Hingga akhirnya ledakan kembang api dari arah Titik Nol Yogyakarta mengingatkan saya pada sesuatu. Nah, itu!
Ledakan kembang api yang berisik itu seolah menegaskan bahwa di sekitar saya memang sepi. Amat sepi, padahal cuma sepelemparan batu dari pusat kota. Tak ada seorang pun yang melintas di depan rumah.
Sebetulnya suasana di kampung kami memang cenderung tenang. Tidak terasa adanya hiruk-pikuk kota walaupun amat dekat dengan Malioboro.
Hanya saja, almanak sedang menunjukkan tanggal 16 Agustus dan di mana-mana ada acara Malam Tirakatan. Kiranya inilah jawaban dari rasa aneh yang mendera saya. Kampung kami out of the box!
Saya menduga, kampung kami tak menyelenggarakan Malam Tirakatan sebab keesokan harinya (pada tanggal 17 Agustus 2023, yaitu hari ini) ada acara Touring Kemerdekaan.
Touring Kemerdekaan tersebut dimulai pukul 07.00 WIB. Jadi kalau malamnya ada Malam Tirakatan, yang biasanya bubaran tengah malam, tentu tidak kondusif bagi para warga yang mengikutinya.
Tengah saya berpikir-pikir begitu, tiba-tiba kesunyian kampung pecah. Terdengar deritan roda-roda yang berputar melindas jalanan berkonblok. Plus langkah kaki seseorang.
Tidak lama kemudian disusul oleh suara, "Sroook."
Saya seketika membatin. Pak Sampah datang? Semalam ini?
Didorong oleh rasa penasaran yang kuat, saya pun menengok keluar. O la la! Di hadapan saya terpampang out of the box kedua, yang saya jumpai malam ini.
Memang benar dugaan saya. Suara-suara ribut tadi ditimbulkan oleh Pak Man. Sang penggerobak sampah yang bertugas di kampung kami.
Luar biasa! Sudah pukul 21.45 WIB dan beliau datang untuk mengangkuti sampah kami yang telah menumpuk beberapa hari.
Iya, tentu saja itu hal yang luar biasa. Tidak lazim. Biasanya Pak Man datang pagi-pagi atau selepas Asar.
Kalau malam-malam baru mulai mengangkuti sampah di kampung kami, lalu mesti membawanya ke depo sampah, beliau sampai rumah pukul berapa? Sementara rumahnya nun jauh di pinggiran kota sana.
Usut punya usut, semua memang serba dadakan. Begitu dikabari kalau ada depo sampah yang buka, Pak Man bersegera ke kampung kami dengan gerobaknya.
Senyampang ada kesempatan mesti dimanfaatkan semaksimal mungkin. Mungkin demikian prinsipnya. Lagi pula, malam belum terlalu larut.
Mungkin Anda sekalian berkomentar, "Kok ya malam-malam sekali angkut sampahnya? Kayak tak ada hari esok? Sampahnya juga tak bakalan ke mana-mana."
Benar sekali. Sampahnya tak bakalan ke mana-mana. Namun kalau malam itu tak diambil, risikonya adalah menambah gunungan sampah di seantero kampung.
Belum tentu esok hari Pak Man bisa bekerja. Belakangan ini jadwal angkut sampahnya 'kan tergantung pada buka atau tidaknya depo sampah yang terdekat.
Perlu diketahui bahwa sejak tanggal 23 Juli 2023 lalu warga Yogyakarta dipusingkan oleh sampah. Direncanakan hingga 5 September 2023, tempat pembuangan sampah terakhirnya ditutup.
Otomatis penutupan belum genap seminggu, depo-depo sampah di seantero kota membeludak volumenya. Alhasil, penggerobak tak bisa mengangkut sampah dari rumah-rumah warga.
Ketika akhirnya diberlakukan sistem buka tutup TPST (Tempat Pembuangan Sampah Terpadu), agak lumayanlah. Depo-depo sampah mulai dibuka meskipun dijadwal ketat. Pak Man pun sigap memantau jadwal itu.
Beruntunglah kami memiliki penggerobak yang punya komitmen tinggi. Yang gigih mencari solusi demi mengatasi sampah kami. Sementara bisa saja kondisi tersebut dijadikannya alasan untuk tidak bekerja.
Sepintas lalu hal itu tampak sepele. Namun, jelas sangat membantu terjaganya kebersihan kampung kami.
Yup! Punya komitmen tinggi dan bertanggung jawab penuh. Itulah poin utama yang dapat dipetik dari keprofesionalan Pak Man dalam bekerja.
Alangkah indah bila semua orang Indonesia, apa pun profesi yang mereka jalani, selalu berkomitmen tinggi dan bertanggung jawab penuh terhadap pekerjaan masing-masing. Pasti lambat-laun hanya terdengar kabar baik tentang Indonesia.
Begitulah. Terkadang kita lupa bahwa hal-hal besar dimulai dari hal-hal kecil. Dibentuk pula dari hal-hal kecil.
Apa yang dilakukan Pak Man dapat kita jadikan inspirasi. Andai kata beliau modelan orang yang semau gue, tentu enggan merepotkan diri pada malam-malam dingin begitu. Toh tak ada warga yang paham jadwal buka depo sampah.
Misalnya keesokan hari ada yang tahu, toh akan memaklumi jika Pak Man tidak mengambili sampah pada malam itu juga. Maklumlah ya, sudah malam.
Syukurlah faktanya penggerobak sampah kami adalah tipe orang yang bertanggung jawab. Paling tidak ini menunjukkan bahwa Indonesia tak pernah kekurangan orang baik.
Sebelum kembali masuk rumah, saya melirik ke kanan. Tak puas melirik, saya sekalian menengok.
Iya. Memang sepi. Area yang saya tengok itu merupakan jalan kampung. Namun, biasa dijadikan lokasi untuk Malam Tirakatan.
Lagi-lagi saya membatin. Ada faedahnya juga tak ada Malam Tirakatan. Jadi, Pak Man dan gerobak sampahnya bisa leluasa lewat. Perjalanannya demi membuat bersih kampung kami tak perlu terhambat. Faedah lainnya, tak ada sampah bungkus konsumsi Malam Tirakatan. Hehehe ...
***
Saya menarik napas dalam-dalam. Teringat HUT 78 RI yang bertema "Terus Melaju untuk Indonesia Maju".
Lalu, secara berganti-ganti teringat Pak Man dan pejabat yang bertanggung jawab membereskan problema persampahan di tempat saya berdomisili. Eh?
Demikianlah adanya. Tiap warga negara sesungguhnya bisa berkontribusi untuk negeri. Apa pun profesinya. Berapa pun usianya. Jadi, mari membangun bangsa dari pinggiran. Dari posisi kita masing-masing. Kita untuk Indonesia!
Salam.