Mohon tunggu...
KOMENTAR
Drama

K! -- Sebuah Naskah Monolog

15 Oktober 2011   04:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:56 6546 0
(PENONTON TIDAK DAPAT MELIHAT APAPUN YANG BERADA DI ATAS PANGGUNG. YANG NAMPAK HANYA KEGELAPAN. NAMUN MEMANG SUDAH ADA YANG BERADA DI ATASNYA. SEPERTINYA ITU ADALAH SESEORANG. IA BERGERAK DENGAN BEBAS. MENARI-NARI SEPERTI LAYAKNYA ANAK KECIL)

Kehidupan! Inilah panggung sebenarnya! Tidak ada apa-apa kecuali ruang kosong, layar putih dengan kaleidoskop yang menjelma labirin, dinding-dinding imajiner, peristiwa hilir-mudik...dan banyak pasang mata Tuhan. Inilah yang namanya panggung! Aku menggerakkan segalanya. Baik atau buruk...aku yang menggulirkan kisahnya. Lalu para pemainnya...dimana mereka? (JEDA) (SAMBIL BERTEPUK SEKALI) Datang. (SAMBIL BERTEPUK DUA KALI) Tidak datang. (SAMBIL BERTEPUK SEKALI) Datang. (SAMBIL BERTEPUK DUA KALI) Tidak datang. (SAMBIL BERTEPUK SEKALI) Datang. (SAMBIL BERTEPUK DUA KALI) Datang. (SAMBIL BERBISIK) Datangkah?

(JEDA)

Ah! Aku mendengar langkahnya mendekat. Satu. Dua. Satu. Dua. Satu. Dua. Tiga. Tiga. Tiga. Dua. (JEDA) Tidak. Jangan. Jangan! Aku bilang jangan! Jangan buka layar itu dulu! Tunggu! Tunggu!. (SUARA BERLARI KESANA-KEMARI DENGAN PANIK). Aku belum siap! Tidak! TIDAK! Aku malu! Aku malu! Aaaaargh!!!

(SUARA GARPUTALA. HENING. LAMPU FADE IN)

(TIDAK ADA APAPUN DI ATAS PANGGUNG KECUALI SESEORANG ITU. IA TIDAK TELANJANG. NAMUN TIDAK JUGA MEMAKAI APA-APA. TUBUHNYA TIDAK KECIL. NAMUN MERINGKUK SEPERTI ANAK KECIL. SUARANYA TERDENGAR SEPERTI SUARA PEREMPUAN)

Aku maluuu. (TERISAK-ISAK) Aku sudah bilang berapa kali kalau aku belum siap. Aku belum mengarang kata-kata sebagai alibiku. Bagaimana kalau nanti aku salah bicara? Aku belum mencari bukti-bukti palsu untuk menyelamatkanku. Bagaimana kalau nanti aku ketahuan sudah mencuri?

(GESTURENYA BERUBAH HANYA DENGAN SEKALI GERAK. SUARANYA KINI TERDENGAR LEBIH LANTANG. BUKAN PEREMPUAN. TAPI SEPERTI BUKAN MANUSIA. IA BERBICARA SAMBIL BERDESIS-DESIS). Mencuri? Aha! Ternyata kau menggunakan kata yang halussss untuk membela diri di depan majelissss! Ssssst! (JEDA) Aku mencium aroma udang di balik batu ketika melihatmu meringkuk sssseperti itu! Bersssiaplah! Akan kubuka gulungan kertassssku dan kubacakan daftar kejahatanmu...

(KEMBALI MERINGKUK DENGAN CEPAT) Jangan! Aduuuh, kumohon jangan! Aku malu! Aku tidak mengambil terlalu banyak. Lagipula yang lain juga berbuat seperti itu! Hanya ada yang sudah mahir dan ada yang masih harus menggunakan tutorial. Aku? Aku baru masuk kelas pemula. Ini hanya baru sekedar uji-coba! Baru kuambil sedikit, aku sudah diarak beramai-ramai. Padahal aku melakukannya terang-terangan. Aku tidak melempar batu kemudian sembunyi tangan. Aku tidak menggunakannya untuk kepentingan pribadi. Hanya untuk menerbitkan buku, apa salahnya? Lagipula itu bukan uang negara. Bukan uang rakyat. Bukan uang siapa-siapa. Anggap saja itu gajiku selama aku bekerja di tahun-tahun mendatang. Apa salahnya mengeluarkan sedikit dana untuk membuat buku? Buku itu bagus! Sumber pengetahuan! Bisa mencerdaskan orang! Lalu sambil merayakan ulang tahun? Lho! Itu ulang tahunku sendiri. Aku adalah orang yang dicintai banyak orang. Ulang tahunku juga akan menjadi peristiwa monumental yang akan dicintai siapapun. Kenapa aku dituduh mencuri?

(GESTURENYA KEMBALI BERUBAH, KALI INI JELAS GESTURE SEORANG PEMUDA. IA BERKATA DENGAN BERAPI-API). Hancurkan budaya korupsi! Istilah mencuri hanya pantas untuk penjahat kelas teri! Kau bukan penjahat kelas teri! Kadang orang yang mencuri untuk bertahan hidup, dirajam dan kemudian ditembak sembarangan! Namun korupsi yang dilakukan untuk mencuri hidup dan jatah orang lain, dipandang sebelah mata dan hanya dihujat dengan kata-kata dan propaganda. Malangnya aku! Indonesia tanah indah, subur dan makmur menjadi tanah indah, lemah dan mampu dibodohi oleh kapitalis lokal. Itu bahaya laten yang menjadi warna kepribadian zaman sekarang. Itu trend! Pembodohan adalah trend? Tidak! Lalu dimana kau berada, selain di dalam rencana ulang tahun dan promosi diri besar-besaran yang ditumpangi itikad-itikad irasional bangsa asing? Banguuuuun!!! Bahkan dengan mata terbuka kau masih sanggup menjual bangsa kita pada bangsa lain! Banguuuuun!

(LAGI-LAGI PERUBAHAN GESTURE TUBUH TERJADI DENGAN CEPAT. KINI SI SEOLAH BUKAN MANUSIA DENGAN SUARA BERDESIS-DESIS MUNCUL KEMBALI). Ya, ya, ya! Cukup! Kau mengkorupsssi hakku untuk membacakan daftar kejahatannya. Sssssst! Ada terlalu banyak telinga dissssini. Aku khawatir informasssi yang kita miliki akan dikorupssssi sssebelum ssssampai ke telinga yang ssseharusssnyaa. Sssst!

(KEMBALI MERINGKUK DENGAN CEPAT) Aku sudah bilang dari tadi. Aku tidak melakukan kejahatan apa-apa. Kalau aku punya daftar kekayaan yang luar biasa, kata siapa itu hasil selip-menyelipkan uang. Fitnah! Namaku sudah rusak karena tuduhan-tuduhan orang gila. Pemuda-pemudi dengan libido tinggi seharusnya duduk dengan benar di bangku sekolah, atau di bioskop, atau berdandan dan berjalan-jalan di pertokoan,...bukan malah ribut unjuk rasa dan membuat kegaduhan. Dunia akan tenteram kalau tidak ada demonstrasi. Hidup kedamaian! Anti budaya korupsi? Alaaa! Itu hanya kata-kata. Orang-orang sibuk bergunjing dan meracuni pikiran-pikiran sehat! Dari mulai anak TK sampai program doktoral diajarkan bahwa korupsi itu tidak baik. Curang! Mengambil yang seharusnya menjadi hak untuk orang lain! Tapi tunggu dulu! (BERDIRI DENGAN CEPAT) Aku dituding macam-macam karena semua mengenalku. Karena aku berada di atas dan mudah dilihat. Lalu bagaimana dengan yang berada dibawahku? Mahasiswa-mahasiswi bicara soal korupsi dan keadilan,...padahal apa yang sudah dilakukan dosen-dosen kesayangan mereka? Ketika mengajar tiga sks yang satu sksnya seharusnya lima puluh menit dipotong menjadi tiga puluh menit namun awal bulan gaji dibayarkan tetap sesuai dengan satu sks sama dengan lima puluh menit, apakah mereka menyadarinya? Tentu saja tidak! Mereka malah bersorak-sorai karena perkuliahan cepat selesai dan mereka bisa bersenang-senang dan pada akhirnya...(TERTAWA)...para aktivis juga mengkorupsi uang kuliah dari orang tua mereka dengan mengkorupsi waktu kuliah dan ikut berdemo. Apa bedanya dengan diriku? (SUARANYA MULAI BERUBAH DENGAN PENUH NADA KEMENANGAN) Lalu pegawai negeri tumpuan bangsa...aduhai, sulitnya menjadi salah satu dari mereka. Tapi setelah menjadi salah satu dari mereka, apa yang kemudian dilakukan? Jam kerja setengah delapan sampai pukul empat bisa dikorup jadi hanya sampai pukul dua belas. Keluar makan siang, lalu indehoi bersama rekan-rekan. Aturan main dan birokrasi menyangkut pembuatan surat-surat penduduk sipil bisa beres melalui satu orang hanya dengan membayar lebih. Lalu uangnya? Periksa semua catatan,...nihil! Uang lebih itu tidak akan ditemukan dalam data manapun. Semua masuk kas sendiri dan korupsi terjadi dalam bentuk sogok-menyogok. Lalu sekarang? Sekarang hanya aku yang dituding melakukan kejahatan?

(GESTURENYA KEMBALI BERUBAH DAN TERDENGAR SI SEOLAH BUKAN MANUSIA BERBICARA DENGAN SUARA BERDESIS-DESIS). Buodohnya luarrr biasssa! Entah apa yang dilihat oleh bangsssamu sssampai-sssampai memilihmu menjadi ssseorang pemimpin! Pemimpin yang ssseharusssnya mengimami rakyat malah merassa bahwa adalah sssah ia melakukan kesssalahan! Pemimpin macam apakah kau ini?

(GESTURE TUBUHNYA KEMBALI MEMUNCULKAN SI PEMUDA, KALI INI DENGAN SUARA TENANG, TIDAK TERLALU BERAPI-API SEPERTI SEBELUMNYA) Ini bukan kejadian luar biasa. Bangsa kita memperoleh wakil-wakil rakyat yang punya kecerdasan dan integritas yang sama seperti orang biasa. Bisa sama saja sudah bagus, namun sayangnya saat mencapai puncak, yang tampak hanya egosentris yang irasional. Gambaran kondisi rakyat menjadi permainan angka-angka dalam naskah pidato kenegaraan. Benar atau salah, berapa banyak matapun tidak akan sanggup mengetahuinya karena akan ada lebih banyak mulut dan telinga yang lebih tahu yang lebih suka memilih diam. Satu-persatu kesejahteraan kita menjadi hanya dongengan anak-anak. Padahal Tuhan mengatakan telah menciptakan alam semesta untuk semua umatNya!

(GESTURE TUBUHNYA KEMBALI BERUBAH. IA TIDAK LAGI MERINGKUK DAN MENUNJUKKAN SIKAP LEMAH, NAMUN TAMPAK MARAH) Rakyat bersikaplah sebagai rakyat, tidak perlu banyak bicara! Anak-anak bersikaplah seperti anak-anak, cukup diam dan melihat. Bicara sana-sini yang tidak perlu,...tahukah kau akan ada berapa banyak nyawa yang hilang hanya karena kata-kata?

(GESTURE TUBUHNYA KEMBALI PADA SI PEMUDA) Tahukah kau akan ada berapa nyawa yang hilang karena besarnya dana kesejahteraan perekonomian rakyat yang digunakan untuk mencetak buku, acara ulang tahun dan promosi diri besar-besaran untuk pemilihan pemimpin?

(GESTURE TUBUHNYA KEMBALI BERUBAH) Aku tidak menggunakan kas negara untuk itu! Sudah aku katakan, aku hanya menggunakan gajiku di kemudian hari!

(GESTURE TUBUHNYA KEMBALI BERUBAH) Gaji yang besarnya diperbesar sampai sepuluh kali lipat! Di kemudian hari yang masih belum jelas iya atau tidaknya!

(GESTURE TUBUHNYA KEMBALI BERUBAH) Aku sudah bilang, jangan bicara macam-macam. Cukup diam dan menonton saja! Duduk dengan manis, dengan hanya melihatpun kau sudah menjadi bagian dari sejarah. Orang-orang disampingmu hilir-mudik mengambil hak orang lain, waktu orang lain, uang orang lain, tapi kau hanya perduli pada kami karena hanya kami yang terlihat. Karena kami yang sedang berada di atas! Mengapa harus menjadi seseorang yang idealis?

(GESTURE TUBUHNYA KEMBALI BERUBAH) Ini bukan soal idealis atau tidak idealis, tapi soal hak dan keadilan! Bagaimanapun juga pemimpin adalah guru yang harus digugu dan ditiru! Bagaimana mungkin kami bisa diam, duduk manis dan menjadi penonton, kalau orang-orang yang menjadi imam kami sibuk berlomba-lomba memamerkan kekayaannya dengan promosi diri besar-besaran tapi tanpa aksi?

(GESTURE TUBUHNYA KEMBALI BERUBAH) Tunggu dulu! Aksi muncul karena ada reaksi! Itu sudah menjadi hukum fisika!

(GESTURE TUBUHNYA KEMBALI BERUBAH) Dan ini adalah reaksi kami! (SI PEMUDA MERAUNG) Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh! Untuk apa kita bersatu? Untuk mempertahankan atau mencapai apa selain impian-impian semu? Para pemimpin kami bunuh-bunuhan dengan propaganda, kami dibuat kebingungan. Yang satu berusaha menjadi lebih kaya, sedikit banyak menyelipkan semiliar dua miliar hak kami dalam daftar kekayaannya. Untuk makan saja kami sudah susah, tapi pemimpin kami sibuk dengan acara ulang tahunnya. Seratus juta digunakan untuk sebuah pesta, seratus miliar digunakan untuk promosi diri, sementara dana membangun sekolah di desa-desa tertinggal dan jalan-jalan antar kota diminimalisir sampai di bawah angka yang seharusnya! Apakah ini Indonesia kecintaan kami? Apakah Indonesia hanya akan menjadi sekumpulan angka-angka dan kata-kata sudah membaik, cukup baik,...dan predikat negara dengan angka korupsi tertinggi di dunia? (SI PEMUDA MENANGIS PUTUS ASA) Aku maluuu! Malu akuuu! Maluuu!

(GESTURE TUBUHNYA KEMBALI BERUBAH. NAMPAK KERAGU-KERAGUAN YANG TERSIRAT) Malu? Apa itu malu? Bagaimana itu malu? Kenapa harus malu dengan predikat seperti itu? Bukankah yang penting kita masih bisa hidup? Kita masih 'ada'? (JEDA) Aku malu karena takut namaku menjadi rusak dituding ini-itu oleh rakyatku. Tapi rakyatku malah malu karena aku malu kalau hanya namaku saja yang menjadi rusak. Mengapa hal ini bisa terjadi? Kemana orang-orang yang selama ini mengelu-elukan dan mencintaiku sebagai pemimpin mereka? Satu-persatu...telah pergikah? (MEMANDANG BERKELILING, SEOLAH MENYADARI SESUATU, SEOLAH MERASAKAN BAHWA IA MULAI DITINGGALKAN) Ada angin panas berhembus disekelilingku. Panas. Panass. Panasss. Mendekapku dan aku lupa bagaimana rasanya dingin. Padahal aku tidak mencuri apa-apa. Tapi mengapa mereka menatapku seperti itu? Suara-suara kecintaan mereka berubah menjadi teriakan-teriakan marah yang lapar. Padahal selama ini aku telah menjadi bagian dari mereka, dan mereka juga telah menjadi bagian dari diriku sekalipun untuk perjuangan yang tidak mereka pahami. Namun kini, satu-persatu, seorang demi seorang, mereka mulai menyelipkan sangkur dalam kata-kata. Aku mencintai kalian! Aku mencintai kalian! Tidak terdengarkah? (HENING) Mereka bilang mereka malu karena bangsanya menjadi bangsa penuh koruptor dan kotor. Mereka bilang aku telah gagal menjadi pemimpin. Bisik-bisik bahwa Indonesia adalah negara dengan seorang pemimpin boneka terdengar semakin keras. Bisik-bisik kalau aku menjual bangsaku pada bangsa lain makin sering terdengar. Tolong! Tolong aku! Mengapa layar itu tidak juga ditutup? Mengapa layar itu masih saja terbuka? (KEMBALI MERINGKUK DENGAN TUBUH BERGETAR) Aku malu. Aku malu. Aku maluuuu. (TERISAK-ISAK) Mana pemain penggantiku? (SUARA GARPUTALA. LAMPU FOCUS TO PEMAIN)

(GESTURE TUBUHNYA KEMBALI BERUBAH. TERDENGAR SI SEOLAH BUKAN MANUSIA BERBICARA DENGAN SUARA MENDESIS-DESIS) Kehidupan! Inilah panggung sssebenarnya! Tidak ada apa-apa kecuali ruang kosssong, layar putih ibarat kaleidossskop yang menjelma labirin, dinding-dinding imajinerrr, perissstiwa hilir-mudik...dan banyak passsang mata Tuhan. Inilah yang namanya panggung! Aku menggerakkan sssegalanya. Baik atau buruk...aku yang menggulirkan kisssahnya. Lalu para pemainnya...dimana mereka? (JEDA) Ah, yyaaa. Aku mendengarrr langkahnya mendekat. (SAMBIL BERTEPUK SEKALI) Sssatu. (SAMBIL BERTEPUK DUA KALI) Dua. (SAMBIL BERTEPUK SEKALI) Sssatu. (SAMBIL BERTEPUK DUA KALI) Dua. (SAMBIL BERTEPUK RAMAI) Datang. Datang. (BERHENTI BERTEPUK. SAMBIL BERBISIK) Datangkah? (LAMPU STATIS. JEDA. KEMUDIAN IA BERTERIAK DENGAN NADA PENUH KEBANGGAAN) Layarrr...DIBUKA!!

(LAMPU BLOCK OUT. PANGGUNG GELAP. SUARA GARPUTALA)

(HENING)

(PERTUNJUKAN SELESAI)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun