"Oke. Tolong disimak baik-baik, ya. Aku akan membacakan hasil kesepakatan kita kemarin. Ayo, konsentrasi. Dengarkan baik-baik. Malas ngulang aku, kalau sampai ada yang enggak paham. Tak boleh protes-protes. Kesempatan protes sudah tersedia kemarin pas rapat. Sekarang kesempatannya sudah habis. Enggak bisa protes ataupun ngasih usulan lagi."
"Okeee!" Serempak empat senior yang duduk di depanku menyahut dengan volume maksimal. Mentang-mentang habis makan siang.
"Gus! Kok kamu diam saja? Ingat! Hasil kesepakatan ini sudah bulat, ya. Kamu jangan protes-protes lagi, lho. Tidak boleh." Tak kusangka-sangka, Kak Iffa menegurku. Rupanya dia memperhatikan aku yang sejak tadi duduk diam di pojok ruangan.
"Iyaaa. Enggak akan protes."
"Serius lho, ini." Kak Iffa memberikan penekanan.
"Yaelaaah! Iya, iya. Aku enggak akan protes lagi, Kak. Kemarin 'kan sudah protes-protes meskipun ditolak ramai-ramai? Ya, sudah. Aku harus patuh kesepakatan. Mau tak mau harus patuh 'kan? Terpaksa."
"Kalau patuh yang ikhlas, dong. Jangan terpaksa. Lagi pula, kamu diam saja dengan muka cemberut begitu," kata Kak Iffa lagi.
Empat senior di depanku pun mulai terdengar cekikikan. Mas Totok, salah satu dari mereka, kemudian membuka mulut. "Yang ikhlas, Gus, yang ikhlas. Apa susahnya ikhlas, sih? Bandel banget kamu ini. Disuruh ikhlas saja membangkang. Kalau bandel terus kucubit, lho."
"Hihihi. Justru ikhlas itu susah banget dilakukan." celetuk Bang Joncik .
"Ah, yang beneeer?" Mas Totok kemudian malah meledek Bang Joncik.
"Heh. Dibilangin Kormanitnya kok tidak percaya? Kormanit lho, aku ini. Kormanit. Jabatanku sampai dua bulan ke depan adalah Kormanit*. Ketua kalian semua sekecamatan."
Kelakar Bang Joncik itu memperpanjang tawa Mas Totok, Kak Heni, dan Bang Kris. Sementara aku cuma senyum-senyum melihat tingkah laku mereka.
"Ya ampun! Malah jadi kacau balau begini. Ayo, ayo, kembali serius. Kita 'kan mau menetapkan kesepakatan," komentar Kak Iffa. Terlihat gusar dia. Tampak tidak sabar menghadapi kelakuan kami yang suka hahahihi.
'Sudah ditetapkan, Kak. Tinggal dibacakan saja rangkuman kesepakatannya. 'Kan sudah tak boleh ada protes lagi. Berarti sudah ditetapkan," cerocosku.
"Iya, iya. Tinggal baca rangkuman kesepakatannya. Tapi ini gara-gara kamu, Gus, jadi ramai-ramai begini."
"Yaelah, Kak Iffaaa. Kok aku? Yang celemongan dan cekikikan mereka, lho. Coba diingat-ingat. Aku sejak tadi malah kalem-kalem saja. Duduk diam. Nungguin Kakak baca hasil kesepakatan," sanggahku.
"Tapi kamu nunggunya dengan muka ngeselin. Diam sih, diam. Tapi ngeselin," sahut Kak Iffa. "Itu namanya diam-diam mengintimidasi."
"Heh? Jadi sejak tadi, Kakak terintimidasi oleh aku? Wuih. Luar biasa juga aku ini. Bisa mengintimidasi seorang dokter gigi. Tanpa kata-kata pula. Horeee. Hahahaha!" Otomatis tawaku diikuti oleh yang lain. Termasuk Kak Iffa sendiri.
Kak Heni yang sejak tadi cuma ketawa-ketiwi akhirnya berkata, "Sudah, sudah. Ayo, Fa. Baca saja kesepakatannya. Keburu Asar. Lepas Asar kita mau ketemu Pak Kades, lho. Kemarin sudah janjian 'kan?"
"Iya, iya. Kumulai sekarang. Tapi kalian berhenti tertawa, dong. Biar konsentrasi."
"Woilah. Kalian kenapa sih, tertawa melulu? Seriuslah 'bentar. Yang dimarahin aku, lho. Plis, plis. Tenang dulu, yuk. Bisa tenang, yuk."
"Okeee."
"Mari bersiap menyimak Ibu Kormasit*."
"Jadi begini, teman-teman. Setelah menginjak hari kedua di lokasi KKN ini, kita menjadi paham bahwa ternyata ketersediaan air bersih buat MCK memang sangat minimalis di sini. Formalitasnya ada air PAM. Sarana prasarananya ada, tetapi konon air cuma mengalir dua kali dalam seminggu. Kata Pak Dusun tadi, mestinya hari ini jadwal air PAM mengalir. Faktanya sampai siang begini tak ada tanda-tanda air PAM datang.
Sudah begitu, rumah Pak Kadus yang menjadi base camp sub unit kita ini, tidak punya sumur pribadi. Mau tidak mau kita mesti mengambil air dari belik. Sumber air umum itu jaraknya kurang lebih 700 meter dari sini. Kondisi ini sungguh merepotkan pastinya. Sementara selama dua bulan ke depan, kita akan menjalani kehidupan minim air bersih begini secara terus-menerus."
Kak Iffa, kormasit kami, menghentikan orasinya sejenak. Setelah menelan ludah dia melanjutkan, "Dengan mempertimbangkan banyak hal, tentunya juga berdasarkan masukan dari Pak Kadus selaku induk semang kita selama KKN di sini, tampaknya akan lebih efektif kalau kita beli air saja. Kita iuran seminggu sekali. Mengupah orang untuk mengambilkan air. Jadi, kita tak perlu berat-berat mengangkut air dari belik ke sini. Lagi pula, kita nanti pasti bakalan sibuk dengan program-program KKN yang wajib kita kerjakan. Sangat repot kalau mesti ditambahi kegiatan ngangsu*."
"Oiya. Jadinya iuran berapa? Sori. Kemarin pas kalian berembuk aku malah ke kantor kecamatan," tanya Bang Joncik.
"Iurannya 50 ribu per minggu. Sesuai kesepakatan awal, ya. Dikumpulkan tiap Senin. Setor ke Heni. Nanti Heni yang akan menyerahkannya ke Pak Dusun," jawab Kak Iffa.
"Tapi sekarang ini, walaupun sudah Selasa, ayo kalian setor. 'Kan untuk membayar pembelian air minggu ini," kata Kak Heni.
"Tolong konsentrasi lagi. Belum selesai ini. Aturan yang wajib kita taati belum kubacakan. Justru ini bagian yang paling pentingnya."
"Hmm," gumamku pelan.
"Kenapa, Gus?" Tegur Kak Iffa yang sudah ancang-ancang untuk membaca.
"Eh? Enggak apa-apa. Enggak apa-apa, kok. Suer."
"Baik. Kulanjutkan, ya. Jadi begini. Air bersih yang kita punya nanti, yang kita beli itu, harus dihemat supaya iurannya tidak nambah. Makin banyak kita makai air 'kan bakalan makin besar iurannya. Jadi, kita sepakati bahwa kita hanya akan mandi satu kali sehari. Itu pun jatah tiap orang cuma seember. Embernya yang sudah ada di kamar mandi itu, ya. Itu termasuk untuk gosok gigi."
"Dengar itu, Gus. Berarti kamu enggak boleh buang-buang air, " celetuk Mas Totok.
"Kamu juga," sahutku spontan.
"Hei, tenang dulu. Dengarkan ini. Peraturan kedua. Peraturan kedua adalah gosok gigi hanya boleh satu kali. Saat mandi itu."
"Yungalaaah. Beneran dilarang gosok gigi sebelum tidur! Kak Iffa serius bikin aturan seperti itu? Aku tuh punya masalah dengan gigi, Kak." Kataku.
"Iya. Ini 'kan sudah disepakati bersama."
"Poin ini lho, Kak, yang sejak kemarin bikin resah. Aku sudah terbiasa gosok gigi sebelum tidur. Kalau belum gosok gigi sama cuci muka, rasanya ada yang kurang. Enggak bisa segera tidur. Gimana, dong?" Kataku panjang lebar.
"Kamu tadi sudah janji tidak akan protes." Kak Iffa mengingatkan.
"Dasar anak bungsu. Bawaannya keras kepala. Walaupun di sini kamu anggota termuda, enggak boleh minta prioritas ya," kata Bang Kris.
"Jangan khawatir, Dek. Kalau enggak bisa-bisa tidur gara-gara enggak sikat gigi, ayo Abang temeni bergunjing di teras situ. Sambil lihat bulan purnama. Atau, sekalian sambil makan camilan."
"Dih, Bang Joncik. Ingat. Jangan banyak makan selama KKN," kataku.
"Oiya. Benar. Jangan banyak makan supaya tidak ingin BAB tiap hari. Itu kesepakatan kita berikutnya."
"Walaaah."
"Tidak boleh protes. Ini kondisi darurat. Kalian yang cowok-cowok, harap kendalikan nafsu makan kalian. Supaya sehat juga, lho. Sekalian diet. Oke, ya. Ini kaitannya dengan air juga. Makanya kita mandi cuma sekali sehari. Biar ada stok cukup kalau ada yang mau BAB. "
Mas Totok tiba-tiba berkata, "Kamu tanggung jawab lho, Fa, kalau pulang KKN nanti badanku jadi kurus kering. Ibuku pasti heran, padahal aku sudah dibekali lauk yang enak-enak. Ada abon sapi, serundeng daging, sarden, belut goreng, ayam goreng kalasan. Dibekali camilan enak-enak juga. Ada nastar, kacang telur, ceriping singkong super, bolu tape. Minumannya susu, kopi, cokelat."
Suasana mendadak hening. Beberapa detik kemudian kami kompak berteriak, "Kok tidak dikeluarkan? Pelitnyaaa!"
"Sudaaah. Kemarin sore langsung kuserahkan ke Bu Dusun. Kukira ayam goreng kalasan untuk lauk makan malam kita. Ternyata sampai siang ini tidak muncul tuh ayam goreng. Aku khawatir basi kalau kelamaan disimpan."
"Bolu tapenya juga mudah basi," kata Kak Heni.
"Itulah. Tadi pagi kukira akan dikeluarkan bersama kopi dan susu. Ternyata kita sarapan teh dan legendar goreng. Semoga paling lambat besok sudah dibuka bolunya. Kalau ayam gorengnya semoga nanti malam," timpal Mas Totok.
"Kita belum selesai membahas kesepakatan. Malah belok ke makanan. Yuk, fokus lagi. Tinggal 'dikit, kok."
"Baik, Ibu Kormasit. Semoga tidak makin aneh aturannya."
"Enggak. Ini malah makin normal, yaitu tidak boleh mencuci baju. Kita nanti bergantian turun ke kota buat nyuci pakaian. Untunglah lokasi KKN kita bisa dijangkau dalam beberapa jam dari kampus. Memang kacau balau ini," kata Kak Iffa sambil geleng-geleng kepala.
"Yang terakhir, kita akan sama-sama mencari peluang untuk sesekali numpang mandi dan keramas di posko sub unit lain. Tentu kita mencari yang poskonya berlimpah air bersih. Terus, Pak Dusunnya baik hati. Ikhlas menyedekahkan airnya buat kita. Karena untuk keramas itu 'kan sulit, kalau jatah airnya seember tanggung."
"Iya, apalagi kalau kebetulan nuang samponya kebanyakan. Butuh air banyak buat membilas."
"Eh! Maaf, maaf. Ada yang terlewat belum kubacakan. Ini penting malahan. Berkaitan dengan wudu. Teman-teman diharapkan bisa menjaga wudu hingga tiba waktu salat berikutnya. Terutama dari salat Magrib ke Isya. Tujuannya tentu menghemat air."
Bang Kris spontan berkata, " Untung kita enggak harus menjaga wudu, Tok. Kalau gitu kita gangguin saja yang sedang menjaga wudu."
"Woilaaah. Rencana jahat iniii."
Akhirnya pembacaan kesepakatan dan urusan iuran buat beli air selesai. Kami bersiap menunaikan Salat Asar dan setelahnya berangkat menemui Pak Kades.
***
Pagi yang cerah. Hatiku riang. Perasaanku ringan tanpa beban. Kepalaku enteng karena semalam habis keramas sebersih-bersihnya. Pun, mandi total semaksimal mungkin. Alhamdulillah. Semalam berkesempatan numpang mandi di posko sub unit lain.
"Gus! Sudah siap?"
"Aku di luar, Kak Iffa. Siap berangkat sekarang juga."
"Barang-barang yang harus dibawa sudah dicek?"
"Sudah, dong."
Singkat cerita, setelah berjalan kaki sekitar tujuh menit, kami tiba di lokasi tujuan. Hari ini aku dan Kak Iffa berkolaborasi. Kami hendak melakukan sosialisasi tentang pola makan dan pola hidup sehat di Balai Dusun. Sekalian ada pemeriksaan kesehatan gigi dan mulut. Tentu yang memeriksa Kak Iffa. Dia 'kan dokter giginya. Sementara aku bantu-bantu memberikan penyuluhan.
".... pola hidup sehat itu artinya selalu makan makanan yang bergizi. Punya kebiasaan hidup sehat. Kebiasaan hidup sehat misalnya mandi dua kali dalam sehari, apalagi kalau habis berkegiatan yang mengeluarkan keringat. Lalu, rutin menggosok gigi. Terutama kalau mau tidur malam dan sehabis sarapan ..."
"Mbak KKN selalu gosok gigi sebelum tidur?" Salah seorang remaja yang ikut menyimak sekonyong-konyong bertanya.
"Iya, dong. Rutin tiap malam gosok gigi sebelum tidur," jawabku dengan yakin dan pede.
"Kalau aku rasanya malas eee
Sudah ngantuk." Kata remaja tadi.
"Hayooo. Tidak boleh malas lho, apalagi kalau pada dasarnya punya masalah dengan gigi. Yuk, bisa, yuk. Mulai sekarang rutin gosok gigi pada malam dan pagi hari."
"Mbak KKN tadi malam berarti juga gosok gigi?"
"Iya, dong."
Lho? Seketika aku tersadar akan sesuatu. Duh, Gusti. Kok aku serta-merta berdusta begini?
Sejak tersadarkan itu aku jadi kehilangan konsentrasi. Ingin acara cepat-cepat selesai. Ingin segera protes ke Kak Iffa. Alhasil, saat acara kelar aku segera mendekatinya.
"Kakak dentist, ini enggak bener. Sumpah. Kita tuh omdo. Omong doang. Ih!" Bisikku tepat di telinga kiri Kak Iffa. Seketika dia menoleh ke arahku. Tentu dengan sorot mata yang tajam mengancam. Menyebabkanku reflek mundur supaya agak menjauhinya.
"Sttt."
"Sumpah, Kak. Kita omdo banget," bisikku lagi.
"Eh! Sttt. Hih." Sekonyong-konyong lenganku dicubit Kak Iffa. Sebelum aku sempat membuka mulut untuk memprotes, Kak Iffa berkata pelan dengan nada mengancam, "Diam kau. Nanti kita bahas di posko."
"Tapi, Kak. Aku sudah banyak dosa. Masak iya, cuma gara-gara program KKN malah nambah pundi-pundi dosa? Membohongi audiens," kataku sambil nyengir. Kali ini malah tidak berbisik.
"Ya ampuuun! Ini bocah. Bisa diam dulu, enggak?!" Cengiranku melebar karena Kak Iffa tampak kaget dengan responsku. Setelah menengok ke kiri dan ke kanan, sepertinya untuk memastikan bahwa jarak kami cukup jauh dari orang-orang, dia melanjutkan omelannya.
"Tenang, Kak. Tak ada orang yang mendengar obrolan kita, kok. Aku juga pahamlah ya, mana yang boleh didengar khalayak dan mana yang menjadi aib kita. Hehehe ...."
Aku berkomentar seraya ngeloyor pergi. Sudah pasti sambil tertawa-tawa. Aku paham kepanikan Kak Iffa. Kalau sampai terdengar oleh para audiens bisa panjang urusannya.
Apa boleh buat? Apa yang kami lakukan memang tak benar meskipun tak bisa disebut kejahatan. Benar kata Bang Napi. Kejahatan muncul karena adanya kesempatan. Adapun kami, omdo alias jarkoni sebab keterpaksaan. Dipaksa keadaan.
Ngomong-ngomong, segala rupa lauk dan camilan enak-enak yang dibawa Mas Totok ternyata tak pernah kami nikmati. Sepertinya Bu Dusun salah paham. Menganggap itu oleh-oleh dari kami sehingga mungkin dibagikan kepada para kerabat. Sementara Mas Totok menyerahkan kepada Bu Dusun dengan tujuan semua makanan tersebut bisa dinikmati bersama-sama, baik oleh kami maupun keluarga Pak Dusun.
Gara-gara kejadian itu, kalau Mas Totok habis dari kota dan membawa amunisi bahan pangan, semua disimpan di kamarnya. Baru dikeluarkan kalau hendak kami makan ramai-ramai.
***
Kisah Kumpul Kumpul Ngakak ini ditulis berdasarkan pengalaman nyata puluhan tahun lalu. Memang sih, ada 10 % yang tidak nyata-nyata banget karena menyesuaikan dengan kebutuhan jalinan cerita. Akan tetapi, perkara kekurangan air di tempat kami KKN itu valid no debat. Riil.
Yang secara "menakjubkan", dua dekade kemudian kondisi tersebut rupanya belum teratasi maksimal. Kurang lebih 7 tahun silam, saat bersama rombongan GenPI Yogyakarta menjelajahi spot-spot wisata alam yang baru dirilis di sekitar lokasi kami KKN dahulu, aku merasa kembali ke masa lalu. Tepat persis ketika sang pengelola spot wisata berkata, "Pada dasarnya tak ada kesulitan berarti untuk mengelola ini semua. Satu-satunya masalah yang sulit dicarikan solusinya, ya masalah air bersih itu. Terbatas sekali jumlahnya."
Ternyata para pemilik warung di sekitar objek-objek wisata yang ada di wilayah tersebut selalu mengeluhkan tentang air. Mereka kesusahan menyediakan air untuk mencuci peranti masak dan alat makan. Wah, wah, wah. Membayangkannya saja aku sudah puyeng. Makin laris dagangan, berarti main puyeng cari air bersih untuk mencuci alat makannya. Kalau pakai alat makan sekali pakai, gantian sampahnya yang bakalan menggunung.
Semoga sekarang permasalahan air bersih tersebut sudah tuntas teratasi. Tahun ini tahun 2024. Aku ke sana bersama GenPI Jogja tahun 2017. Berarti tujuh tahun lalu. Keterlaluan kalau sampai belum ada solusi jitunya.
Hanya saja ...
Sekitar 2 tahun lalu aku berkenalan dengan seseorang yang berasal dari desa tempatku dulu ber-KKN. Setelah merunut tahun dan lokasi, ketahuanlah bahwa tatkala aku berstatus sebagai mbak-mbak KKN, dia masih bayi. Kini dia telah menjelma sebagai seorang gadis dewasa yang kerja kantoran.