Siapa yang menyangka? Saat mudik Lebaran 2023 lalu, saya bisa makan nasi gandul ditunggui Pak Ganjar Pranowo ...
Kiranya serangkaian momentum Lebaran 2023 menjadi cerita Lebaran paling mengesankan, yang pernah saya alami sejauh ini. Tepatnya mengesankan sebab kaya rasa. Nano-nano!
Senangnya ada. Sedihnya ada. Kejutannya ada. Kesalnya ada. Mengharukannya ada. Prihatinnya ada. Kocaknya juga ada. Komplet!
Sebagaimana halnya hidup yang selalu diliputi aneka rupa perasaan. Di mana suka dan duka silih berganti menghampiri. Begitu pula, di mana untung dan buntung bergiliran hadir.
Hmm. Seperti dia juga, sih. Yang kadangkala bersikap manis, tetapi tak jarang bikin nangis. Ya ampun! Malah curhat?!
Sudah, sudah. Mari kembali fokus ke cerita Lebaran 2023 saja. Hehehe ...
***
Sebermula dari 1 Syawal yang Berbeda
Cerita Lebaran saya dimulai dari Yogyakarta. Iya, tentu saja begitu. Bukankah Yogyakarta merupakan kota domisili saya sekarang?
Lebih dari itu, saya memang melaksanakan shalat Idulfitri pada tanggal 21 April. Sehari lebih awal daripada orang tua yang tinggal di Pati sana. Jadinya ya, saya memulai cerita Lebaran 2023 duluan.
Tatkala tanggal 20 April malam saya bertakbiran di Yogyakarta, orang-orang di kampung halaman saya masih melaksanakan Shalat Tarawih.
Esok harinya ketika saya melaksanakan Shalat Idulfitri, mereka masih berpuasa. Nah. Faktor inilah yang membuat saya menunda waktu keberangkatan mudik.
Semula saya hendak mudik tanggal 21 April juga. Selepas Shalat Idulfitri. Namun, saya pikir-pikir hal itu bakalan merepotkan orang tua di kampung.
Bagaimana, ya? Kalau saya dan rombongan siang-siang muncul dari jauh, rasanya kok mengusik waktu rehat mereka.
Mau tidak mau mereka akan berusaha untuk menyuguhkan apalah-apalah sebab anak cucu baru tiba. Sementara mereka sedang berpuasa dan persiapan tenaga untuk bertakbiran malamnya. Alhasil, acara mudik ditunda hingga esok hari.
Sampai di sini semua tampak baik-baik saja. Akan tetapi, dampak dari penundaan mudik itu memunculkan diri sekian jam kemudian. Jelang Ashar anak mengeluh lapar.
Saya pun terhenyak sekaligus tersadar akan sesuatu. Kami tak punya ketupat Lebaran! Adanya kurma dan sedikit kue.
Jelas-jelas saya kurang perhitungan.
Keputusan penundaan waktu mudik terjadi jelang takbiran. Jadi, momentum membuat atau membeli ketupat untuk Lebaran sudah lewat.
Sebab semula berencana mudik seusai Shalat Idulfitri, saya hanya menyediakan roti untuk sarapan. Rencananya siang hari dalam perjalanan mudik, barulah mampir makan di sebuah tempat.
Terlebih ada pula acara Syawalan RW dengan menu bakso selepas shalat. Jadi, saya pikir perut bakalan aman sampai siang. Apa boleh buat kalau kenyataan berkata lain?
Tentu order makanan melalui aplikasi daring serta-merta saya jadikan solusi. Namun, itu solusi yang gagal. Yang buka hanya lapak makanan waralaba. Itu pun rata-rata sudah habis.
Ya sudah. Ujung-ujungnya kembali ke selera asal. Mi instan! Masih bersyukur punya stoknya. Coba kalau tidak? Makin berabe 'kan?
***
Keesokan harinya selepas Subuh kami berangkat. Karena masih pagi, lalu lintas belum padat. Terlebih saat mulai keluar dari wilayah DIY. Jalanan terasa kian lengang. Namun, kadangkala terdengar takbiran. Tampaknya orang-orang sedang bersiap melaksanakan Shalat Idulfitri.
