Itu mungkin pesan yang ada pada cerpen "Seragam" karya AK Basuki yang dimuat koran Kompas hari ini (Minggu, 12 Agustus 2012). Dan nilai itu diketahui saat membaca bagian ending cerpen itu. Sebuah ending cerpen yang mencengangkan. Mencengangkan karena tak terduga dan penuh kejutan.
Mata saya kemudian melirik seragam dinas yang tersampir di sandaran jok belakang. Sebagai jaksa yang baru saja menangani satu kasus perdata, seragam itu belum bisa membuat saya bangga. Nilainya jelas jauh lebih kecil dibanding nilai persahabatan yang saya dapatkan dari sebuah seragam coklat Pramuka. Tapi dia tidak tahu, dengan seragam dinas itu, sayalah yang akan mengeksekusi pengosongan tanah dan rumahnya.
Itulah penggalan cerpen pada paragraf terakhir atau bagian ending cerpen itu. Dan ending tersebut yang menjadi nilai lebih cerpen yang awalnya seperti cerita kenangan biasa itu.
Ibarat sebuah menu makan. Bagian ending tersebut seperti sebuah makanan penutup,misalnya buah, yang menyegarkan dan menjadikan acara makan menjadi istimewa.
Cerpen itu bercerita tentang seseorang yang berkunjung ke rumah sahabatnya di masa kecil. Kunjungan itu menjadi istimewa karena setelah sekian tahun berpisah dan juga mengingatkan kenangan masa kecil saaat sang sahabat yang dikunjunginya menolongnya dari insiden api obor yang membakar tubuhnya dan nyaris membahayakan keselamatan jiwanya. Dan seragam Pramuka sahabatnya itu yang telah melindunginya dari gigil angin malam itu. Dan seragam Jaksa yang dilihatnya tersampir di jok belakang membuatnya gamang. Gamang akan sebuah tugas kedinasan untuk mengeksekusi pengosongan tanah dan rumah sahabatnya itu.
Selain bagian ending yang mencengangkan, ada satu hal lagi yang membuat cerpen itu istimewa. Yakni penulisnya seorang Kompasianer yang cerpen-cerpennya kerap menghiasi kanal Fiksiana Kompasiana yang tercinta ini.
Salam Kompasiana!