Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Quo Vadis Homine?

28 Juli 2014   01:37 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:01 88 0
Ego sum via et veritas et vita nemo venit ad Patrem nisi per Me

"Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku."

Suatu komunitas, apakah itu suku kecil atau negara besar, pasti memiliki sebuah undang-undang dasar yang menjadi landasan hidup dan tujuan bersama seluruh warganya. Tanpa itu kehidupan sosial pada komunitas tersebut akan mengalami kekacauan karena yang berlaku adalah hukum rimba: siapa kuat dia yang menang dan tetap hidup. Juga amat sulit dibayangkan jika sebuah komunitas memiliki dua atau lebih undang-undang dasar. Akan muncul benturan dan konflik, entah besar atau kecil, akibat dari perjumpaan nilai-nilai dan tujuan hidup yang berbeda di dalam satu komunitas.

Dalam batas-batas tertentu perbedaan itu bisa diselesaikan dengan upaya toleransi dan saling menghargai. Jika perbedaan itu hanya menyangkut masalah gaya hidup, warna kulit, bahasa, atau aliran musik tentunya masih dapat dan harus ditoleransi. Perbedaan-perbedaan tersebut harus disikapi secara positif karena justru dapat memperkaya kemanusiaan.

Tapi harus disadari juga bahwa ada perbedaan yang sulit untuk ditoleransi tanpa mempengaruhi perkembangan peradaban manusia itu sendiri. Misalnya perbedaan yang menyangkut konsep ketuhana, nilai-nilai kemanusiaan dan visi peradaban. Cepat atau lambat perbedaaan dalam hal yang mendasar seperti ini akan menimbulkan konflik. Dalam hal ini toleransi bukanlah solusi karena toleransi sama sekali tidak menyentuh akar permasalahan. Toleransi hanya merupakan solusi sementara. Dan karena konsep ketuhanan, nilai-nilai kemanusiaan dan visi peradaban itu terkandung dalam agama, maka mau tidak mau ini juga menyangkut masalah perbedaan agama.

Sejarah mencatat konflik yang berakar pada perbedaan agama ini sudah ada sejak lama. Tapi selama itu pula tidak pernah ada solusi yang tuntas. Akibatnya persoalan ini selalu menjadi bom-waktu yang siap meledak setiap saat. Pada waktunya dari masalah perbedaan agama ini bisa muncul konflik yang besar yang tidak mampu diakomodasi lagi oleh sekedar toleransi atau bahkan perjanjian damai sekalipun. Diperlukan suatu solusi yang lebih mendasar dan radikal.

Globalisasi Dan Benturan Peradaban

Masalah perbedaan agama ini menjadi semakin penting untuk dicarikan solusinya seiring dengan semakin niscayanya globalisasi. Manusia yang beberapa dekade lalu masih bisa mengisolasi diri dalam komunitas-komunitas tertentu sekarang harus menghadapi kenyataan semakin bersatunya seluruh umat manusia. Sekat-sekat geografis dan budaya tidak bisa lagi bertahan dari gempuran globalisasi. Manusia semakin lama menjadi satu komunitas global. Lalu bagaimanakah menyelesaikan masalah yang mendasar seperti perbedaan agama pada satu komunitas manusia global?

Ini bukan masalah kecil yang bisa diselesaikan dengan toleransi karena bagaimanapun toleransi juga ada batasnya. Perbedaan agama tidak sama dengan perbedaan bahasa, suku bangsa, atau warna kulit. Perbedaan agama menyangkut masalah yang jauh lebih mendasar seperti relasi dengan Tuhan Sang Pencipta, nilai-nilai kemanusiaan, dan visi peradaban. Persoalan fundamental ini yang membuat perbedaan agama menjadi sangat penting untuk dicarikan jalan keluar.

Lihat apa yang terjadi pada komunitas Islam sunni dan Islam syiah di Timur Tengah. Mereka sudah tidak menyelesaikan perbedaan ini dengan toleransi, tapi dengan saling bunuh. Fenomena seperti ini juga ada di berbagai belahan dunia lainnya pada komunitas-komunitas yang berbeda. Ini mungkin yang dimaksudkan oleh Samuel Huntington ketika dia berbicara soal benturan peradaban (clash of civilizations). Ini adalah persoalan besar yang harus diselesaikan sebelum peradaban dapat melangkah lebih jauh.

Satu Agama Universal

Mungkin ada yang mengatakan bahwa kultur di Indonesia berbeda dengan tempat lain. Jangan disamakan... Di Indonesia sikap toleransi sangat besar dan sanggup mengakomodasi segala perbedaan tersebut. Saya tidak menyangkal bahwa sejauh ini perbedaan yang ada bisa diakomodasi oleh sikap toleransi. Tapi sampai kapan? Ada bahaya sangat besar jika kita berpuas diri dengan kemampuan bangsa ini untuk bertoleransi.

Bagaimanapun toleransi tetap ada batasnya dan kita tidak ingin tidak siap dengan solusi apapun saat batas toleransi itu terlampaui. Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, kita juga harus mempersiapkan solusi lain yang lebih mendasar ketimbang hanya toleransi. Ini kebutuhan peradaban global yang mau tidak mau menjadi kebutuhan bangsa kita juga.

Sebagaimana sudah saya sebutkan sebelumnya, satu komunitas membutuhkan satu landasan nilai-nilai dan tujuan bersama. Demikian juga ketika umat manusia semakin menjadi satu komunitas global, manusia membutuhkan satu landasan nilai-nilai dan tujuan bersama. Sesederhana itu solusinya. Sedikit atau banyak dunia bisa belajar dari Indonesia, bagaimana begitu banyak suku bangsa dan bahasa dalam skala lokal bisa bersatu dan sepakat di bawah satu prinsip dasar bersama: Pancasila. Tanpa adanya satu kebersamaan prinsip yang mengikat maka peradaban manusia tidak akan melangkah kemana-mana karena terus-menenerus disandera oleh berbagai konflik kemanusiaan yang berakar pada perbedaan mendasar tersebut.

Tapi masalahnya menjadi tidak sederhana lagi kalau saya katakan bahwa komunitas global membutuhkan satu nilai-nilai kemanusiaan dan satu visi peradaban yang sama. Karena sejauh ini agama adalah peletak dasar nilai-nilai kemanusiaan dan visi peradaban, maka konsekuensinya: umat manusia di era globalisasi ini membutuhkan sebuah agama universal atau super-religion yang akan menjadi pengikat dan pemersatu seluruh umat manusia, sebagaimana Pancasila dalam konteks lokal telah menjadi pengikat seluruh keberagaman suku bangsa, agama, dan bahasa di Indonesia. Bisa dibayangkan apa jadinya bangsa Indonesia tanpa Pancasila dan semangat kebangsaan yang satu. Itu juga yang akan terjadi dengan dunia tanpa sebuah agama universal.

Ya betul, saya tidak salah tulis. Saya ulangi lagi, di era globalisasi ini manusia membutuhkan satu agama universal. Ini adalah solusi radikal yang perlu diambil dan akan menjadi kunci perdamaian dunia. Akan sangat tidak konsisten kalau saya setuju bahwa satu komunitas manusia membutuhkan satu nilai-nilai dasar dan satu visi peradaban bersama tapi pada saat sama saya juga setuju untuk mempertahankan eksistensi keberagaman agama yang masing-masing menganggap dirinya benar. Sikap itu sama artinya dengan melanggengkan perbedaan nilai-nilai dasar kemanusiaan dan visi peradaban. Itu jelas kontradiksi dan absurd! Pada akhirnya manusia memang harus memilih: satu agama universal atau konflik global yang semakin besar.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun