Yaa Lal Wathon
Yaa Lal Wathon
Hubbul Wathon minal iman
...
Tiga hari lalu seharian telinga saya akrab dengan lantunan "Yaa Lal Wathon". Lagu karya K.H. Wahab Chasbullah (salah satu tokoh NU) tersebut terngiang-ngiang di telinga saya. Bahkan, hingga sekarang.
Sebelum hari H saya memang cek ricek medsos, terkhusus Tiktok, untuk cari-cari informasi mengenai susunan acara resepsi 1 Abad NU.
Dari informasi yang berseliweran, para pengisi acara resepsi 1 Abad NU menarik-menarik. Sangat bikin kepo. Alhasil, saya makin tak mau ketinggalan momentum. Ingin ikut bersukacita dengan warga Nahdliyin dalam merayakan ultah ke-100 "rumah besar" mereka.
Seantusias itu saya walaupun dalam hening. Lingkungan tempat tinggal saya bukan lingkungan NU. Dalam beberapa kesempatan, baik secara lisan maupun tertulis di WAG kampung, saya bahkan menjumpai komentar miring terhadapnya. Otomatis di sekitar saya tidak ada yang memperbincangkan harlah ke-100 Nahdlatul Ulama.
Terpujilah penemu internet yang telah dimampukan-Nya mempersingkat jarak dan melintasi waktu. Hasilnya? Saya bisa ikut menikmati pertunjukan-pertunjukan yang disuguhkan dalam rangka 1 Abad NU.
Saya senang menyaksikan belasan ribu banser yang kompak menampilkan koreografi Denny Malik. Tersemangati pula oleh lagu "Yaa Lal Wathon". Walaupun lirih dan terkadang ada bagian yang tak hafal, ikut shalawatan juga di depan HP.
Hingga pada suatu ketika di tengah-tengah (menonton) shalawatan itu, saya tersadar akan sesuatu. Tampaknya saya antusias bukan sekadar karena kepo. Bukan cuma tertarik gara-gara mencermati susunan acara 1 Abad NU, melainkan sedang rindu!
Saya rindu shalawatan bareng-bareng. Rindu melantunkan puji-pujian untuk Allah dan Rasul-Nya (kadangkala ada yang berbahasa Jawa juga) bersama teman-teman di masjid, saat menunggu dimulainya shalat fardlu berjamaah.
Yang paling akut, saya rindu menikmati sega berkatan alias nasi kendurian. Entahlah. Kok bisa-bisanya teringat pada sega berkatan, padahal di acara resepsi 1 Abad NU tidak ditampilkan sama sekali.
Saya bukanlah seorang Nahdliyin. Tidak pernah mondok di pesantren NU. Tidak pernah pula menimba ilmu di sekolah/perguruan tinggi milik NU. Yang berarti tidak pernah menjadi bagian dari organisasi Islam terbesar itu.
Akan tetapi, sejak lahir hingga remaja saya hidup berdampingan dengan NU. Sungguhan berdampingan secara fisik. Bukan dalam arti konotatif.
Hampir semua tetangga saya di kampung halaman, di wilayah pantura sana, adalah Nahdliyin. Yang bukan Nahdliyin pun terdiri atas nonmuslim dan orang-orang Islam awam. Nah. Dari keluarga Islam yang awam inilah saya berasal.
Mohon dipahami bahwa awam di sini tidak berarti non-Nahdliyin, tetapi merujuk pada tingkat pemahaman Islam seseorang. Blak-blakannya, saya berasal dari keluarga Islam yang pengetahuan dan wawasan keislamannya minimalis.
Tidak bisa disebut golongan yang Islamnya sebatas KTP, tetapi bukan pula termasuk golongan yang setia menghidupkan masjid kampung. Kami bukan santri.
Sementara para orang tua dari kalangan yang kami sebut santri, lazim mengirimkan anak-anak mereka ke pesantren selepas SD. Kocaknya, hal itu dahulu saya pikir sebagai sesuatu yang aneh.
Saya pikir mondok ke pesantren sama dengan tidak bersekolah. Tidak belajar banyak hal. Hanya belajar tentang cara shalat dan membaca Alquran. Tidak punya bayangan bahwa para santri juga ada yang belajar bahasa Inggris.
Saya pun belum tahu kalau ada sapaan Gus dan Ning untuk anak kiai. Yang lebih kocak, tatkala itu saya belum paham bahwa saya terlahir dan tumbuh remaja di tengah lingkungan Nahdliyin.
Iya, senaif itu.
Berjumpa Perbedaan yang Menyadarkan
Setelah lulus SMA dan kuliah di Yogyakarta yang kental tradisi Muhammadiyahnya, saya baru mengetahui banyak hal tentang NU.
Simpel saja cara sadarnya. Yang PERTAMA melalui sega berkatan. Saya terhenyak saat pertama kali tahu bahwa di Yogyakarta tidak lazim ada kendurian.
Yang KEDUA melalui doa Qunut. Saat pertama kali menjadi makmum Shalat Subuh di Yogyakarta, saya pikir imam lupa tidak membaca doa Qunut. Ternyata memang tidak memakainya.
Yang KETIGA melalui Shalat Tarawih. Saya terbiasa melakukan Shalat Tarawih 23 rakaat. Namun, Shalat Tarawih di Yogyakarta pada umumnya dilakukan 11 rakaat saja dengan tambahan kultum sebelum Shalat Tarawih dimulai.
Yang KEEMPAT melalui lantunan puji-pujian untuk Allah dan Rasul-Nya sebelum shalat fardlu berjamaah. Rupanya di Yogyakarta tidak lazim melantunkan puji-pujian serupa itu tatkala menunggu shalat berjamaah dimulai.
Tentu selain empat hal yang saya ceritakan di atas, masih ada hal-hal lain yang menyadarkan saya bahwa persaudaraan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah tetaplah diwarnai perbedaan-perbedaan.
Bukan perbedaan ajaran Islamnya, melainkan perbedaan dalam cara mengamalkan ajarannya. Terkait soal khilafiyah saja. Itulah sebabnya saya santai-santai saja menghadapinya.
Kalau berada di lingkungan Nahdliyin ya balik ke tradisi NU. Kalau di lingkungan Muhammadiyah ya mengikuti tradisi Muhammadiyah. Sungguh, tidak ada yang perlu dipertentangkan dari keduanya. Masing-masing punya landasan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. Sebagai umat, saya cuma wajib taat.
O, ya. Ada pengalaman unik saat mengajari anak shalat. Di rumah saya mengajarinya shalat dengan doa iftitah ala NU. Sementara di sekolah, dia diajari doa iftitah yang lazim dipakai oleh warga Muhammadiyah.
Anak saya yang tatkala itu masih kelas 1 SD pun protes, "Yang benar yang mana iniii? Pak Guru dan Bunda kok beda ngajarinnya?"
Pelan-pelan saya jelaskan bahwa tidak ada yang salah. Semua benar. Tinggal dipilih saja. Akhirnya anak saya berkata, "Mau pakai yang diajarkan di sekolah saja. Kalau ikut Bunda, nanti beda pas disuruh menghafalkan di depan kelas."
Saya tertawa-tawa atas keputusan cerdas si bocah. Alasannya strategis.
Yogyakarta telah membuat saya hidup di lingkungan non-Nahdliyin. Akan tetapi, hal itulah yang justru menyadarkan bahwa saya sebelumnya lekat dengan kultur NU. Inilah yang saya maksud dengan "berjumpa perbedaan yang menyadarkan".
Di Yogyakarta pula segala pikiran naif saya dahulu terluruskan. Misalnya tentang teman-teman SD saya yang dipondokkan di pesantren NU.
Simpel juga proses pelurusannya. Ternyata di fakultas tempat saya menimba ilmu, ada beberapa Gus dan Ning. Melalui mereka itulah saya tahu bahwa anak pesantren ada yang gondrong, boleh main gitar, pintar bicara tentang sastra, fasih berbahasa asing selain bahasa Arab, serta melakukan hal-hal lain di samping shalat dan bertadarus Alquran.
Sungguh sebuah kebetulan yang indah bahwa saya sefakultas dengan Ning Ienas Tsuraiyya, putri Gus Mus. Sefakultas pula dengan seorang Gus yang masih sepupunya.
Walaupun beda angkatan dan jurusan serta kenalnya cuma sambil lalu, saya cukup bisa melihat keseharian mereka. Yang ternyata biasa saja. Biasa saja yang saya maksudkan adalah idem ditto dengan mahasiswa pada umumnya.
Perlu diketahui, sebelumnya saya membayangkan bahwa penampilan seorang anak kiai berbeda dengan kalangan awam. Tidak pakai celana jeans, misalnya. Alhasil ketika melihat seorang Gus berambut gondrong dan bercelana jeans, takjublah saya.
Namun, tentu saja bobot internal mereka berbeda. Jelas lebih religius daripada kami yang awam, dong.
Andai kata saya tidak diberitahu kalau mereka Gus dan Ning, saya pasti tidak tahu kalau mereka putra-putra para kiai pemimpin pondok pesantren. Penampakan fisik memang sama dengan orang awam. Akan tetapi, "daleman" mereka jelas jauh lebih berkualitas.
Begitulah adanya. Kalau dipikir-pikir, memang unik proses saya memahami NU. Bergaul intensif dulu dengan Nahdliyin, baru paham perihal NU justru setelah hidup di lingkungan Muhammadiyah.
Mungkinkah di antara Anda sekalian ada yang punya pengalaman serupa?
Peci Pergaulan, Tantangan Masa Depan
Suatu ketika seorang teman Facebook mengadakan Give Away. Hadiahnya peci berbahan goni dengan bordiran logo NU. Saya lupa pertanyaannya apa, tetapi waktu itu amat antusias untuk mengikutinya. Sangat berharap menang sebab ingin memberikannya kepada adik.
Qodarullah, saya berhasil memenangkan Give Away tersebut. Setelah peci goni berlogo NU tiba di tangan, saya segera memotretnya dan menghubungi adik.
Saya perlu memastikan dulu apakah dia mau menerimanya atau tidak. Siapa tahu dia tidak mau? Ternyata dia malah antusias menerimanya karena logo NU itu.
Katanya, "Mau, dong. Nanti bisa kupakai ke masjid. Ke acara diskusi-diskusi juga. 'Kan kalau menjadi NU temannya banyak. Dengan memakai ini, aku seperti berkirim pesan ke orang-orang. Ini lho, aku NU. Siap menjadi temanmu."
Seketika saya tertawa-tawa mendengar perkataannya. Mendadak NU dia. Macam politisi saja. Ops!
Namun, ada benarnya juga kalau dia mengatakan NU banyak temannya. Bukankah kita sama-sama bisa menyaksikan kiprah NU selama ini? Di tengah silang sengkarut kehidupan berbangsa dan bernegara?
Kiranya tidak salah jika dikatakan bahwa NU tidak semata-mata merupakan organisasi berbasis keagamaan. Lebih dari itu, NU telah menjadi paguyuban bagi masyarakat Indonesia yang majemuk. Yang tak terasa, semua telah terjalani selama seabad.
Tentu sebagai rakyat Indonesia, saya berharap sampai kapan pun NU tetap saudaraan secara hangat dengan semua kalangan. Entah yang beragama Islam atau tidak. Entah apa pun warna keislamannya. Terkhusus dengan Muhammadiyah.
Nahdliyin generasi baru hendaknya dipahamkan tentang sejarah berdirinya NU sehingga tidak terbawa arus untuk memelihara suuzon kepada Muhammadiyah. Mereka yang bukan Nahdliyin pun harus dipahamkan.
Bukan rahasia lagi bahwa sekarang kerap ada pendikotomian tajam di antara keduanya. Jadi saya harap NU mampu memusnahkan segala suuzon itu, baik dalam arti pasif maupun aktif. Maksudnya tidak bersuuzon sekaligus mampu menghapus suuzon yang ditujukan kepadanya.
Tentu salah satu yang paling krusial adalah mengenai pemahaman terhadap konsep Islam Nusantara. Sejauh pengamatan saya, kesalahpahaman khalayak atas definisi Islam Nusantara cukup mereduksi kesan baik terhadap NU.
Sekali lagi, sekarang bukan saatnya lagi untuk gontok-gontokan demi menunjukkan siapa yang terbaik. Bukankah semua sama baik? Sekarang dunia bergerak cepat. Daripada energi habis untuk berkelahi, lebih baik dimanfaatkan untuk bersinergi. Untuk sama-sama membangun negeri ini.
Hal-hal lan sikap-sikap tidak produktif seperti itu hendaknya segera disudahi. Lebih baik NU mulai fokus membenahi kondisi internalnya. Demi meningkatkan kualitas SDM yang dimiliki.
Jadi selain membekali Nahdliyin dengan ilmu keagamaan, NU idealnya responsif dengan perkembangan zaman. Tak ada alasan untuk menghindar, Nahdliyin hendaknya mampu menguasai teknologi. Mengapa? Karena hanya SDM yang berkualitaslah yang dipercaya memberikan sumbangsih di kancah global.
Kiai D. Zawawi Imron dan AHY
Anda pasti tahu kalau AHY juga hadir di resepsi 1 Abad NU. Antusias juga beliau membagikan momentum tersebut di akun IG pribadinya. Banyak nian foto-foto yang diunggah terkait acara tersebut.
Qodarullah, salah satu foto yang diunggah membuat saya lega dan bahagia. Foto yang saya maksudkan adalah foto yang memperlihatkan AHY sedang mencium tangan Kiai Haji D. Zawawi Imron, salah satu penyair kenamaan kita.
Demi melihat foto itu saya bersyukur. Tentu bukan sebab AHY mendadak santri. Namun, karena saya menjadi tahu kabar terkini sang penyair. Alhamdulillah beliau sehat sehingga bisa menghadiri resepsi 1 Abad NU.
Apakah saya kenal dekat dengan kiai penyair asal Madura itu? Lebih baik saya sebut tidak karena kemungkinan besar, beliau tidak ingat saya lagi. Yang jelas puluhan tahun lalu, ada suatu masa kami kerap berinteraksi saat beliau bolak-balik ke Yogyakarta.
Yang membuat kami berinteraksi adalah urusan sastra. Akan tetapi, nasihat yang saya terima dari beliau justru begini, "Kalau sedang motoran, sedang naik bus, jangan lupa sambil shalawatan. Jangan malah rengeng-rengeng menyanyi."
Sebuah nasihat yang hingga kini tak terlupakan dan sebisa mungkin berusaha saya amalkan. Hmm. Jangan-jangan tempo hari AHY pun sempat dibisiki nasihat "sederhana" yang berfaedah dan tak terlupakan.
Sudah hadir ke resepsi 1 Abad NU berarti sudah menjadi teman NU, bahkan telah menjadi Nahdliyin dan semoga Nahdliyin yang tulen dari hati. Bukan karena alasan ini itu.
Semoga pula NU berteman dengan banyak kalangan tanpa pamrih. Bukan demi mendapatkan ini itu, melainkan demi Islam dan Indonesia.
Sebagaimana pesan Presiden Jokowi tiga hari lalu, " .... Semoga dapat semakin memperkokoh keislaman dan keindonesiaan ...."
Penutup
Satu hal penting lain yang mesti diingat dari gelaran resepsi 1 Abad NU adalah pesan Kiai Haji Yahya Cholil Staquf, Ketua PBNU.
Beliau menegaskan bahwa acara akbar tersebut bukan untuk bersenang-senang dan hura-hura belaka, melainkan untuk diambil keberkahannya serta bisa menjadi peringatan hari lahir yang mengesankan, yang akan menjadi cerita sampai akhir abad kedua NU nanti.
Pada akhirnya saya hanya bisa berucap, "Selamat 1 Abad NU! Selamat memasuki abad kedua yang hari ini telah terjalani tiga hari. Semoga makin banyak dilimpahi keberkahan dari Allah SWT. Semoga tetap menjadi teman banyak orang."
Salam.