Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

Terkait Biaya Pendidikan Anak, Mari Jaga Marwah Anak!

22 Juni 2023   21:46 Diperbarui: 22 Juni 2023   21:54 329 18
Acap kali saya disalahpahami sebagai orang yang bergelimang uang oleh para orang tua teman-teman sekolah anak saya. Mulai dari teman TK hingga SMK. Penyebabnya, saya tak segan-segan mengungkapkan kekesalan pada sikap mereka yang hobi mengeluhkan biaya pendidikan anak.

Saya pikir, usai membaca alinea pertama tulisan ini pun di antara Anda sekalian sudah ada yang ikut salah paham. Malah mungkin plus kesal sebab menganggap saya sngong. Sok kaya. Tak punya empati terhadap sesama orang tua/wali siswa.

O, baiklah. Mari saya jelaskan alasan di balik ucapan dan sikap (tampak) songong tersebut.

Begini. Saya kesal karena paham betul situasinya. Beberapa di antara mereka bahkan jauh lebih kaya daripada saya. Jadi sejatinya mereka mengeluh bukan sebab hidup sangat berkekurangan, melainkan panik gara-gara sudah tiba waktunya pelunasan.

Sering kali yang terjadi, ketika punya uang malah untuk jajan-jajan dulu. Tidak diutamakan untuk melunasi atau mencicil biaya pendidikan anak. Pola pikirnya, "Nanti-nanti sajalah. Tenggat waktu masih lama. Sekarang buat yang lain dulu."

Lalu, tahu-tahu sudah tiba masanya tenggat waktu pelunasan. Alhasil kalau yang harus segera dilunasi adalah biaya studi tur atau acara perpisahan/pelepasan (yang kini latah disebut wisuda), si anak terancam tidak bisa ikut. Terpaksalah orang tua yang bersangkutan berutang agar anaknya bisa tetap ikut studi tur atau acara.

Kalau kejadiannya sudah begitu, kemudian keluar narasi-narasi yang mengibakan hati. Terlebih kalau hal tersebut menimpa anak TK dan SD. Tak jarang terlontar, "Masih bocah kecil saja macam-macam. Ada studi tur, ada wisuda, ada ini, ada itu. Sekolah enggak mau ngertiin kondisi orang tua blablabla ...."

Sementara faktanya, pada awal tahun ajaran baru sudah diberitahukan bahwa rencana biaya pendidikan anak sekian. Untuk kegiatan ini dan itu. Pelaksanaannya tanggal sekian. Sistem pembayarannya bisa dicicil. Bila ada usulan dan keberatan pun dipersilakan.

Ternyata tak ada yang menyampaikan keberatan!

Hingga kemudian waktu berjalan dan orang tua terpaksa melunasi tagihan dengan setengah hati. Iya, terpaksa. Namun, keterpaksaan itu amat patut disyukuri.

Coba kalau bersikeras tidak mau membayar dengan alasan tak punya uang? Anaknya 'kan menjadi korban. Kalaupun tidak diejek teman-temannya, yang pasti dia telah berkorban perasaan. Plus kecewa. Rasa percaya diri anak pun bisa turun.

Perkara marwah anak itulah yang memantik saya untuk berusaha tertib membayar biaya pendidikan anak. Kadangkala memang terasa berat, tetapi saya sudah memancangkan tekad kuat.

Sampai di sini Anda mungkin berkesimpulan bahwa jumlah rupiah yang mesti dibayarkan terlalu besar. Mungkin pula Anda berpikiran bahwa saya beruntung karena lebih berkelimpahan duit daripada para orang tua lainnya.

Sebagaimana telah saya sampaikan tadi, saya adalah bagian dari mereka sehingga paham situasi yang sesungguhnya. Tingkat perekonomian saya dan mereka setara, bahkan beberapa dari mereka justru lebih kaya. Protes dan keluhan muncul akibat biaya pendidikan anak tidak dialokasikan dengan baik. Bukan sebab ketiadaan dana.

Saya yakin bahwa selain mereka, di luaran sana banyak orang tua yang juga kurang tertib dengan keberesan biaya pendidikan anak. Belum berusaha maksimal, tetapi langsung mengedepankan protes.

