Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

SEMUA TIDAK ADA YANG GRATIS

11 Juli 2012   16:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:03 113 1
Setelah reformasi, perasaan negara kita makin ga jelas aja. Memang sih, kita udah bebas dari beban hidup yang mengekang, yaitu jaman orde baru. Tapi walaupun kita anggap masa itu amat sensitive bicara politik yang berseberangan, tapi masih bisa menikmati jalan yang empuk, tidak grenjal grenjul bolong seperti sekarang. Ga macet, parkir gratis, belok gratis, Cuma makan di warteg aja yang ga gratis. Pada masa itu jalan-jalan di aspal, bahkan sampai ke desa terpencil sekalipun. Rakyat dibuat senang, agar tidak berfikir macam-macam mengenai politik. Pokoknya urusan perut ditanggung kenyang deh, tapi asal jangan ngurusin politik. Sekarang ceritanya sudah lain lagi, sudah bebas dari tekanan kekuasaan, bebas dari tekanan politik, karena semua orang ikut berpolitik. Orang-orang bebas berkumpul, bebas berpendapat, bebas mengkritisi penguasa, bebas blas..blas…blas… sesuai hak asasi hati kita. Tapi, walaupun bebas bukan berarti nyaman dan aman. Sekarang semua serba uang dan uang, ga ada uang abang di usir!, begitulah pepatah suami-suami takut istri. Bagaimana tidak serba uang?, tuh lihat saja di pinggir jalan, hamper semua belokan jalan sudah ada penunggunya. Dengan modal peluit ala polisi, yang iramanya memekakan telinga, setiap orang bisa narik uang. Mungkin mereka mau nyontoh polisi yang jadi oknum, yang suka main tilang pengendara pakai peluit kali?, ah ada-ada saja tuh pak ogah. Oh iya, aku jadi ingat pak ogah di film si unyil, yang setiap ada orang menanyakan sesuatu, selalu dijawab cepek duluuu doong..!. Eh, uang cepek (Rp 100) dulu mahal lho!, bisa beli kerupuk empat biji, yang harganya jigoan (Rp.25), hehe… , tuh pak ogah Cuma nongkrong di pos ronda aja, ga kemana-mana lagi, soalnya si unyil dan kawan-kawan kalau sekolah, selalu lewat pos ronda. Pak ogah ga berani pergi pertigaan jalan, atau pinggir jalan buat narik duit cepek ke mobil yang belok atau mangkal di pinggir jalan. Katanya pak ogah sih, “ogah ah, nanti aku dimarahin pak polisi!”. “Dimana-mana ada pak polisi, dipinggir jalan, di seberang jalan, di pertigaan, pokoknya ga aman lah!”, kata pak ogah. Itu cerita pak ogah beberapa belas tahun yang lalu, dimana dia merasa takut untuk melakukan tindakan yang mengganggu orang lain di jalan, karena ada polisi yang selalu mengawasi lalu lintas. Walalupun tidak ada polisi yang terlihat, tapi perasaan pak ogah terasa kurang tenang, karena takut tiba-tiba ada polisi datang menangkapnya. Tapi sekarang ceritanya sudah lain, ga seperti dulu lagi, dang a akan mungkin seperti dulu lagi. Di setiap pertigaan jalan, selalu ada yang ngejaga, katanya buat bantu ngelancarin mobil belok. Setiap berhenti di pinggir jalan ada aja orang yang pegang peluit, padahal perasaan tadi pas berhenti ga ada siapa-siap tuh!. Biarpun jalanan macet, mereka asyik aja niup peluit sambil memberhentikan mobil lain, agar mobil yang mau ngasih uang bisa lewat duluan. Ketiga petugas lalulintas datang mengalurkan lalu lintas, mereka cuek aja tanpa merasa tertanggu atau bersalah. Yang paling aneh itu, pas aku mau keluar jalan kecil menuju jalan besar. Sambil meniup pluit mereka sudah menunggu di ujung jalan, hanya tiup-tiup peluit saja, padahal jalanan lengang tanpa ada mobil lain yang menghalangi. Yah, mungkin saja factor ekonomi yang membuat mereka bekerja seperti itu, dan itu tugas pemerintah untuk memberikan lapangan kerja bagi mereka. Masih ada lagi yang harus bayar, yaitu kamar kecil (WC) di masjid. Di depan kamar kecil sudah ada yang duduk nungguin keropak dengan tulisan Rp. 1000. Niatnya sih mau sholat, karena sudah masuk waktu sholat. Tapi karena ga tahan ingin pipis, ya terpaksa pipis dulu deh!, biar sholatnya ga batal karena nahan pipis. Setelah keluar kamar kecil, aku masukan uang seribu ke dalam kotak. Tapi kalo dipikir-pikir, bukankah antara sahnya sholat dan kebelet pipis atau buang air itu sudah sepaket. Ga sah kalau sholat nahan buang air kecil atau air besar, sehingga sudah kewajiban setiap pengurus masjid untuk melayani umatnya dengan fasilitas kamar kecil tanpa harus membayar Rp. 1000. Cukup sediakan saja kotak infaq di dalam masjid, insyaallah tuh orang yang tadi pipis pasti ngasih infaqnya lebih dari seribu, dan ikhlas lagi!. Terakhir yang bikin kesel, adalah sewaktu masuk rumah sakit umum daerah. Ceritanya sih mau ngantar orang kurang kurang mampu ke rumah sakit. Dengan diantar keluarganya sewa motor ojeg, masuk pelataran rumah sakit. Sampai pintu parkir, berhenti sebentar untuk mengambil kartu masuk pelatan parkir. Di kartu tanda masuk tertulis satu jam pertama Rp. 1000,. Dan setiap jam berikutnya Rp. 1000. Setelah selesai mengantar, belum ada sejam kemudian keluarganya harus keluar lagi untuk mengambil selimut dan baju ganti, karena si pasien harus di rawat inap. Motor keluar dari halaman parkir, dan harus membayar sesuai harga tertera di kartu karcis. Sejam kemudian motor pengantar tadi masuk lagi, dan harus mengambil kartu tanda masuk lagi. Ini sudah gila pikirku, orang miskin sakit saja masih dibebani biaya parkir yang berkali-kali. Bayangkan saja, kalau dalam sehari keluarga pasien yang menjaga tersebut harus keluar masuk rumah sakit untuk beli obat di apotik atau untuk keperluan si pasien berkali-kali?. Sepuluh kali saja sudah sepuluh ribu, apalagi ditambah waktu tambahan seribu per jamnya?. Sungguh amat disayangkan, betapa segalanya harus dengan uang tanpa memperhatikan rasa kemanusiaan dan keadilan. Ah, ini hanya sekedar cerita rakyat, ga perlu diambil hati…salam!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun