"... Tadi pagi saya ke makam suami saya dan tiap kali nyekar saya selalu teringat pada puisi Pacar Kecilku, karena bait terakhirnya itu berbunyi:
pacar kecilku tak akan mengerti
pelangi dalam botol cintanya
bakal berganti menjadi kuntum-kuntum mawar melati
yang akan ia taburkan di atas jasadku
nanti
Jadi, setiap kali menaburkan mawar melati di makam Mas Joko, saya selalu teringat baris ini. Ternyata ini sudah dikatakan oleh Mas Joko jauh-jauh hari ...."
Saya tertegun mendengar penuturan Ibu Nuraini Amperawati Firmina, istri mendiang Penyair Joko Pinurbo (JokPin). Setangkup haru menyergap diri ini. Benak pun bertanya-tanya. Apa gerangan yang dahulu menggerakkan JokPin sehingga beliau menyusun bait yang berbunyi begitu? Bagaimana pula perasaan si pacar kecil (yang sekarang tidak lagi kecil), tatkala dia menaburkan kuntum-kuntum mawar dan melati ke jasad sang ayah? Mungkinkah dia kemudian teringat pelangi dalam botol cintanya?
Pikiran saya menerawang. Bait itu lagi-lagi mengingatkan pada tulisan-tulisan yang "meramalkan" nasib sang penulisnya.
Sejak acara dimulai saya memang duduk tenang dan tertib di depan panggung. Tekun menyimak acara demi acara. Namun, kepala dan hati saya terasa riuh. Hasrat berpuisi dalam diri seperti berkobar kembali.
Rupanya saya terpantik suasana. Maklum sajalah. Bukankah dalam kurun waktu kurang lebih 3 jam saja, saya menerima asupan puisi-puisi bagus karya almarhum? Plus dikepung aura para seniman, budayawan, penyair, penulis, dan musisi yang tumplek blek menghadiri acara. Sudah pasti diri ini lambat-laun terpengaruh.
Perlu diketahui bahwa dalam acara Umbul Dunga tersebut ada pembacaan puisi karya JokPin, musikalisasi puisi karya jokPin, tembang kidung doa, testimoni sahabat, doa dari Romo, sambutan-sambutan dari para pemangku kebijakan yang terkait, dan penyerahan Penghargaan Tertinggi kepada Seniman dan Budayawan Indonesia dari Naturindo Jamu Modern Asli Indonesia.
Disediakan pula sederet angkringan yang gratis bagi seluruh hadirin. Selama persediaan makanan dan minumannya masih ada, seluruh hadirin bebas mengambil. Pokoknya asalkan tidak berada di luar pagar area Monumen Serangan Umum (pojokan barat Museum Benteng Vredeburg), tempat acara keren ini berlangsung. Selain angkringan makanan, ada juga angkringan buku. Namun, yang angkringan buku berbayar. Tidak gratis.
Pendek kata, ada banyak hal bermakna yang dapat dipetik dari acara Umbul Dunga bagi JokPin tempo hari. Oleh sebab itu, tak berlebihan bila saya sebut acara tersebut keren. Bukan keren karena ada Sultan HB X dan Kapolda Suwondo Nainggolan yang berdeklamasi. Bukan pula karena ada sederet tokoh keren yang hadir dan ikutan berdeklamasi. Namun, kerennya justru disebabkan oleh pancaran pesona almarhum Joko Pinurbo.
Iya. Acara Umbul Dunga Mengenang 40 Hari Joko Pinurbo menyadarkan saya bahwa beliau itu sosok keren, baik sebagai penyair maupun sebagai manusia pada umumnya (di kalangan keluarga, teman-teman, maupun masyarakat sekitarnya).
Demikianlah hikayat seorang Joko Pinurbo, sang penyair baik itu, yang kini tinggal kenangan. Benar-benar beliau telah menjadi kenangan. Sebagaimana yang pernah disampaikan dalam salah satu puisi karyanya: aku ingin menjadi kenangan ...
Salam.