Terusterang saja, saya sudah lama kerap mendengar keluhan tentang biaya "wisuda" anak sekolah. Namun, saya tak menyangka bahwa tahun ini tradisi wisuda bagi anak PAUD hingga SMA/SMK menjadi hot issue.

Kompasiana sampai menjadikannya Topik Pilihan. Kanal berita RRI Pro 3 pun membahasnya secara khusus dengan mengundang seorang narasumber.

Seserius itu ternyata perbincangan tentangnya! Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, yang sebatas jadi bahan pergunjingan dan keluhan antarteman antartetangga.

Di Kompasiana banyak kompasianer yang menuliskan topik terkait. Tentu berdasarkan sudut pandang dan pengalaman masing-masing.

Adapun yang di radio itu, karena dibuka interaksi dengan pendengar, pembahasan terasa hangat cenderung panas. Rupanya antusiasme pendengar terhadap topik tersebut juga besar.

Sekitar 99% pendengar yang menelepon, yang rupanya menjadi "korban" dari adanya tradisi wisuda, menyampaikan ketidaksetujuan mereka terhadap penyelenggaraan tradisi tersebut. Alasan ketidaksetujuannya pun 99% sama, yaitu terkait biaya yang dinilai memberatkan.

Sementara 1% sisanya setuju-setuju saja dengan syarat biaya tidak tinggi-tinggi amat dan istilah wisuda diganti. Dikembalikan saja seperti istilah zaman dulu, yaitu perpisahan atau pelepasan. Nah. Saya termasuk pendengar yang 1% ini.

Sejak awal saya merasa kurang sreg dengan penggunaan istilah wisuda bagi lulusan PAUD, TK, SD, SMP, dan SMA/SMK. Alasannya, secara makna istilah tersebut cocoknya hanya untuk peserta didik di jenjang perguruan tinggi.

Apesnya, saya malah punya pengalaman mengesalkan terkait istilah wisuda. Begini ceritanya.

Sewaktu anak saya lulus SD, pihak sekolah menulis "Pelepasan dan Penyerahan Kembali Siswa Kelas VI" di kain lebar yang menjadi latar belakang panggung. Eh, kok pihak fotografer malah mencantumkan tulisan "Wisuda Purna Siswa" pada hasil cetak fotonya.

Apa boleh buat? Mau sekesal apa pun, tetap tak bisa diralat 'kan? Nasi sudah menjadi bubur yang super halus.

Untunglah yang menyematkan istilah wisuda pihak fotografer. Jangan-jangan biaya acara seremonial perpisahan anak saya menjadi tinggi, jika yang menyematkannya pihak sekolah. Hehehe ...

Saya kok menjadi berpikiran liar. Acara seremonial kelulusan anak-anak sekolah berbiaya tinggi gara-gara disebut wisuda. Jadi, siapa tahu dengan disebut perpisahan atau pelepasan siswa seperti pada era zadoel, bentuk kegiatannya lebih simpel. Bukankah makin simpel makin sedikit pendanaannya?

Jangan buru-buru antipati demi mendengar bentuk simpel atas perayaan kelulusan sekolah. Simpel pun asalkan kreatif, tetap saja bisa keren dan mengesankan. Kiranya cuma perlu kreativitas dan ide out of the box.

Misalnya pengalaman ketika anak saya lulus TK. Tatkala itu acara kelulusan dilakukan massal oleh beberapa TK yang tergabung dalam satu gugus. Bentuk kegiatannya piknik ke bonbin plus pentas seni di situ.

Jadi sebelum acara bebas berkeliling bonbin, tiap TK menampilkan dua tarian. Para penari berdandan di sekolah masing-masing, lalu bersama-sama teman mereka yang tidak ikut tampil, berangkat ke bonbin dalam satu bus. Mereka didampingi para guru, pelatih tari, dan perias.

Di mana para orang tua? Naik bus juga, dong. Di belakang bus yang dinaiki anak-anak. Selain demi efektivitas, tujuannya melatih kemandirian anak juga.

Adapun titik kumpul dengan TK-TK lainnya langsung di parkiran bonbin. Biayanya? Saya tidak ingat persis besarannya. Namun, yang jelas murah meriah sekali. Sebab biaya aslinya memang tidak mahal, masih ketambahan pula dengan adanya beberapa donatur dari kalangan orang tua yang mampu dan baik hati.

***

Oke. Mari balik ke para pendengar radio yang curhat perihal biaya pendidikan anak, terkhusus yang untuk keperluan perayaan kelulusan sekolah.

Saya cukup tergelitik manakala narasumber dan sebagian besar pengomel (penelepon) berpendapat bahwa Mendikbudristek harus mengeluarkan peraturan yang melarang tegas penyelenggaraan wisuda di seluruh jenjang pendidikan yang bukan pendidikan tinggi.

Walaupun termasuk ke dalam golongan orang-orang yang tidak setuju dengan penggunaan istilah wisuda bagi nonlulusan perguruan tinggi, apalagi yang sampai pakai-pakai toga segala, tak urung saya tercengang juga dengan mayoritas pendapat tersebut.

Masak sih, hal beginian mesti melibatkan menteri? Bukankah semua tergantung pada kebijakan dan kebijaksanaan masing-masing sekolah? Ketimbang repot-repot menunggu keluarnya peraturan menteri, bukankah lebih baik diadakan musyawarah antara pihak orang tua/wali siswa dengan pihak sekolah?

Tentu musyawarah yang betulan. Bukan sekadar orang tua/wali siswa diundang rapat ke sekolah, sementara keputusan sudah dibuat dan tak ada opsi untuk direvisi. Kalau modelnya begitu sih bukan musyawarah namanya, melainkan pemberitahuan hasil keputusan.

Adapun idealnya, segala perkara terkait bayar-membayar untuk kepentingan sekolah anak, mesti dibahas tuntas sejak awal. Pihak sekolah dan komite sekolah wajib menjelaskan sedetil mungkin terkait jumlah dan rencana penggunaannya.

Harus dipastikan pula bahwa seluruh orang tua/wali siswa paham dengan penjelasan tersebut. Jangan sampai masih ada  yang salah tangkap terhadap hasil keputusan musyawarah.

Lebih dari itu, kalau ada sebagian orang tua/wali yang masih berkeberatan dengan besaran rupiahnya, janganlah serta-merta ketok palu bahwa suara minoritas wajib mengikuti suara mayoritas.

Alangkah bijaksana, kalau pihak sekolah beserta komite sekolah mampu bernegosiasi memberikan solusi jalan tengah. Solusi yang paling bisa ditoleransi oleh semua pihak.

Bagaimanapun komite sekolah sebagai perwakilan dari pihak orang tua/wali siswa dituntut bisa memperjuangkan "kenyamanan" seluruh orang tua/wali siswa tanpa terkecuali.

Pihak orang tua/wali siswa pun mestinya berterusterang saja bila punya keberatan-keberatan. Jangan malah marah-marah di medsos karena hal demikian justru tidak solutif.

Terlebih kalau di kemudian hari terbukti bahwa marah-marahnya karena salah paham belaka. 'Kan bikin malu anak dan diri sendiri? Sekaligus mempermalukan sekolah tempat anak belajar.

Sejauh pengalaman saya sebagai orang tua/wali siswa, sejak anak mulai bersekolah di TK hingga lulus SMK tahun ini, pada umumnya pihak sekolah kooperatif. Asalkan kita mau menyampaikan keberatan dengan cara santun dan disertai alasan-alasannya, niscaya pihak sekolah juga akan respek.

Demikianlah adanya. Harus diakui bahwa inti dari ribut-ribut perkara "wisuda" bagi anak sekolah, terkhusus yang masih TK dan SD, sesungguhnya adalah biaya dan istilah.

Apa boleh buat? Perkara biaya memang selalu menghantui dunia pendidikan. Jangankan biaya untuk kegiatan yang sifatnya seremonial. Yang merupakan biaya inti dari KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) saja kerap diprotes.

Hmm. Andai kata biaya pendidikan anak termasuk seremonial kelulusannya dibikin megah dan mewah, asalkan gratis, saya yakin tidak bakalan ada yang protes. Valid itu.

Salam.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun