B. J. Habibie
Pada saat lengsernya Soeharto setelah menjadi Presiden RI selama kurang lebih 32 tahun, Indonesia baru memiliki dua Presiden dalam hampir 53 tahun. Setelah itu, Presiden-Presiden silih berganti dengan amat cepat. Habibie yang menggantikan Soeharto bertahan hampir 18 bulan. Penunjukan Habibie sebagai Presiden dipandang banyak pihak sebagai perpanjangan era kekuasaan Soeharto yang tidak sah. Alhasil Habibie menjadi sasaran banyak demonstrasi, namun Habibie ketika itu mengejutkan para pengritiknya. Masa jabatan Habibie sejak awal ditandai pengakuan pragmatis dan juga keyakinannya bahwa harus memerintah secara reformis, sebab kalau tidak bisa saja terjadi revolusi (Bacharuddin Jusuf Habibie, 2006: 57-59). Habibie memunculkan sejumlah keputusan emansipatif yang mengagetkan. Di antaranya kebebasan partai politik, pemilihan umum parlementer, pelepasan tahan politik, tawaran referendum kepada penduduk Timor-Timor, penghapusan undang-undang subversi, undang-undang pers baru, undang-undang otoritas peradilan baru dan berbagai keputusan tentang HAM. Sayangnya MPR menolak pidato pertanggungjawabannya, sehingga Habibie harus turun pada Oktober 1999 dan tidak dapat dipilih kembali.
Abdurrahman Wahid
Habibie digantikan pemimpin muslim yang memiliki karakter berbeda namun terdapat beberapa kesamaan dengan Habibie, yakni sama-sama eksentrik dan tidak bisa diprediksi. Abdurrahman Wahid, seorang tokoh bangsa yang kecerdikan politiknya tidak diimbangi kemampuan fisik yang prima. Gus Dur yang cerdik dalam taktik, tapi kacau dalam strategi. Gus Dur membiarkan ambisinya yang meluap-luap mengalahkan kesehatannya yang kurang baik. Kepribadiannya yang impulsif, ditambah kabinet "Persatuan Nasional" yang terpecah-belah, parlemen yang bermusuhan, dan negara yang lemah, membuat Gus Dur mengalami kegagalan. Upaya Gus Dur membangun masyarakat yang lebih terbuka dan toleran tidak berhasil banyak, di antaranya pada awal 2000 menghapuskan pelarangan penyebaran "Komunisme, Marxisme dan Leninisme" yang ditetapkan MPRS sejak 1966 kurang mendapat respon. Sebelum akhir jabatannya, Gus Dur berupaya membubarkan parlemen, namun Juli 2001 Gus Dur harus menerima kenyataan untuk meninggalkan Istana Negara.
Megawati Soekarno Putri
Pengganti Gus Dur adalah Wakilnya sendiri, yaitu Megawati Soekarno Putri. Banyak pengamat politik ketika itu menjuluki Megawati sebagai sosok "polos namun peragu". Masa kepresidenan Megawati yang diawali dengan agenda reformis segera mandek akibat dibebani kewajiban mempertahankan kekuasaan militer yang dirasakan, selain itu juga dipengaruhi faktor-faktor lain seperti keengganannya menghadapi tatanan yang sudah mapan, nasionalismenya yang blak-blakan, konfrontasionis, unitaris, serta statismennya yang tanpa kompromi. Megawati kurang memiliki agenda jelas, selain keinginannya untuk bertindak demi rakyat biasa yang tertindas serta keinginannya kembali ke nilai-nilai Pancasila serta UUD 1945 yang telah diselewengkan Rezim Soeharto. Megawati kurang memahami bagaimana caranya mengusahakan pemulihan ekonomi Indonesia yang diperlukan. Megawati menderita kekalahan yang memilukan dari seorang mantan Menterinya sekaligus mantan Jendral di pemilihan Presiden langsung tahun 2004 yang pertama kali diselenggarakan di Indonesia. Kekalahan itu mungkin meninggalkan luka mendalam di hati Megawati, hingga dirinya tidak mau hadir pada upacara pelantikan Presiden dan menghilang untuk sementara dari dunia politik.
Susilo Bambang Yudhoyono
Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai Presiden pengganti Megawati menampilkan citra yang berbeda. Lebih terukur dan penuh perhitungan. Semisal ketika SBY mencopot Ryamizard Ryacudu yang berhaluan keras dari jabatan Panglima TNI dan menjinakan sikap permusuhan tentara terhadap perundingan perdamaian di Aceh. Sikap SBY yang terlalu hati-hati terkadang merugikan SBY sendiri secara politis dan kadang-kadang tersaingi Wakil Presiden Jusuf Kalla yang ketika itu juga memiliki kharisma dan berjiwa pengusaha. SBY dikatakan sebagai Presiden RI yang memiliki masa jabatan paling lama dibandingkan dengan Presiden lain di era reformasi ini. Pada pemilu 2009 kemarin, SBY yang berpasangan dengan Boediono terpilih kembali selama satu periode, yakni hingga tahun 2014.
Selama akhir Orde Baru dan reformasi bergulir hingga kini, gangguan yang diterima bangsa Indonesia dari segala bidang cukup banyak. Di awali dengan kerusuhan etnis, hilangnya kepercayaan rakyat terhadap negara karena bencana ekonomi, hingga munculnya buah kehampaan dari era reformasi menimbulkan kecemasaan banyak pihak mengenai masa depan, bentuk, identitas dan kapasitas negara RI. Setengah abad lebih setelah mencapai kemerdekaan, negara Indonesia mengalami pasang surut dalam mencapai tujuan karena para pemimpin (dalam arti luas) yang kurang memiliki komitmen mensejahterakan rakyat. Pertarungan, kekerasan, dan perseteruan baik dalam bidang politik atau bidang yang lain bukan sebagai sarana untuk memperkuat pemahaman akan apa yang diwakilkan Indonesia atau menyatukan bangsa Indonesia, melainkan semakin memperlebar jurang kesenjangan antar saudara sebangsa ini. Satu hal lagi yang menambah bangsa Indonesia kehilangan martabat dan semangat itu datang pada akhir tahun 2002 ketika Mahkamah Internasional memenangkan Malaysia atas Indonesia dalam perkara kepemilikan dua pulau kecil (Sipadan dan Ligitan). Semoga momentum kebangkitan nasional ini menjadi wahana Bangsa Indonesia untuk kembali kepada karakter, jati diri dan kepribadian bangsa Indonesia yang mulai rapuh.
Sumber Referensi:
Bacharuddin Jusuf Habibie. 2006. Detik-Detik yang Menetukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi. Jakarta: THC Mandiri.
Elson, R.E. 2008. The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan. Jakarta: Serambi.