Ketika jarum jam bergerak dari pukul setengah tujuh, sesekali terlihat rombongan-rombongan yang hendak shalat. Ada pula yang sendirian atau berdua saja. Semua berjalan kaki.
Begitulah adanya. Karena sebagian besar orang Shalat Idulfitri, otomatis jalanan sepi. Perjalanan pun jauh lebih cepat. Kurang dari pukul sepuluh saya sudah duduk manis di salah satu warung nasi gandul di kawasan Puri, Pati. Untuk sarapan!
Dari Yogyakarta ke Pati dan sarapannya di Pati? Ahaiii. Tentu niatannya tidak seperti itu. Sejak di Semarang sudah cari-cari tempat makan yang buka, tetapi ketemunya di Pati.
Bisa dimaklumi, sih. Bukankah di wilayah situ baru tanggal 1 Syawal? Jadi, ada yang memang tutup atau bukanya setelah Shalat Idulfitri.
Mungkin Anda bertanya-tanya, sudah sampai Pati kok tidak langsung ke rumah orang tua? Di sana 'kan malah bisa menikmati ketupat Lebaran?
O, tidak bisa begitu. Tradisi kupatan (ketupat Lebaran) di kampung halaman saya dimulai pada tanggal 7 Syawal. Setelah orang-orang menunaikan ibadah puasa Syawal. Sebutannya riyaya kecil.
Dengan demikian, lagi-lagi tak ada ketupat Lebaran bagi saya. Sebab pada Lebaran 2023 ini, saya pun sudah harus balik ke Yogyakarta sebelum musim ketupat tiba.
Tak jadi soal. Malah punya alasan kuat untuk jajan kuliner khas Pati, yaitu nasi gandul. Bonusnya bertemu Pak Ganjar Pranowo dalam bentuk foto.
Foto beliau dipasang di dinding belakang saya duduk. Saya pun minta dipotret oleh adik. Kebetulan dia duduk berseberangan dengan saya. Tujuannya mau pamer di sosmed, kemudian diberi narasi "makan ditunggui Pak Ganjar". Hahaha!
Hasilnya? Malah yang dipotret foto Pak Ganjar saja. Tanpa saya. Payah.
Foto Pak Ganjar di situ memang cukup mencuri perhatian. Terlebih baru saja beliau ditetapkan sebagai capres. Terbukti saya beberapa kali ke-GR-an merasa diperhatikan oleh pengunjung-pengunjung lain. Yang ternyata memperhatikan foto di belakang saya. Bukan saya.
Terlebih lagi beliau berfotonya dengan pemilik warung dan keluarga. Selain membanggakan si pemilik warung, otomatis bisa menjadi testimoni tersendiri. Ini lho, Pak Gubernur saja mampir di warungku. Kok Anda tidak?
Yeah? Sesungguhnyalah perjalanan mudik kali ini bernuansa politik. Betapa tidak? Sejak dari Yogyakarta hingga balik lagi ke Yogyakarta, pada waktu dan rute yang berlainan, saya dan rombongan bertemu baliho wajah-wajah orang politik.
Selain Pak Ganjar ada Pak SBY, Om AHY, Pak Prabowo, dan banyak sekali tokoh politik lokal. Menarik sekali 'kan?
Singkat cerita, tibalah saya dan rombongan di tempat tujuan dengan selamat. Alhamdulillah. Orang tua sehat dan semua terlihat baik-baik saja.
Pastilah saya lega karenanya. Walaupun hati ini patah juga manakala bapak dengan lirih berkata, "Adikmu kok enggak datang?"
Heh? Di titik itulah saya tersadarkan bahwa bapak memang telah sangat lansia. Yang ditanyakan beliau jelas-jelas datang. Sudah bersalaman dan mengobrol dengan beliau.
Sesudah dijawab dan dijelaskan, bapak kemudian bergumam, "Sekarang aku kok lama ya kalau mengingat-ingat sesuatu?"
Allahu Akbar ...
Apa daya saya? Sepatah apa pun hati ini, realita hidup harus dihadapi. Saya mesti kembali ke Yogyakarta. Kembali berjauhan dengan beliau.