Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Pancasila dan Arah Perjuangan Nasional

18 Juni 2012   17:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:48 382 0

ndangan hidup (weltanschauung), dasar falsafah (philosofische Grondslag), dan alat pemersatu. Demikian kata Soekarno ketika menyampaikan pidato “Pancasila Sebagai Dasar Negara”, di Istana Negara, tanggal 26 Mei 1958.

Soekarno, seperti juga founding fathers lainnya, yakin sekyakin-yakinnya bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke hanyalah dapat bersatu padu diatas dasar Pancasila. Seorang intelektual Indnesia terkemuka, Ignas Kleden, setuju akan hal itu.

Pun para intelektual Perancis, Marcel Bonneff, Françoise Cayrac-Blanchard, Pierre Labrousse, Jacques Leclerc, Denys Lombard, Monique Zaini Lajoubert, pernah mengupas dasar Negara kita dalam buku “Pancasila; Trente années de Débats Politiques en Indonésie, (1980)”. Dalam karya itu, Pancasila diuraikan sebagai proyek politik dan sekaligus proyek filosofis.

Sebagai proyek filosofis, Pancasila menjadi roh berbangsa. Memberi dasar tentang bagaimana arah dan susunan masyarakat Indonesia merdeka akan ditujuh: tatanan masadepan masyarakat Indonesia yang adil-makmur. Sedangkan sebagai proyek politik, Ia alat pemersatu dalam menegasikan/melenyapkan segala penyakit “kolonialisme/kapitalisme”.

Sebagai satu-satunya ideologi nasional yang memiliki pandangan progressif dalam revolusi Indonesia, Pancasila punya dua peran pokok: Pertama, sebagai dasar yang mempersatukan bangsa Indonesia. Persatuan yang mengikat batin dan memayungi seluruh gagasan dan golongan; Kedua, sebagai dasar yang memberi arah kepada perikehidupan, dan revolusi Indonesia. Menghacurkan tatanan imperlialisme, dan menandaskan hak politik (demokrasi politik) dan hak ekonomi (demokrasi ekonomi) berjalan dimuka seiring. Dengan begitu, Indonesia yang adil-makmur dapat dicapai.

Prinsip dasar dari Pancasila adalah Negara Gotong-Royong. Dasar kekeluargaan yang bertentangan dengan semangat individualisme. Dalam dasar kekeluargaan (gotong-royong), kedaulatan berada ditangan rakyat untuk menjamin kekayaan kolektif.

Untuk menjamin kedaulatan Negara dan rakyatnya, maka disusunlah Undang-Undang Dasar 1945 sebagai nilai-nilai pencerminan Pancasila. Dihadapan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), tanggal 18 agustus 1945, Soekarno menyebut UUD 1945 sebagai “revolutiegroundwet”, yang merefleksikan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia untuk merombak tatanan kolonialisme baik dalam lapangan politik, sosial-ekonomi, hukum dan budaya.

Tetapi, realitas dan cita-cita seakan bercerai. Bangsa ini seakan berjalan tanpa tujuan dan ideology. Padahal, tanpa kembali pada cita-cita proklamasi: Pancasila & UUD 1945, sejarah bangsa ini bisa bubar ditengah jalan. Bagaimana tidak, potret bangsa yang terpajang dimana-mana disesaki: konflik, disintegrasi, kemiskinan, kesenjangan sosial, pencurian budaya, korupsi, dan sebagainya.

Pemerintah sekarang ini seakan tak punya national interest. Pertemuan internasional lebih sibuk dengan “urusan bisnis”: ASEAN-Latin Business Forum. Semestinya pertemuan KTT-G20 di Los Cabos, Meksiko, dan KTT- Rio+20 di Rio de Janeiro, Brasil, memberi manfaat dan kesempatan kepada pemerintah Indonesia untuk membicarakan kepentingan kedaulatan nasional Negara Selatan, menjalin hubunganan yang egaliter, bebas aktif.

Ini penting, karena di forum-forum internasional, pemerintah Indonesia tak melontarkan sebaitpun kata protes terkait dominasi asing di lapangan ekonomi yang mengangkangi kedaulatan nasional.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) seharusnya tak membanggakan capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia seperti dalam pidato pra-KTT. Sebab, pujian pemerintah atas Pendapatan Domestik Bruto (PDB): 6,5% tahun 2011 atau setara 7.400 triliun rupiah sangatlah imperialistik. Perhitungan PDB didasarkan atas nilai pasar semua barang dan jasa, atau semua lalulintas modal dan perusahaan -khususnya asing- yang monopolis di dalam Negeri.

Dalam forum nanti, Presiden SBY bisa malu dan “tertampar keras” dari negara-negara Amerika Latin. Sebab, resep neoliberal yang disponsori Negara Utara yang terbukti gagal itu, tidak lagi laris dihati rakyat Caribia.

Negara-negara di kawasan Amerika Latin, bukan saja berhasil memagari kedaulatannya dan melindungi sector public dari interpensi asing, tetapi juga mengilhami kerjasama yang egaliter diantara Negara-negara itu, serta membangun persatuan nasional anti-neoliberalisme.

Negara di kawasan Amerika Latin yang bergeser kehaluan “nasional progresif”, begitu berani menentang nafsu Negara-negara Imperialis. Hugo Chaves di Venezuela, Evo Morales di Bolivia, Ollanta Humala di Peru, Michelle Bachelet di Chili, Daniel Ortega di Nikaragua, Fernando Lugo di Paraguay, Jose Mujica di Uruguay, Rafael Correa di Ekuador, adalah contoh pemerintahan yang berani membaktikan kekuasaanya untuk membangun kedaulatan nasionalnya demi memenuhi kebutuhan rakyatnya. Christina Fernandez, Presiden Argentina, bahkan berani menasionalisasi Yacimientos Petroliferos Fiscales (YPF), korporasi minyak terbesar asal Spanyol, Repsol.

Mereka telah sungguh merasakan, kalau neoliberalisme/imperialisme yang berdiri diatas kebebasan individu/pasar, privatisasi, deformasi negara, dan penciutan demokrasi, menurut Wakil Presiden Bolivia, Alfaro Garzia Linera, merugikan bangsanya. Pun, hal itu sangat bertolak belakang dengan Pancasila & UUD 1945. Dalam konsensus nasional (BPUPKI), para founding fathers begitu menetang semangat individualisme dan liberalisme yang menjadi akar dari kolonialisme/kapitalisme.

Sudah seharusnya resep-resep lembaga keuangan global: IMF dan World Bank (WB) tentang financialisasi, utang/bailout, investasi, pasar bebas, privatisasi, efisiensi, dan sebagainya, dibuang kekeranjang sampah. Jika tidak, Pemerintahan SBY-Budiono nampak hanya sebagai “jubir imperialis”, dimana-mana kekuasaan autopilot-nya disetir negara imperialis.

Pemerintah harus belajar dari rakyat Caribia yang sudah paham dengan watak Woshington Consensus –Neoliberalisme yang memperlakukan bangsa mereka bagai “biji wijen”: terus-menerus diperas, agar keluar untung berlipatganda buat Si imperialis.

Nasib rakyat Indonesia juga sama seperti “biji wijen”, miskin dan malarat. 44 tahun lebih dekolonialisasi belum juga berakhir. Sejak praktek dekolonisasi ini berjalan semasa Orde Baru, bangsa Indonesia sudah kehilangan cita-cita dan kemampuan untuk membangun kedaulatan nasionalnya. Seluruh kekayaan alam yang strategis dihibakan kepada modal asing.

Terlebih lagi dimasa reformasi, pemerintah memanipulir hakikat Pancasila dan UUD 1945 lewat amandemen. Hasilnya: roh anti-kolonialisme/imperialisme di dalam UUD 1945 dihilangkan untuk meloloskan produk perundang-undangan yang berbau neoliberal: “melegalisasi neokolonialisme”. Praktek liberalisasi/perampokan sumberdaya alam dan privatisasi sector publik semakin massif.

Sudah cukup 44 tahun neokolonilisme. Marilah. Semua kita maukah membangun persatuan? Membangun masyarakat tanpa exploitation de i’homme par i’homme,tanpa exploitation de nation par nation! Tetapi, tanpa menjadikan Pancasila dan UUD 1945 sebagai bintang penuntun arah(leitstar), kita hanya bermimpi memiliki Bangsa yang merdeka, berdulat dan mandiri.   * * *

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun