Hampir malam di Yogya
Ketika keretaku tiba
Remang-remang cuaca
Terkejut aku tiba-tiba
Dua mata memandang
Seolah-olah dia berkata
Lindungi aku pahlawan
Daripada si angkara murka
Sepasang mata bola
Dari balik jendela
Datang dari Jakarta
Menuju medan perwira
...
(Penggalan lirik lagu "Sepasang Mata Bola" karya Ismail Marzuki)
Teringat Januari 1946
Hari belum benar-benar gelap. Namun, lampu-lampu jalan sudah mulai menyala. Seakan-akan enggan bila gelap menyelimuti seluruh kota.
Di sana-sini umbul-umbul dan bendera merah putih berkibaran diterpa angin. Mengabarkan bahwa Agustus 2023 telah dimulai.
Wow! Tahu-tahu Indonesia kita tercinta sedang menyongsong HUT lagi. Tanggal 17 Agustus nanti, usia RI telah sampai pada bilangan ke-78.
Tak ayal lagi. Sergapan lirik "Sepasang Mata Bola" dan fakta sang merah putih yang berkibar di halaman stasiun menyebabkan baper. Memantik ingatan terhadap peristiwa yang terjadi pada tanggal 3 Januari 1946 silam.
Peristiwa yang saya maksudkan adalah kedatangan Presiden Soekarno beserta rombongan di Stasiun Yogyakarta. Lalu, siapa sajakah anggota rombongannya? Yang pasti ada Ibu Fatmawati dan Bung Hatta. Plus para menteri dan pejabat tinggi lainnya.
Tentu saja rombongan istimewa tersebut datang ke Yogyakarta bukan dalam rangka berpesiar. Mereka justru datang untuk menetap sementara waktu. Demi kelancaran dan keamanan dalam menjalankan penyelenggaraan negara.
Iya. Tatkala itu mereka datang dalam rangka perpindahan ibukota RI, yaitu dari Jakarta ke Yogyakarta. Tentu setelah mengantongi restu dan dukungan penuh dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX, selaku penguasa Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Terkenang Perjalanan Rahasia
Saya masih menunggu jemputan saat sekelompok anak muda memasuki halaman stasiun. Rona wajah mereka ceria. Saling mengobrol sembari tertawa-tawa. Masing-masing dengan ransel besar di punggung.
Entahlah ke mana tujuan anak-anak muda itu. Akan tetapi, keceriaan mereka seketika menyebabkan saya membuat perbandingan.
Sekarang mereka bisa nyaman dan aman naik kereta api ke mana pun. Ke Jakarta oke. Ke Surabaya oke. Mau ke arah barat atau timur sama-sama nyaman dan aman.
Amat berlainan dengan kondisi tatkala rombongan Presiden Soekarno berangkat dari Jakarta ke Yogyakarta. Perlu diketahui, rombongan spesial itu menaiki gerbong KLB (Kereta Luar Biasa) dari Halte Pegangsaan. Yang kebetulan berlokasi di belakang rumah Presiden Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur.
Alih-alih berangkat dengan berceloteh ceria di bawah langit senja. Mereka justru berjalan dalam hening dan waswas saat menuju gerbong. Tanpa barang bawaan yang mencolok. Itu pun mesti menunggu langit benar-benar gelap terlebih dulu.
Setelah semua masuk gerbong, kereta berjalan pelan dalam kondisi lampu-lampu dimatikan. Alasannya demi keamanan, supaya dianggap gerbong kosong sehingga tidak diinspeksi oleh patroli tentara musuh.
Benar saja. Nyali seluruh penumpang KLB diuji manakala sampai Stasiun Manggarai. Yang sesungguhnya baru merupakan stasiun pertama dalam perjalanan menuju Yogyakarta.
Di situ KLB mesti berhenti dahulu. Ada pemeriksaan gerbong oleh tentara besutan Belanda.
Beruntungnya, gerbong yang berisikan para tokoh bangsa Indonesia diabaikan. Tidak diperiksa isinya. Terlepas dari strategi jitu yang dilakukan, yaitu sengaja tidak menyalakan lampu, pastilah hal baik itu terjadi atas kehendak-Nya.
Sumber sejarah menyebutkan bahwa lampu-lampu KLB baru dinyalakan selepas Stasiun Klender. Adapun kecepatannya ditambah secara bertahap. Dari yang semula 25 km per jam saat masih di wilayah Jakarta, hingga 90 km per jam ketika sudah berada di luarnya.
Perjalanan Jakarta-Yogyakarta itu sesungguhnya perjalanan rahasia. Direncanakan detil sedemikian rupa hingga khalayak tak menyadari, kalau Presiden Soekarno dan jajarannya tengah bersiap untuk meninggalkan Jakarta.
Namun menariknya, walaupun merupakan perjalanan rahasia, rombongan disambut rakyat yang memekikkan kalimat sakti "Merdeka, merdeka!" di tiap stasiun persinggahan.
Kiranya wajar jika rakyat setempat mengetahui perihal KLB yang ditumpangi Presiden Soekarno dan rombongan. Karena di tiap stasiun, ada estafet pemuda kereta api untuk mengawal rombongan menuju Yogyakarta.
Stasiun Yogyakarta, Saksi Dimulainya Kepemimpinan Revolusi dari Yogyakarta
Selintas rasa ngeri melintas di hati saya. Andai kata gerbong berisi rombongan pemimpin bangsa tersebut ketahuan patroli musuh, dalam satu kali hantam saja eksistensi negeri yang baru merdeka bisa musnah.
Kemungkinan besar saat ini, saya tak bisa leluasa duduk di bawah kibaran sang merah putih. Syukurlah bukan fakta buruk itu yang terjadi.
Alhasil setelah menempuh belasan jam perjalanan yang mendebarkan, tibalah Presiden Soekarno beserta rombongan di Stasiun Yogyakarta. Langsung disambut oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualam VIII.
Saya membayangkan, betapa lega hati semua orang ketika rombongan istimewa tersebut tiba di Stasiun Yogyakarta. Dengan selamat, tanpa diwarnai suatu insiden.
Para anggota rombongan pastilah di sepanjang perjalanan cemas bukan kepalang. Begitu pula halnya dengan orang-orang yang menunggu kedatangan mereka di Stasiun Yogyakarta.
Betapa tidak cemas kalau perjalanan tersebut amat berisiko? Nilai pertaruhannya terlalu besar.
Kalau sampai ketahuan pihak tentara Belanda, kemungkinannya cuma dua. Semua anggota rombongan ditawan atau ditembak mati.
Nah. Bayangkanlah bila salah satu dari dua kemungkinan buruk itu yang terjadi. Mungkinkah kita sekarang bisa mengadakan lomba-lomba Agustusan? Dalam rangka memperingati Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945?
Tak terbantahkan lagi. Stasiun Yogyakarta adalah saksi sekaligus titik dimulainya takdir Yogyakarta sebagai ibukota negara tatkala itu. Peron dan relnya turut mencatat bahwa sejak kedatangan KLB tersebut, jalannya revolusi Indonesia pun resmi dipimpin dari Yogyakarta.
Perlu diketahui bahwa ibukota RI dipindahkan sebab keamanan di Jakarta makin tidak kondusif. Tentara Belanda selalu merecoki penyelenggaraan pemerintahan.
Begitulah. Rupanya penjajah Belanda belum ikhlas melihat Indonesia berdaulat sebagai bangsa. Jadi, tentara Belanda balik ke Indonesia dengan cara membonceng pasukan NICA. Kemudian merecoki apa pun yang dilakukan pemerintahan Presiden Soekarno.
Yeah ... Kalau istilah anak muda masa kini, penjajah Belanda gamon. Gagal move on.
Adapun Kota Yogyakarta dipilih karena dipandang jauh lebih kondusif. Lebih dari itu, Sultan Hamengku Buwono IX memang telah mempersilakan wilayah kekuasaan beliau dijadikan sebagai ibukota sementara. Beserta seluruh konsekuensinya.
Bangunan Cagar Budaya
Sesungguhnya nilai sejarah yang dikandung Stasiun Yogyakarta tidak terbatas pada sejarah perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan RI. Jika ditarik lebih ke belakang, masih banyak fakta sejarah menarik lainnya.
Misalnya kaitan Stasiun Yogyakarta (Stasiun Tugu) dengan Hotel Tugu. Pun, dengan fasilitas-fasilitas lain yang berada di sekitarnya.
Atau kalau mau ditarik lebih jauh lagi ke belakang, ada pula kisah tentang marahnya Sultan Hamengku Buwono VII gara-gara pembangunan rel kereta api yang membujur dari barat ke timur. Yang berarti membelah garis imajiner (sumbu filosofi). Sementara Kota Yogyakarta justru dibangun berdasarkan sumbu filosofi itu.
Dikisahkan bahwa Sultan Hamengku Buwono VII dengan emosional mengatakan, "Kenapa tidak sekalian saja relnya dibikin di halaman kraton?!"
Hmm. Saya paham situasi batin beliau. Seumpama menjadi beliau, reaksi saya pastilah tak jauh berbeda.
Saya mendongak. Walaupun lampu-lampu kota terang benderang, jelas tampak bahwa langit sudah sempurna kelamnya. Saya pun meninggalkan halaman stasiun. Menyeberangi jalanan padat di depannya. Yang menjemput saya menunggu di situ.
Sesaat sebelum naik ke boncengan, saya sempatkan untuk mengamati fasad bangunan Stasiun Yogyakarta. Stasiun bergaya bangunan art deco yang mulai beroperasi sejak 2 Mei 1887 itu, memang gagah dan menawan. Tak mengherankan jika pernah dilabeli sebagai stasiun terbaik se-Hindia Belanda.
Tidak mengherankan juga kalau sampai sekarang tetap menjadi stasiun idola. Terlebih letaknya strategis. Berada di antara Tugu Pal Putih dan Malioboro. Dengan demikian, sangat memudahkan wisatawan yang datang ke Yogyakarta dengan moda transportasi kereta api.
Sebagai tambahan informasi, saat ini Stasiun Yogyakarta merupakan stasiun utama, baik di Kota Yogyakarta maupun di seantero Daerah Istimewa Yogyakarta. Adapun pengelolaannya oleh Kereta Api Indonesia (KAI) Daerah Operasi (DAOP) VI Yogyakarta.
Lebih dari itu, Stasiun Tugu atau Stasiun Yogyakarta termasuk Cagar Budaya. Telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya melalui Keputusan Menteri No. PM. 25/PW.007/MKP/2007, SK Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) No. PM. 57/PW.007/MKP/2010, Peraturan Daerah (Perda) DIY No. 188 Tahun 2014, dan SK Menteri No. 210/M/2015.
Penutup
Demikianlah sepenggal kisah bersejarah terkait Stasiun Yogyakarta, yang dalam KAI Access berkode YK. Saya tulis khusus untuk CLICKompasiana dalam event Click bertema Stasiun Bersejarah. Semoga berfaedah.
Salam.
Ditulis dengan referensi dari heritage.kai.id dan berbagai sumber lainnya, baik sumber tertulis maupun sumber lisan dari pemandu JWT by Komunitas Malamuseum.