Apakah penyebabnya saya *bucin parah kepada Yogyakarta? Sebenarnya tidak juga. Ini bukan semata-mata perkara cinta, melainkan tentang fakta. Faktanya, memang ada banyak cerita tentang Yogyakarta.
Cerita tentang apa saja. Dari zaman mana saja. Dari sisi mana pun.
Terlebih tahun-tahun belakangan ini ada romantisasi Yogyakarta yang tiada tara. Yang berdampak makin banyak orang, yang merasa perlu untuk membuat cerita di Yogyakarta. Entah cerita pilu, entah cerita rindu.
Harus diakui bahwa sejak dahulu, Yogyakarta telah banyak memahat kenangan indah di hati orang-orang. Sementara orang-orang tersebut tersebar di berbagai penjuru tanah air, bahkan luar negeri. Itu wajar. Sesuatu yang normal terjadi, seiring dengan sebutan Yogyakarta sebagai Indonesia kecil.
Jangan lupa. Di Yogyakarta ada UGM, yang para mahasiswanya berasal dari seluruh Indonesia. Bahkan, tak sedikit remaja dari luar pulau yang bersekolah di SMA/SMK di Yogyakarta.
Mereka rata-rata menjadi anak kos. Murni merantau. Tanpa ada sanak kerabat di Yogyakarta. Mereka belajar, bermain, dan memperjuangkan masa depan. Tentu beserta seluruh dinamikanya.
Usai kuliah mereka kemudian meninggalkan Yogyakarta. Ada yang kembali ke kampung halaman. Ada yang pindah kota perantauan demi kerjaan. Masing-masing pastilah membawa serta segudang kenangan dan pengalaman.
Seiring waktu berlalu, mereka rindu untuk kembali ke Yogyakarta. Rindu mengobrol di *angkringan. Mereka merasa ingin pulang ke kota tempat menghabiskan masa muda.
Kiranya itulah yang membuat Penyair Joko Pinurbo memproklamasikan bahwa Yogyakarta adalah tentang rindu, pulang, dan angkringan. Yang kemudian disambut khalayak dengan sukacita karena merasa nyambung.
Perasaan rindu massal itu tersebar luas secara cepat di era internet. Terkhusus melalui medsos. Alhasil, Yogyakarta tumbuh menjadi kota tujuan wisata yang dirindukan. Menjadi favorit dan idaman banyak (calon) wisatawan.
Yang sudah pernah mengunjunginya merasa selalu ingin kembali. Yang belum pernah sampai terbawa-bawa ke dalam mimpi. Uniknya banyak orang merasa kangen berat pada Yogyakarta, padahal belum pernah satu kali pun berkunjung.
Yeah, itulah sihir Yogyakarta!
Bagi wisatawan yang gemar berfoto ria, Yogyakarta menyediakan berlimpah spot menarik. Terlebih kalau mau jeli dan blusukan. Tidak cuma mendatangi destinasi mainstream seperti Malioboro, Tugu Golong Gilig, dan Titik Nol.
Namun, jika Anda ke Yogyakarta dan sekadar mengunjungi destinasi mainstream, tentu kurang afdal. Terlebih jika sekadar berkunjung dan berfoto demi konten medsos. Tanpa ingin tahu kisah-kisah bersejarah terkait destinasi tersebut.
Sementara tiap jengkal tanah di Yogyakarta sesungguhnya menyimpan cerita. Bukan cuma cerita biasa, melainkan cerita yang mengandung sejarah.
Spot-spot ikonik yang instagramable dan menjadi favorit wisatawan, juga warga lokal, mayoritas memang merupakan warisan masa lalu. Yang berarti mengandung sejarah. Tidak hanya sejarah terkait Kraton Yogyakarta, tetapi juga sejarah perjuangan bangsa Indonesia.
Percayalah. Satu jam saja berada di area Titik Nol Yogyakarta tidak cukup untuk mengulik kisah-kisah di baliknya secara tuntas. Lebih-lebih kalau dimulai dari masa kekuasaan Sri Sultan HB I hingga masa bertahtanya Ngarsa nDalem yang sekarang.
Saya terngiang-ngiang perkataan Mas Erwin, salah satu pendiri Komunitas Malamuseum, "Kalian harus sadar bahwa 2/3 tanah di Yogyakarta ini mengandung sejarah."
Sebagai mahasiswa perantauan yang akhirnya menjadi warga lokal, saya antusias dengan perkataan Mas Erwin. Terpantik semangat untuk lebih memahami kota tempat saya berdomisili sekarang ini.
Saya pun kian rajin mengikuti Kelas Heritage yang diselenggarakan Komunitas Malamuseum. Makin rajin pula berkeliling kota bersama JWT (Jogja Walking Tour), yang merupakan bagian dari Komunitas Malamuseum.
Sekadar informasi, belakangan ada banyak komunitas yang sejenis dengan JWT by Malamuseum. Akan tetapi, bagi saya dan teman-teman yang tergabung dalam grup #purapurajogging , Komunitas Malamuseum dan JWT-nya selalu jadi andalan.
Informasi sejarah yang disampaikan pemandu dari Komunitas Malamuseum kaya perspektif. Valid karena berdasarkan referensi-referensi ilmiah tepercaya. Plus fakta bahwa komunitas tersebut memang didirikan oleh sekelompok mahasiswa Jurusan Sejarah FIB UGM (kini mereka sudah menjadi Sarjana Sejarah).
Alhasil, tiap kali usai mengikuti kegiatan yang diselenggarakan Komunitas Malamuseum atau JWT-nya, pengetahuan saya mengenai Yogyakarta bertambah. Dari satu JWT ke JWT lainnya, pelan-pelan saya berhasil mengutuhkan pemahaman terhadap Yogyakarta.
Demikianlah cerita di balik seringnya saya menulis tentang Yogyakarta. Lebih dari sekadar dorongan cinta, tetapi gara-gara termotivasi oleh informasi yang disampaikan Komunitas Malamuseum.
Akhirul kata saya cuma hendak menyampaikan, "Terima kasih, Komunitas Malamuseum. Selamat bertambah usia. Selamat menginjak tahun ke-11 (tepat 17 Maret 2023 kemarin). Semoga selalu berfaedah dan tak pernah lelah memandu kami untuk makin memahami Yogyakarta.
Salam
*bucin (budak cinta)
*the real angkringan, bukan angkringan ala kafe