahan individu terlebih dahulu, sementara perubahan masyarakat belakangan), maka tetap saja masyarakat tidak bisa dikatakan berubah, sebab yang berubah adalah individu-individu.

Dalam konteks inilah Hizbut Tahrir mengkritisi berbagai hal yang terjadi di dunia Islam, yaitu konteks perubahannya, apakah itu perubahan individu ataukah perubahan masyarakat; serta apakah penerapan Islam itu secara menyeluruh atau setengah-setengah. Tetapi hal ini rupanya telah memicu kesalahpahaman di antara kaum muslim. Sebagian dari mereka bahkan melakukan caci maki yang tidak perlu, dikarenakan ketidakpahaman atas diri mereka.

Contohnya adalah peristiwa naiknya Dr. Muhammad Mursy menjadi presiden Mesir. Beliau adalah seorang aktivitas dakwah, pejuang Islam dari jamaah dakwah Ikhwanul Muslimin. Beliau seorang penghafal Al-Quran. Selalu salat berjamaah di masjid. Jika kita melihat persoalan ini dari sisi perubahan individu, tentulah kita akan menilai bahwa hal tersebut adalah suatu nilai yang positif dan membanggakan. Sebab, seorang individu muslim yang sangat Islami bisa menjadi kepala negara. Tetapi jika dinilai dari konteks perubahan masyarakat, tentu hal tersebut tidak akan banyak berpengaruh. Hal-hal yang melekat pada masyarakat (pemikiran, perasaan, dan sistem) tetap sebagaimana adanya, sama seperti ketika beliau belum memimpin.

Memang ada perubahan, dari rezim sebelumnya ke pemerintahan Dr. Mursy. Tetapi perubahan itu bukanlah pada persoalan yang paling mendasar (pemikiran, perasaan, dan sistem). Perubahan yang terjadi adalah perubahan kebijakan, pada sistem yang tetap. Misalnya, beliau menaikkan gaji PNS sampai 200%, beliau mengadakan swasembada pangan sampai 60% (sebelumnya hanya 20%), membangun pabrik mobil dan persenjataan dalam negeri, dan sebagainya.

Tetapi perubahan-perubahan semacam itu ternyata tidak berdampak positif pada perubahan masyarakat. Mengapa? Sebab, perubahan-perubahan itu tetap pada tataran sistem demokrasi dan sekular. Sekalipun ada perubahan, tetapi kedua sistem ini tidak tergusur. Mesir masih terikat dengan sistem kapitalis, baik dari dalam maupun luar negeri. Bahkan Dr. Mursy memiliki pandangan untuk melakukan pinjaman ke IMF. Ini artinya, beliau belum bisa melepaskan diri dari cengkeraman kapitalisme; yang artinya, belum ada perubahan masyarakat ke arah Islam dari kasus Mesir. Padahal, perubahan masyarakat mengharuskan terjadinya perubahan secara mendasar dan totalitas.

Dengan realitas semacam itu, wajar jika Hizbut Tahrir melakukan kritik. Sebab, Hizbut Tahrir memandang segala perubahan itu dalam kacamata perubahan masyarakat, bukan perubahan individu. Artinya, perubahan masyarakat harus ditandai dengan perubahan pemikiran dan perasaan yang mengikat masyarakat, dari pemikiran dan perasaan yang belum Islami menjadi pemikiran dan perasaan yang islami. Demikian pula perubahan sistemnya, harus berubah. Sistem tersebut meliputi politik pemerintahan, politik ekonomi, politik sosial, kesehatan, pendidikan, keamanan, kehakiman, dan sebagainya.

Jika demikian, apakah semua kepribadian dan kebijakan Presiden Mursy itu tidak dianggap sebagai sebuah kebaikan? Tentu baik, jika dilihat dalam kacamata perubahan individu dan perubahan yang bersifat parsial. Namun dalam konteks perubahan sistem dan perubahan masyarakat, hal tersebut belum bisa dianggap berubah.

Contoh lain adalah soal kebijakan Perdana Menteri Turki, Erdogan. Kepala pemerintahan Turki ini seringkali dinilai sebagai pemimpin yang Islami. Di antara kebijakan yang dinilai baik adalah dia memperjuangkan agar wanita berbusana muslimah bisa masuk ke dalam pemerintahan. Contoh lainnya adalah bahwa beliau melarang penjualan alkohol dalam jarak 100 meter dari sekolah-sekolah untuk melindungi siswa dari bahaya alkohol. Contoh lainnya, selama kepemimpinan beliau selama 10 tahun, kesejahteraan masyarakat meningkat tajam. Pendapatan per kapita naik, dari 3.000 dollar per tahun menjadi 11.000 dollar per tahun. Pengangguran ditekan dengan sangat baik. Dan lain-lain. Semua itu menunjukkan keberpihakan Erdogan kepada rakyat. Atas dasar itu pula, pemerintahan Erdogan dianggap sebagai pemerintahan yang baik dan selalu diberitakan di media-media Islam.

Tetapi dalam konteks yang lain, ternyata Hizbut Tahrir juga melemparkan kritik kepada pemimpin pemerintahan Turki itu. Kritik Hizbut Tahrir itu dinilai sebagai bentuk sikap yang keterlaluan dan tidak wajar. Di saat Erdogan dielu-elukan, di sisi lain Hizbut Tahrir justru mengkritiknya. Apa yang salah?

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, Hizbut Tahrir memandang perubahan yang baik itu hanya jika masyarakat telah memiliki pemikiran Islam, perasaan Islam, dan sistem politik Islam. Perubahan-perubahan yang terjadi di Turki, hanya menunjukkan perubahan di tempat. Artinya, perubahan itu adalah perubahan dalam rel yang sama, yaitu sistem demokrasi. Kedaulatan yang ada di negara Turki, tetap berada di tangan manusia. Memang Turki seringkali bertindak keras kepada Yahudi Israel. Tetapi Turki juga masih berhubungan baik dengan negara-negara kafir harbi seperti Amerika Serikat dan Inggris. Bahkan Presiden Abdullah Gul, mendapat gelar ‘Knight Grand Cross in the Order of Bath’ dari Ratu Elizabeth dari Inggris. Ini menunjukkan bahwa Turki belum bisa melepaskan pengaruh asing dari dalam dirinya. Karena itulah, Hizbut Tahrir telah melakukan kritik terhadap pemerintahan Erdogan. Semata-mata karena sudut pandang Hizbut Tahrir dalam memahami ‘perubahan hakiki’ itu hanyalah pada Islam yang diterapkan secara menyeluruh. Bukan perubahan yang bersifat parsial, dan dalam rel yang sama.

Kasus lainnya adalah naiknya Raja Salman ke tampuk pemerintahan dan politik Arab Saudi. Hizbut Tahrir pun memberikan catatan dan kritik terhadap pengangkatan raja baru tersebut. Padahal, sebagian kalangan memberikan harapan positif terhadap Raja Salman. Misalnya saja, Raja Salman lebih memilih untuk menyegerakan salat karena telah mendengar azan ketika penyambutan Obama. Peristiwa ini dianggap sebagai sikap positif Raja Salman terhadap salah satu perintah Allah, yaitu menyegerakan salat.

Betul, bahwa Raja Salman menyegerakan salat ketika Obama tiba, adalah perbuatan baik. Tetapi hal tersebut tidak berarti bahwa Raja Salman ‘baik’ dalam semua aspek. Bahkan dalam beberapa aspek, beliau justru tetap saja meneruskan kebijakan raja lama, yaitu Raja Abdullah untuk membina hubungan baik dengan negara kafir harbi Amerika Serikat dan Inggris. Dalam konteks individu, Raja Salman memang Islami, tetapi dalam konteks sebagai pemimpin masyarakat, beliau belum bisa dikatakan Islami. Kritik Hizbut Tahrir adalah pada kebijakan dan perilaku politik para pemimpin politik, bukan pada individu-individunya. Mengapa? Sebab, (sekali lagi) Hizbut Tahrir bergerak dalam ranah perubahan masyarakat, bukan pada perubahan individu.

Jadi, semua ini berangkat dari pemahaman Hizbut Tahrir dalam memandang perubahan masyarakat. Bahwa perubahan masyarakat hanya akan terjadi dengan terjadinya perubahan individu, perubahan pemikiran, perasaan, dan sistem yang dianut oleh suatu masyarakat. Tidak cukup hanya mengganti individu-individunya saja.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut, maka sungguh tidak nyambung aliasout of context, jika ada orang yang berkata, “Hizbut Tahrir hanya bisa berwacana dan mengkritisi, sementara Erdogan sudah berbuat banyak.” Atau, ada orang berkata, “Hizbut Tahrir adalah kelompok liberal karena telah turut menentang Dr. Muhammad Mursy.” Atau ungkapan-ungkapan sejenis. Itu semua adalah ungkapan yang tidak nyambung. Justru ungkapan-ungkapan seperti itu lebih mengesankan sikap emosional daripada sikap rasional.

Perdana Menteri Erdogan dan Dr. Muhammad Mursy, telah melakukan perubahan, tetapi perubahan dalam sistem selain Islam (republik) dan bersifat parsial. Sementara, kritik Hizbut Tahrir itu lebih didasarkan pada pemahaman yang mendasar dan menyeluruh. Ukurannya atau standar perubahannya berbeda. Mereka menggunakan standar perubahan individual dan parsial, sementara Hizbut Tahrir menggunakan standar perubahan masyarakat yang menyeluruh. Jadi, sungguh tidak nyambung kritik-kritik yang mereka lontarkan kepada Hizbut Tahrir.

Wallahu a’lam.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun