Oleh sebab itu, sungguh terasa pucuk dicinta ulam tiba manakala tak disangka-sangka saya berkesempatan mewakili Komunitas JWT (Jogja Walking Tour) untuk hadir di acara talkshow bertema "Ekspresi, Eksplorasi, dan Kita" di Pendhapa Art Space. Talkshow tersebut merupakan bagian dari Bantul Museum Expo (BME) 2024 yang diikuti oleh 15 museum yang beralamat di Kabupaten Bantul. Jadi, selepas talkshow saya bisa sekalian tur keliling BME.
Walaupun masing-masing museum cuma menampilkan sedikit koleksi, lumayanlah sudah bisa memberikan gambaran mengenai museumnya. Koleksi yang dibawa ke pameran pun pastilah yang dianggap paling mewakili museum yang bersangkutan. Terlebih ada edukator yang siap memberikan penjelasan dan berkenan menjawab jika pengunjung pameran mengajukan pertanyaan.
Dari sekian banyak koleksi yang dipamerkan, ada beberapa yang sangat berkesan bagi saya. Salah satunya topi baret yang biasa dipakai Pak Tino Sidin. Demi melihat topi baret itu, ingatan saya terbang jauh ke masa kanak-kanak. Masa di mana hanya ada TVRI dan tiap Minggu sore saya (dan mayoritas anak Indonesia) nongkrong di depan pesawat TV untuk menyaksikan acara menggambar bersama Pak Tino Sidin.
Tentu saja topi baret tersebut merupakan koleksi dari Museum Taman Tino Sidin. Jika dipikir-pikir, siapa yang menyangka kalau pada akhirnya saya bisa melihat langsung topi baret legendaris itu. Yang dahulu cuma bisa melihatnya dari layar kaca. Bahkan, ada pula gambar karya Pak Tino Sidin. Lagi-lagi, siapa yang menyangka kalau saya pada akhirnya bisa melihat coretan beliau secara langsung.
Selanjutnya, saya terkesan sekali dengan tempat cuci tangan (wastafel) koleksi dari Museum Bantul Masa Belanda. Mengapa? Karena modelnya yang cantik. Tidak terlihat kuno-kuno amat andai kata dipergunakan di era sekarang. Hanya saja bagi saya, warna putihnya dengan noda karatan di sana-sini justru memantik imajinasi horor. Apa boleh buat? Saya mendadak teringat suster ngesot.
Untung saja kemudian saya tiba di spot koleksi Museum & Factory Chocholate Monggo. Lumayanlah, ya. Rasa horor hilang digantikan rasa ingin mencicipi cokelat. Sayang sekali tidak ada tester yang bisa dicomot. Jadi ujungnya, saya cuma berimajinasi mengunyah cokelat.
Ada dua lagi koleksi yang sangat mengesankan, yaitu papan sangatan dan spesimen beberapa jenis benih padi yang diwadahi botol-botol.