Saya pertama kali naik kereta api setelah lulus kuliah. Tatkala itu tujuannya ke Jakarta untuk mengikuti seleksi menjadi ASN peneliti di Pusat Bahasa. Ada beberapa tahap seleksi dan kebetulan saya lolos terus hingga tahap terakhir. Alhasil, saya mesti bolak-balik naik kereta api rute Yogyakarta-Jakarta.
Karena selalu naik kelas bisnis dan ekonomi, kesan saya terhadap kereta api kurang menyenangkan. Penumpang berjubel-jubel, terlalu banyak pedagang berseliweran di dalam gerbong, dan kadangkala terasa agak kumuh. Mungkin akan berbeda kesan kalau tatkala itu saya selalu naik Taksaka.
Pada akhirnya kegiatan naik kereta api dari Yogyakarta ke Jakarta berhenti seiring dengan kegagalan dalam seleksi tahap terakhir. Hal itu membuat saya fokus cari kerja di Yogyakarta. Apa hendak dikata? Takdir dari-Nya memang demikian. Saya mesti bekerja dan berkarya di kota yang konon kota pelajar ini. Hingga akhirnya saya ber-KTP Kota Yogyakarta. Yang lucunya, malah kemudian pindah kerja ke Solo.
Namun, bermula dari situlah saya dan kereta api berkawan dekat. Iya. Saya pada akhirnya menjadi penglajo Solo-Yogyakarta dengan kereta Prameks (Prambanan Ekspres). Tak tanggung-tanggung, saya bahkan akrab pula dengan HIK yang berlokasi tepat persis di depan pintu Stasiun Purwosari Solo.
Bagaimana tidak akrab kalau nyaris tiap sore nongkrong di HIK (angkringan gaya Solo) itu? Sekadar minum segelas susu jahe sembari menunggu jam keberangkatan Prameks ke Yogyakarta. Kadangkala sekalian makan nasi kucing juga. Pokoknya jangan sampai tidak punya tenaga cukup saat berebut masuk Prameks. Pun, saat berebut tempat duduk. Belum lagi kalau ternyata harus berdiri sampai Stasiun Yogyakarta.
Rutinitas tersebut berlangsung hingga saya keluar kerja. Mengapa keluar kerja? Apa gara-gara bosan naik Prameks? Tentu tidak. Saya keluar kerja sebab mau fokus mempersiapkan persalinan. Tatkala itu usia kehamilan saya hampir mencapai 7 bulan. Sudah merasa kerepotan menjadi penglajo Solo-Yogyakarta. Cemas juga kalau sewaktu-waktu mengalami kontraksi di perjalanan.
Itu terjadi tahun 2004. Yang ternyata hingga 12 tahun kemudian, saya baru kembali naik kereta api. Lama sekali 'kan? Lebih dari satu dekade. Percayalah. Perkara itung-itungan tahun tersebut valid sekali sebab momentumnya gampang diingat. Anak saya lahir tahun 2004 dan saat dia lulus SD, untuk pertama kalinya saya ajak ke Solo naik kereta api. Sebelumnya kalau ke Solo kami lebih memilih naik mobil travel.
Berdasarkan pengalaman satu dekade sebelumnya, saya pikir sungguh repot kalau mengajak anak kecil ber-Prameks ria. Terlebih kalau perginya cuma berdua dengan anak dan mesti berebutan tempat duduk dengan penumpang lain. Jadi ketika si bocah telah mandiri, barulah saya ajak naik kereta api.
Pertimbangannya, jikalau terpaksa berdiri selama satu jam dia bakalan kuat. Begitu juga andai kata kami duduk terpisah (tidak bersebelahan), dia sudah berani dan saya tak cemas. Oleh karena itu, saya sudah melakukan "briefing" kepada anak sebelum tiba di stasiun. Kalau dari jauh-jauh hari takutnya malah dia merasa ngeri duluan dan menolak naik kereta api.
Namun, sungguh kejutan bagi saya. Walaupun tatkala itu tiket Prameks masih dibeli secara on the spot dengan pembayaran tunai, kondisi kereta apinya sudah sangat bagus. Amat bertolak belakang dengan yang saya ceritakan kepada anak. Sampai-sampai dia bertanya, "Ini keretanya bagus 'kan? Kok tidak kayak cerita Bunda? Aku suka naik kereta api."
Saya ingat betul. Dalam perjalanan pertamanya dengan kereta api itu, anak saya antusias membaca nama-nama stasiun yang tertera di pintu gerbong. Jika sampai di sebuah stasiun, dia pun selalu celingukan mencari-cari papan nama stasiunnya.