Entahlah kenyataannya bagaimana. Yang jelas sampai sekarang, saya belum menemukan program mudik gratis jarak dekat. Misalnya dari Yogyakarta ke Pati atau dari Semarang ke Bantul.
Selalu saja yang saya ketahui adalah yang jarak jauh. Titik keberangkatan dari Jakarta. Tujuannya ke kota-kota di Jawa dan luar Jawa.
Atau seperti yang diselenggarakan pemda Jateng, titik keberangkatan mudik gratis dari kota-kota luar Jawa menuju Semarang.
Mungkin pemudik-pemudik jarak dekat dianggap tak ada yang terkendala biaya. 'Kan cuma perjalanan dekat? Tak sampai setengah hari bila perjalanan lancar.
Secara umum anggapan tersebut memang tak salah. Akan tetapi kenyataannya, sedekat apa pun jika memang tak ada uang, ya tetap jadi problema. Jahat sekali kalau ada yang nyinyir, "Cuma mudik dari sini ke situ kok enggak ada duit."
Terlebih de facto, ada yang rute mudiknya tampak dekat, tetapi sesungguhnya tidak murah biaya. Kalau dirinci dalam rupiah, justru bisa sama banyak ongkosnya dengan pemudik jarak jauh.
Contohnya saya sendiri. Tampaknya cuma butuh 6-8 jam perjalanan. Namun kenyataannya, tak secepat dan segampang dalam bayangan, bila mudik dengan transportasi umum.
Transportasi umum dari Yogyakarta ke Pati memang memadai. Ada bus dan travel. Semua pun berjalan baik-baik saja hingga tiba di terminal Pati. Di mana kerumitan dimulai, kalau tak ada kerabat yang menjemput.
Perlu diketahui, baik naik bus maupun travel, saya selalu turun di terminal kota. Tentu demi kepraktisan walaupun sebenarnya sering kali tak praktis-praktis amat.
Teorinya dari situ saya bisa langsung naik bus mini ke kampung halaman. Namun, apa boleh buat? Teori tak sejalan dengan kenyataan. Trayek bus mini untuk rute tersebut sudah almarhum.
Karena yang pasti ada ojek pangkalan, tak ada pilihan lain. Ya sudah. Naik moda transportasi yang itu. Tentu tak jadi soal bila sendirian dan barang bawaan sedikit. Selanjutnya berubah jadi kerepotan, bila bawaan banyak atau mudik berombongan.
Mustahil pakai taksi luring karena tak ada. Sementara pakai taksi daring tak senyaman dalam bayangan. Malah dipalak sopirnya. Seperti pengalaman saya sebelum era pandemi Covid-19.
Tatkala itu saya dan anak merasa lega sebab berhasil mengorder taksi daring. Ongkosnya 70 ribuan. Akan tetapi, sesampai di titik tujuan, sopirnya meminta 100 ribu. Dengan alasan, dia bakalan bingung untuk balik ke terminal kota. Ckckck.
Semula saya menolak. Ternyata lama-lama dia marah dan mengintimidasi. Ya sudah. Sebab takut, saya bayarlah sesuai permintaannya. Apes.
Sementara ongkos travel kami dari Yogyakarta edisi khusus Lebaran, sejumlah 150 ribuan. Tuh 'kan. Malah lebih murah daripada ongkos taksi daring dari terminal ke rumah ortu.
O, ya. Saya juga pernah dipalak sopir travel. Iya. Saya menyebutnya dipalak meskipun dia pasti tak merasa memalak.
Ceritanya begini. Pada suatu Lebaran saya mudik naik travel. Kebetulan sopirnya mengambil rute selatan. Sebelum sampai terminal ada satu belokan ke kanan menuju desa saya. Jaraknya kurang lebih 20 km.
Sebelumnya saya bertanya, apa sopir bersedia mengantarkan hingga ke rumah dengan tambahan ongkos? Dia bilang mau. Saat ditanya berapa jumlah ongkos tambahan, dia jawab sepantasnya saja.
Alhasil, saat turun dari mobil travel saya serahkan 50 ribu kepada sopir. Eh, kok dia mengomel kasar. Bilang kalau sedikit banget. Blablabla.
Sungguh bikin naik darah. Saat ditanya jumlah tidak dijawab. Saat diberi jumlah yang pantas, setidaknya menurut itungan saya, mengapa dia permalukan saya di hadapan para penumpang lainnya?
Usut punya usut, menurut pikirannya, tambahan ongkos 50 ribu itu untuk satu orang. Kalau yang diantar 3 orang berarti 150 ribu. Wah, wah, padahal jalannya beraspal mulus dan rute lurus saja.
Jangan bayangkan kampung halaman saya terpencil. Atau, jauh dari kemajuan dan modernitas.
Sama sekali tidak begitu. Justru warganya banyak yang berumah bagus. Komplet dengan mobil dan motor masing-masing. Nah. Di sinilah justru masalahnya.
Tiap orang punya kendaraan pribadi. Jadi, transportasi umum mati pun khalayak tak peduli. Tak peduli sebab memang tak membutuhkannya.
Yang jadi korban ya cuma orang-orang seperti saya. Yang bisa jadi, jumlahnya bisa diitung dengan jari. Saya pikir-pikir, ini keadilan di mana? Di manakah keadilan sosial bagian transportasi, bagi seluruh rakyat Indonesia? Hehehe ....
Ah, sudahlah. Sekali lagi saya cuma hendak bertanya, "Kapan ada mudik gratis bagi pemudik jarak dekat? Kapan pula ada mudik gratis, baik jarak dekat maupun jarak jauh, yang mengizinkan pesertanya tidak ber-KTP kampung halaman yang hendak dimudiki?"
Hmm. Demikian catatan curhat dari orang yang butuh mudik gratis, aman dan nyaman, serta manusiawi. Semoga bermanfaat.
Salam.