Saat itu saya berkisah tentang Pak Man, sang penggerobak sampah di kampung tempat saya berdomisii. Alhamdulillah tulisan tersebut berhasil menjadi salah satu pemenang. Konon bakalan ada hadiah GoPay yang saya terima. Iya, konon. Ternyata hanya konon. Sebab hingga detik ini, tiada hadiah sama sekali yang saya terima walaupun telah dijapri. #malahcurhat
Oh! Maafkan saya kalau sedikit menggigit pada dua paragraf awal. Sekarang saya hendak move on saja. Langsung menuju ke local heroes yang saya pilih untuk saya ceritakan tahun ini. Kali ini.
Setelah peras-peras otak dan berujung (merasa) tidak menemukan lagi pahlawan lokal untuk diceritakan, saya mendadak teringat dua orang. Pertama, Yu Hadi penjual gudheg. Kedua, putri semata wayang saya. Saya pikir mereka patut saya tahbiskan sebagai my local heroes. Apa penyebabnya? Mari saya jelaskan.
Yu Hadi Gudheg
Sesuai dengan namanya, Yu Hadi Gudheg memang seorang penjual gudheg. Karena usianya sudah lebih dari 80 tahun, mestinya saya memanggil Mbah Hadi. Minimal Bu Hadi. Akan tetapi, sebutan Yu Hadi itu 'kan telah menjadi trade mark tersendiri. Sudah viral di jagad maya. Untuk membuktikan, silakan berselancar dengan kata kunci "Yu Hadi Gudheg" atau "Gudheg Yu Hadi". Dijamin nanti Anda bakalan penasaran untuk mencicipi gudheg keringnya yang legendaris.
Lalu, mengapa Yu Hadi saya tahbiskan sebagai pahlawan lokal? Karena dia selalu terdepan dalam memberikan solusi di bidang pengadaan pangan pagi-pagi alias sarapan. Buka lapak kurang lebih pukul 05.30 WIB atau maksimal pukul 06.00 WIB (kalau sedang kesiangan). Sebuah jadwal yang solutif bagi anak-anak sekolah di kampung kami. Mereka atau orang tua mereka bisa pagi-pagi sekali mengantre beli nasi gudheg di Yu Hadi. Termasuk saya dan anak saya yang tak suka gudheg.
Tak usah bertanya-tanya mengapa kami nekad ikut antre. Jawabannya mudah, yaitu kami beli selain nasi gudheg. Misalnya beli gudheg telo, martabak, apem beras, atau kue pukis. Nah! Inilah yang memberikan nilai tambah untuk kepahlawanan Yu Hadi. Di samping menjual nasi gudheg dan gudheg telo buatannya, dia juga menerima titipan jajanan dari warga lokal.
Lihatlah. Selain menjadi pahlawan pengadaan sarapan, rupanya Yu Hadi juga menjadi pahlawan ekonomi bagi mereka yang titip dagangan di lapaknya. Jikalau Yu Hadi tidak mau dititipi, bukankah berarti mereka tidak bakalan punya penghasilan dari situ?
Perlu diketahui bahwa Yu Hadi tidak berdomisili di kampung kami. Dia tinggal di sekitaran Kampus UGM. Kurang lebih 5 KM dari lapak jualannya. Jadi, tiap pagi dia datang dengan segambreng bawaan. Nanti kurang lebih pukul 09.00 WIB, dia akan kembali pulang. Bawaannya tentu sudah berkurang banyak. 'Kan sudah terjual.
Hal demikian itu telah dilakukan Yu Hadi puluhan tahun. Menurut pengakuannya, dia sudah berjualan sejak berusia 16 tahun. Pun, tidak pernah berpindah-pindah lokasi. Alhasil anak-anak sekolah yang dahulu tertolong sarapan gudhegnya, kini telah banyak yang lansia. Sudah banyak yang tidak bekerja lagi karena telah pensiun. Bahkan, ada juga yang telah meninggal dunia.
Betapa waktu berjalan dengan cepat, ya? Namun, Yu Hadi tak pernah prei jualan. Sejak masih diantar dan dijemput becak, hingga kini sudah diantar dan dijemput mobil pribadi. Dia cuma "cuti" jualan saat Covid-19 melanda dan saat sekian hari sakit hingga dirawat di rumah sakit. Selebihnya selalu menyala. Tiap pagi sudah siap sedia stand by di lapaknya.
My Daughter
My local heroes yang satunya adalah anak semata wayang saya. Iya, dia! Dia itulah yang sesungguhnya telah menjadi pahlawan dalam hidup saya. Atau lebih tepatnya, dia adalah pahlawan yang telah membuat saya berminat untuk berjuang mempertahankan hidup secara baik dan benar; bahwa hidup tetap wajib dijalani apa pun yang terjadi.
Posisinya sebagai anak, yang merupakan amanah-Nya SWT kepada saya, mau tidak mau menyebabkan saya untuk selalu stand by menjaganya. Semampu saya, sekuat saya. Kalau saya tak bertahan, dia sama siapa? Saya pikir-pikir, kemungkinan besar saya sudah menyerah pada keadaan kalau saja menafikan keberadaannya.
Demikianlah adanya. Terkadang kita tak menyadari bahwa orang (yang terlihat) biasa-biasa saja sesungguhnya merupakan sosok pahlawan bagi kita. Tanpa dia, kita mungkin telah habis. Minimal bakalan kerepotan menjalani hari-hari. Hmm. Kok kedengarannya ironis, ya? Apa boleh buat?
Salam.