Mohon tunggu...
KOMENTAR
Film Pilihan

T. A. O. L (The Architecture of Love) yang Terselamatkan oleh Nicholas Saputra

14 Mei 2024   21:55 Diperbarui: 14 Mei 2024   22:03 501 21


"Kamu penulis yang bagus. Saya enggak mau kamu berhenti menulis."

Saya termangu mendengar perkataan tersebut. Perkataan yang dilontarkan Nicholas Saputra itu sungguh-sungguh menyentil. Membuat saya teringat bahwa belakangan ada deraan rasa frustrasi dalam diri, terkait pencapaian dalam dunia kepenulisan. Sempat ada semburat niat untuk berhenti. Namun di sisi lain, ada ketidakmengertian kalau berhenti menulis saya akan melakukan apa.

Terusterang saja perkataan tersebut menyenggol perasaan saya. Sekaligus bikin terharu. Plus merasa tidak sendirian sebab ada yang menyemangati dan mengapresiasi aktivitas menulis saya. Tak jadi soal bahwa perkataan itu merupakan dialog dalam sebuah film. Pun, ditujukan kepada Putri Marino (berperan sebagai Raia yang berprofesi sebagai novelis). Bukan kepada saya.

Tak apalah sesekali menghalu. Lagi pula, menghalunya masih dalam koridor positif. Sekadar numpang membayangkan sedang disanjung dan disemangati oleh Nicholas Saputra (berperan sebagai River yang berprofesi sebagai arsitek). Yang penting senggolan tersebut berdampak baik. Membuat saya berpikir bahwa Nicho memang dikirim Tuhan untuk menyemangati saya agar terus menulis. Lagi pula, bukankah kehaluan ini justru menunjukkan bahwa ternyata film pun bermanfaat untuk kehidupan seseorang di kehidupan nyata?

Sesungguhnya T. A. O. L bukanlah film tentang penulis dan dunia kepenulisan. Cuma kebetulan tokoh utama wanitanya, yaitu Raia, berprofesi sebagai penulis. Kebetulan juga sedang menghadapi kebuntuan inspirasi gara-gara persoalan pribadi. Sebelas-dua belas dengan kondisi saya sekarang.

Bedanya, Raia melarikan diri ke New York dan di situ berjumpa dengan River (sang tokoh utama pria). Adapun saya cuma bisa melarikan diri dari kenyataan dengan cara menyimak T. A. O. L dan kemudian malah tersenggol perkataan River, yang saya kutip pada awal tulisan ini.

Untuk penonton yang bukan penulis atau tidak bercita-cita bisa menulis, perkataan itu tentu tidak bermakna apa-apa. Lain halnya untuk saya, yang ingin disebut berprofesi penulis. Tentu punya makna mendalam. 

Lalu, apakah T. A. O. L menarik bagi penonton secara umum? Tentu saja. Film T. A. O. L memang bukan tentang kehidupan seorang penulis. Bukan pula tentang kehidupan seorang arsitek tampan. T. A. O. L adalah film tentang perjuangan orang-orang yang patah hati untuk move on dari kisah masa lalu mereka yang getir. Adapun patah hati bisa dialami siapa saja yang berprofesi apa saja. Termasuk Raia dan River. Hanya kebetulan mereka berprofesi sebagai penulis dan arsitek.

Secara garis besar T. A. O  L menyadarkan bahwa move on memang tak gampang. Butuh proses yang acap kali tak sebentar. Lebih mudah dinarasikan daripada diupayakan. Sekalipun tepat di hadapan kita sudah ada sosok yang jauh lebih baik daripada sosok yang telah bikin patah hati. 

Film T. A. O. L juga menyadarkan bahwa bertemu orang baru yang potensial sebagai pengganti orang lama, tidak serta-merta bisa mempercepat proses move on. Apa boleh buat? Begitulah kenyataannya. Move on memang gampang-gampang susah. Terkadang prosesnya rumit. Kadangkala juga bertele-tele. Jarang ada yang secepat kilat dan memang ada alasan validnya.

"Memori buruk itu bisa menghantui kita seumur hidup, lho."  (River to Raia)

Iya. Proses move on itulah yang menggerakkan cerita dalam T. A  O. L. Tokoh utamanya Raia dan River, dua orang yang sama-sama patah hati dan sama-sama melarikan diri ke New York untuk menenangkan diri. Yang kebetulan bertemu di sebuah taman, lalu berkenalan. Dari perkenalan itu mereka kemudian makin dekat. Kok ya kebetulan keduanya saling suka. 

Kebetulan, kebetulan, dan kebetulan. Bagi sebagian penonton T. A. O. L, kiranya hal ini sedikit mengganggu. Kok hidup bisa serba kebetulan begitu? Namun, sudahlah dimaafkan saja. Anggap saja telah ditukar tambah dengan pesona Nicholas Saputra. Lagi pula, terkadang di kehidupan nyata pun pola serba kebetulan bisa saja terjadi. 

Menurut saya, T. A. O. L mengajak penontonnya untuk melakukan instropeksi diri. Berpikir-pikir apakah si penonton merupakan jenis orang yang mau berusaha keras untuk move on sesegera mungkin atau sebaliknya, termasuk jenis yang sulit sekali untuk lepas dari belenggu masa lalu. Terkhusus dalam kaitannya dengan kehidupan percintaan.

Sempat saya tercenung selepas menyimak film yang diadaptasi dari novel karya Ika Natassa itu. Saya rasa-rasakan, T. A. O. L ibarat sahabat yang menepuk-nepuk bahu lumayan keras. Mencoba mengingatkan bahwa sejatinya ada yang belum selesai dalam diri ini. Yang hendaknya segera saya selesaikan agar bisa hidup lebih tenang ke depannya. Ya ampun! Lagi-lagi saya terngiang pada perkataan Nicholas Saputra (sebagai River). 

"Seberapa jauh pun kita mencoba melangkah ke depan, kita enggak akan pernah tahu kapan kita bisa melupakan masa lalu."

Tuh 'kan?! Film T.A.O.L memang ugal-ugalan. Berani-beraninya menyingkap tabir luka yang saya tutup rapat selama ini. Dalam diam yang menghunjam. Untunglah menyingkapnya melalui perkataan-perkataan Bapak Sungai, Nicholas Saputra a.k.a. River.

Salam. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun