Melalui toilet yang bersih dan nyaman, siswa ditempa untuk membudayakan kebersihan diri dan lingkungan. Oleh karena itu, seluruh warga sekolah berkewajiban menjaga kebersihannya. Tanpa terkecuali.
Konyolnya, selama menjadi orang tua/wali murid saya tidak pernah menjadikan toilet sekolah sebagai poin pertimbangan dalam memilih sekolah. Bolehlah dikatakan bahwa itu merupakan sebuah kelalaian.
Akan tetapi setelah saya pikir-pikir sekarang, sembari menyelesaikan tulisan ini, kelalaian tersebut patut saya syukuri. Allah Yang Mahatahu tentu sangat paham kondisi saya, hamba-Nya yang penuh keterbatasan dalam hal transportasi.
Jika radar untuk meneliti toilet sekolah menyala sejak awal, tatkala hendak mendaftarkan anak ke sebuah sekolah, pastilah saya akan kerepotan sendiri. Betapa tidak?
Jika ternyata toilet di sekolah yang hendak kami daftari itu menyedihkan tingkat kebersihannya, otomatis saya terbelenggu dilema. Galau tingkat dewa. Tetap lanjut mendaftar atau ganti sekolah?
Maunya cari sekolah yang punya toilet bersih, tetapi sekolah yang dekat rumah kok toiletnya menyedihkan? Sementara kalau jarak sekolah terlalu jauh dari rumah, pulang dan berangkatnya sudah merupakan kendala tersendiri bagi anak.
Syukurlah sejak anak masuk TK hingga SMK semua toilet di sekolahnya relatif bersih. Hanya saja sewaktu di SMP dan SMK, terkait dengan bangunan sekolahnya yang berstatus sebagai CB (Cagar Budaya) saya punya kecemasan yang lain.
Status CB itu menunjukkan bahwa bangunannya heritage. Yang berarti bangunan zadoel. Eksis sejak era kolonial Belanda. Yang biasanya diselimuti kisah-kisah horor terkait penampakan hantu noni Belanda.
Terlepas dari benar atau tidaknya, saya memilih bersikap antisipasif. Selama anak saya SMP dan SMK, tiap kali berangkat sekolah saya berpesan kepadanya, "Hati-hati di jalan. Doa dulu. Di sekolah jangan melamun. Kalau masuk kamar mandi jangan sampai kosong pikiran. Harus baca doa dulu yang serius. Jangan lama-lama juga di dalam."
Alih-alih menyuruh anak agar fokus belajar, saya lebih memilih untuk mengingatkannya supaya tidak kosong pikiran. Tentu saya tidak berlebihan. Sikap tersebut saya ambil berdasarkan pengalaman pribadi. Daripada kenapa-kenapa, bukankah lebih baik melakukan upaya pencegahan?
Toilet-toilet di tempat anak saya bersekolah lumayan bersih. Ada petugas kebersihan yang mengurus. Walaupun membersihkannya tak sesering petugas kebersihan toilet di mal atau bioskop, cukup memadailah hasilnya.
Menurut saya, yang bertanggung jawab atas kebersihan dan kenyamanan toilet sekolah adalah seluruh komponen yang ada di sekolah. Mulai dari siswa, guru, kepala sekolah, pengelola sekolah hingga petugas kebersihan. Namun, petugas kebersihan adalah ujung tombak tercapainya toilet sekolah yang bersih dan nyaman.
Oleh sebab itu, petugas kebersihan tidak boleh bermalas-malasan untuk cek ricek kondisi toilet. Saya pernah membaca bahwa idealnya toilet sekolah dibersihkan tiap 3 kali penggunaan.
Kalau keidealan itu ditaati, betapa bersih toilet sekolahnya. Anda jangan berpikir bahwa itu terlalu sering sehingga merepotkan. Semua 'kan bisa diatur sesuai dengan situasi dan kondisi.
Tatkala musim penghujan yang notabene memicu orang lebih sering buang air kecil, bisa jadi memang bakalan merepotkan. Maka alangkah lebih baik jika siswa-siswa, terutama yang sudah duduk di bangku sekolah lanjutan pertama dan menengah atas/kejuruan, juga dilibatkan untuk menjaga kebersihan toilet. Saat melaksanakan jadwal piket harian tidak hanya membersihkan ruang kelas, tetapi sekalian mengontrol keadaan toilet yang mereka pakai.
Bagaimana halnya dengan sekolah yang tidak punya tradisi jadwal piket bersih-bersih untuk para siswanya? Lebih baik diadakan, dong. Ini bukan semata-mata perkara bersih-bersih yang notabene dapat dituntaskan petugas kebersihan sekolah. Ini juga tentang mendidik siswa dalam hal tanggung jawab akan kebersihan diri dan lingkungan.
Terusterang topik pilihan Kompasiana kali ini membuat saya teringat pada Program Ruang Kelas Beradab yang dilaksanakan oleh Kang Dedi Mulyadi (KDM), mantan Bupati Purwakarta yang kini menjadi gubernur terpilih Provinsi Jawa Barat. Program tersebut digulirkan sejak tahun 2014 dan dituntaskan sebelum KDM habis masa jabatan sebagai bupati.
Program Ruang Kelas Beradab diwujudkan dengan penyediaan fasilitas kebersihan berupa kamar mandi dan wastafel di tiap kelas. Tujuan utama program tersebut adalah mengajak anak-anak belajar disiplin akan pentingnya kebersihan sejak dini. Meliputi kebersihan diri dan kebersihan lingkungan. Bukan sekadar untuk memberikan kenyamanan selama kegiatan belajar-mengajar.
Program Ruang Kelas Beradab lahir dari keprihatinan atas minimnya jumlah toilet di sekolah-sekolah. KDM berkata, "Kami ingin sekolah menjadi pusat peradaban, yaitu peradaban tatacara hidup yang sehat dan baik. Namun, bagaimana mungkin kita mengajarkan peradaban jika jumlah toilet terbatas. Siswa mau kencing saja mesti mengantre. Kalau tak tahan akhirnya lari ke bawah pohon."
Saya angkat topi untuk kinerja KDM dalam Program Ruang Kelas Beradab itu. Walaupun berdasarkan beberapa referensi yang saya baca, idealnya ada pembedaan toilet antara siswa laki-laki dan siswa perempuan. Sementara dalam sebuah kelas yang heterogen, terdiri atas siswa perempuan dan laki-laki, jika kamar mandi (toilet) cuma satu berarti toiletnya tidak dipisah.
Ngomong-ngomong dalam hal ketersediaan toilet di sekolah, saya jadi teringat ketika berkunjung ke SMPN 6 Yogyakarta. Sama dengan sekolah anak saya, bangunan sekolah tersebut juga berstatus CB. Dahulu merupakan sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda dan diperuntukkan bagi anak-anak priayi Jawa.
Walaupun tidak semenawan arsitektur sekolah yang dibangun untuk anak-anak Belanda, fasilitas di situ komplet dan manusiawi. Termasuk toilet sekolah yang berderet-deret. Pun, ada pembagian untuk toilet siswa perempuan dan siswa laki-laki.