Fakta membuktikan. Ketika memperbincangkan sustainable & responsible travel orang cenderung berpikir tentang destinasi wisata yang di sono-sono. Spot-spot indah alami nan memikat hati, tetapi berlokasi nun jauh di sana.
Begitu mendengar atau membaca tentang sustainable & responsible travel, seketika yang terbayang di benak adalah destinasi-destinasi wisata premium di Indonesia. Misalnya Danau Toba, Likupang, Raja Ampat, dan sederet destinasi menawan lainnya.
Sungguh. Sama sekali tak ada yang salah dengan hal itu. Normal adanya mengingat tempat-tempat tersebut memang kerennya tak kaleng-kaleng. Elok. Berkelas dunia. Sangat layak menjadi ikon Bangga Berwisata di Indonesia saja.
Akibatnya sekian banyak destinasi wisata lain, terutama yang tidak dilabeli premium, seolah-olah terlupakan. Seperti tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan ide sustainable & responsible travel.
Sementara mestinya, ide keren tersebut meliputi semua destinasi wisata 'kan? Melibatkan juga siapa pun yang menjadi pelaku pariwisata. Bahkan secara umum, juga melibatkan masyarakat semua lapisan. Kita semua.
Sustainable & responsible travel itu 'kan intinya mengampanyekan perjalanan wisata alam yang berkelanjutan dan bertanggung jawab. Tidak meninggalkan sampah dan problema sosial seusai agenda berwisatanya.
Kalau lebih diperjelas, orang-orang diminta menjaga kelestarian alam saat berwisata. Jangan sampai niat berwisata alam malah ujungnya merusak alam. Merusak pula kebudayaan setempatnya.
Namun, apa boleh buat? Mungkin gara-gara istilahnya dalam bahasa Inggris. Sustainable dan responsible Travel. Jadi, kalangan menengah ke bawah cenderung merasa berjarak.
Bagaimana tidak berjarak, kalau ternyata tidak paham dengan pengertian sustainable & responsible travel? Nah, lho.
Heran juga sih, ya. Mengapa tidak terjemahannya saja yang lebih digaung-gaungkan? Ketimbang istilah asingnya, yaitu sustainable & responsible travel.
Memang keren jika mempergunakan istilah asing. Hanya saja, ini 'kan bukan sedang keren-kerenan istilah. Ini tentang ajakan untuk berkontribusi terhadap dunia pariwisata spot alam, tanpa merusak habitat aslinya.
Saya pernah lihat di Tiktok dan Instagram, salah seorang anggota rombongan kemah pecinta alam membuang sampah sembarangan di sekitar tenda mereka. Ya Allah. Itu kontradiktif sekali 'kan?
Katanya para pecinta alam. Kok malah merusaknya?
Pahamlah saya, mengapa Taman Nasional Gunung Merapi sampai memasang papan seperti ini.
Papan itu bertulisan "Selamatkan Taman Nasional Gunung Merapi dengan tidak membuang sampah ke alam. BAWA KEMBALI SAMPAHMU.
Rasanya kita memang punya masalah berat dengan yang namanya eksekusi dan konsistensi. Manakala ada ide baik, eksekusinya ternyata kurang sampai ke akar rumput. Semangat pelaksanaannya pun hangat-hangat tahi ayam.
Apa boleh buat? Ide acapkali dibiarkan terhidang secara absurd ke masyarakat umum. Terkesan teoretis dan bombastis belaka. Seolah-olah tak bisa dijelaskan ke khalayak dengan bahasa yang simpel. Seperti haram dipahamkan ke publik melalui istilah/perkataan sederhana.
Mungkin patokannya "kalau bisa tetap rumit dan ribet, kenapa mesti iseng membuatnya gampang? Makin rumit makin keren."
Alhasil, sementara di sono-sono mati-matian berjuang demi terwujudnya iklim sustainable & responsible travel, sebagian lainnya mungkin malah santuy. Alih-alih mendukung. Yang ada justru menggerogoti alam sebab ketidaktahuan.
Memang masih PR banget bagi instansi terkait. Sementara mestinya, semangat sustainable & responsible travel sudah terserap hingga tulang sumsum khalayak.
Mestinya begitu!
Salam.