Mohon tunggu...
KOMENTAR
Otomotif

Becak Bertenaga Manusia, Masihkah Halal ?

8 Agustus 2012   07:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:05 284 0

Keberadaan mereka dari tahun-ketahun tak pernah hilang dari peredaran, maklum tak ada batasan pensiun. Jika berkenan-pun dapat memperpanjang masa jabatan sampai seuur hidup. Bukannya serakah dengan maksud menikmati fasilitas seperti kepala dinas, namun profesi pengayuh becak tergantung kemampuan fisik mengayuh menghantarkan muatan orang / barang sampai ditujuan.

Tragisnya, menurut sebagian dari mereka, nasib profesi ini semakin tak jelas dengan bergesernya alat transportasi manual ditengah masyarakat menuju kendaraan bermotor. Selain geliat ekonomi mikro mulai meningkat, tak terbendungnya jumlah sepeda motor juga dengan mudahnya fasilitas kredit. Jalananpun semakin hari semakin dipadati alat transportasi pribadi ini sebagai kendaraan sehari-hari beraktifitas, meskipun dinamika kepemilikan motor melalui fasilitas kredit akhirnya menyisakan masalah baru dengan keluhan masyarakat akan perampasan yang kemudian berujung konflik dengan debt-collector karena tidak diimbangi dengan pendapatan masyarakat. Ribuan sepeda motor, ratusan mobil setiap bulannya tersebar seantero Situbondo seolah menggeser popularitas alat transportasi beroda tiga yang bertenaga manusia ini. Tidak hanya ‘trayek’ jauh, jarak dekatpun akhirnya masyarakat lebih memilih menghubungi rekan-famili untuk dijemput dengan kendaraan pribadi.

Semakin kritis nasib pengayuh becak walau mencoba bertahan dengan penghasilan mereka yaitu rata-rata Rp 15.000,- perhari. Terlebihmereka harus menghidupi anak-istri dan keluarganya. Tingginya angka inflasi akibat kenaikan harga BBM kondisi merekapun semakin terhimpit sisi ekonomi. Karena ditengah aktifitas mencari penghasilan dengan becaknya mereka juga harus bon rokok dan minum di warung karena tidak satu-pun penumpang didapatkan. Sangat memprihatinkan realitas ‘abang becak’ di Kabupaten yang konon pernah mengantarkan jeragan pemilik puluhan becak Naik Haji dan membangun rumah ketika usaha pangkalan becak sedang ‘berjaya’.

Daerah ini seperti terjangkit syndrome kemapanan, hilang kepekaan terhadap nasib profesi buruh becak dengan kondisi yang jelas butuh perhatian pemerintah. Walau kadang terlampau bercita-cita tinggi untuk pembangunan sarana, prasarana, menyusun konsep ekonomi makro, investasi sampai kegiatan pembangunan yang cenderung bernuansa proyek yang tak jelas orientasinya. Padahal, buruh becak selalu menjadi objek politik busuk bagi Caleg (calon legislatif) dalam Pemilu dan Cabub-Cawabub saat Pemilukada. Mereka selalu ‘dielus-elus’ untuk mendukung dalam pencalonan mereka, karena dinilai jumlahnya cukup signifikan guna perolehan suara untuk menduduki kursi panas kekuasaan.

Apapun rasionalisasi yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Situbondo khususnya, kondisi kemiskinan ditinjau dari satu profesi (buruh becak) merupakan problem yang segera diperoleh penyelesaiannya. Paling tidak, pemerintah daerah tidak menafikan keberadaan landasan regulasi Undang Undang Dasar 1945 dimana pasal 34 Ayat 1 berbunyi “Fakir Miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara”, PP Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan penanggulangan kemiskinan. Dengan kondisi sulit yang dialami oleh ‘abang becak’ menjadi pemandangan yang dibiarkan oleh pemerintah dan kita semua.

Pertama, Seperti yang tertuang dalam PP Nomor 15 Tahun 2010 beberapa strategi percepatan meliputi ; mengurangi pengeluaran masyarakat, meningkatkan kemampuan dan pendapatan masyarakat miskin, mengembangkan dan menjamin keberlanjutan usaha mikro dan kecil, mensinergikan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan.

Kedua, Sudah saatnya momentum ini kita mulai menseriusi pelaksanaan penanggulangan kemiskinan secara signifikan demi mengangkat harkat masyarakat. Mereka merupakan bagian warga Negara yang memiliki hak yang sama dalam menikmati hasil kekayaan dan sumber daya alam yang dikelola pemerintah. Sewajarnya mereka menerima sebagian kekayaan itu dalam bentuk pogram nyata guna mengeluarkan mereka dari rantai kemiskinan yang tak kunjung mereka keluar dengan kemampuan sendiri.

Ketiga, Profesi pengayuh becak perlu dievaluasi keberadaannya. Mengingat tenaga manusia untuk dieksploitasi sudah tidak relevan lagi di era modern yang serba mesin, atau praktek perbudakan berdalih jasa transportasi manusia masih dihalalkan di Negara yang konon sangat beradab?. Adapun membantu penggunaan alat transportasi yang lebih bermartabat seperti layaknya Bentor (Becak Motor) atau Bemo type ramah lingkungan mulai dikaji dan kemudian digunakan untuk merevitalisasi alat transportasi pengganti becak di Situbondo.

Walau terasa sangat melelahkan, bagi mereka profesi pengayuh becak adalah pilihan terakhir dibandingkan menganggur dirumah karena sulitnya mencari lahan pekerjaan lain. Dan alternatif bantuan alat transportasi yang lebih layak tentunya sangat ditunggu diusia pengayuh becak yang semakin rentah. Sehingga fasilitas jalan ber-aspal tidak hanya dinikmati mereka yang bermobil mewah, tapi juga dinikmati mereka yang berada dalam cengkraman diketidak jelasan perhatian pemerintah.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun