Pada umumnya tradisi belis di Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah simbol penghormatan dan ikatan keluarga, tetapi sering berubah menjadi beban ekonomi yang menghambat pasangan menikah secara sakramental di Gereja. Ketegangan antara adat dan ajaran Gereja ini membutuhkan peran kenabian Gereja untuk meneguhkan makna sakramen perkawinan sebagai panggilan ilahi, sambil menghormati nilai budaya. Tulisan ini menawarkan pemikiran untuk mereformasi tradisi belis agar tetap menjadi simbol kehormatan tanpa memberatkan, melalui kolaborasi antara Gereja dan masyarakat adat, sehingga iman dan budaya dapat berjalan harmonis.
KEMBALI KE ARTIKEL