"Kalau dua atau tiga tahun lalu, kehadiran delegasi Indonesia masih sebatas sebagai observer saja. Kini di ajang seperti Internasional Mathematics and Science Olympiad (Imso), Wizard At Mathematic International Competition (Wizard), International Mathematics Competition, dan Elementary Mathematics International Contest (EMIC, delegasi kita disegani bahkan menjadi ancaman bagi negara lain," katanya.
Ia mengatakan, ketua tim olimpiade dari negara peserta lain seperti Thailand dan Taiwan menilai prestasi anak-anak Indonesia di ajang olimpiade tumbuh pesat bahkan dalam waktu singkat mampu mengungguli delegasi negara-negara lain yang selama ini selalu menjadi juara.
Bahkan, Ketua Tim Olimpiade dari Thailand mengaku delegasinya sudah tersusul oleh prestasi siswa Indonesia, katanya. Mudjito mengatakan, seiring dengan semakin banyaknya ajang olimpiade internasional yang diselenggarakan di berbagai belahan dunia, maka sejumlah negara sudah ancang-ancang dengan menyelenggarakan pusat-pusat pelatihan khusus untuk olimpiade untuk bidang matematika, sains dan lainnya.
Posisi Indonesia pada ajang olimpiade internasional tingkat Asia sejajar dengan Singapura, Thailand, Taiwan dan Hongkong sehingga kehadiran delegasi Indonesia selalu menjadi ancaman bagi kompetitor.
Delegasi Indonesia menjadi juara umum pada ajang kompetisi Matematika Internasional ke-3 Tahun 2009 (The 3rd WIZMIC 2009-Wizard at Mathematic Internasional Competition 2009) di Lucknow, India pada 27-30 Oktober 2009 lalu yang diikuti 207 peserta dari sembilan negara peserta.
Gelar juara umum diraih tim pelajar sekolah dasar Indonesia setelah menyabet 10 medali emas, sembilan perak dan lima perunggu dalam 3rd WIZMIC 2009 itu. Medali sebanyak itu diraih tim Indonesia dalam kategori individual contest dan team contest.
Memprihatinkan, Pendidikan Anak Indonesia di Sabah
Anggota Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifuddin Siswanda mengatakan sebanyak 48.000 anak Indonesia di negara bagian Sabah, Malaysia, tidak memperoleh pendidikan yang layak.
"Sungguh memprihatinkan. Dari jumlah itu, hanya 12.000 anak yang mendapat pendidikan formal. Yang 12.000 itu pun sebagian besar mendapatkan pendidikan dari 'learning center', semacam sanggar belajar yang juga serba terbatas, baik fasilitas pengajarannya maupun tenaga pendidik atau gurunya," kata Hetifah, Minggu (6/11).
Menurut dia, "Learning Center" tersebut jumlahnya sebanyak 28 unit dan hanya berlangsung dua kali seminggu.
"Data ini saya dapatkan dari Konsulat Jenderal kita di Tawau," sambung Hetifah yang memang baru pulang dari Tawau, negara bagian Sabah, Malaysia Timur.
Sebelumnya, Hetifah yang anggota Fraksi Partai Golkar memanfaatkan tiga hari masa reses untuk mengunjungi konstituennya di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Timur bagian utara.
Alasan ia mengunjungi Tawau terutama karena di wilayah itu banyak warga Indonesia bekerja di perkebunan sawit Malaysia. Para pekerja ini ada yang membawa istri dan anak-anaknya.
Keberadaan anak-anak yang memerlukan pendidikan formal itulah, yang menjadi bidang Komisi X DPR RI di mana Hetifah tergabung.
Lebih fasih bahasa melayu
Dengan belajar di "learning center" yang sejatinya memang disediakan pemerintah Malaysia tersebut, mau tidak mau kurikulum pendidikan Malaysia juga dimasukkan. Bahasa pengantar pun Bahasa Melayu, sehingga membuat anak-anak tersebut lebih fasih berbahasa Melayu ketimbang bahasa Indonesia.
"Ketika saya berkunjung ke salah satu sekolah di sana, anak-anak itu baru merespons saya setelah apa yang saya katakan dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan gurunya ke Bahasa Melayu," kata Hetifah.
Apalagi, cerita Hetifah, ketika pertama datang, ia disambut para siswa dengan menyanyikan lagu kebangsaan Malaysia "Negaraku", kemudian lagu negara bagian Sabah, dan ketiga baru lagu kebangsaan "Indonesia Raya".
"Ya gak papalah, sekolah itu kan di tanah Malaysia. Masih untung mereka sudah kenal Indonesia Raya dan Sang Saka Merah Putih," ujarnya.
Selain bersekolah di 28 "learning center" yang tersebar di perkebunan-perkebunan, sebagian anak Indonesia yang beruntung mendapat pendidikan di sekolah-sekolah formal Malaysia yang disebut sekolah kebangsaan.
Hetifah mencatat ada 451 murid di SD Holy Trinity, sebuah sekolah milik yayasan Katolik, 36 murid di SD Melawar, dan 70 murid di SD Merotai.
Karena ada murid asal Indonesia tersebut, kepada sekolah-sekolah tersebut, termasuk juga di "learning center" ada guru asal Indonesia yang diperbantukan mengajar di sana.
Pada tahun 2006-2009, dan kemudian 2009-2011, jumlah guru-guru yang sudah menjadi PNS yang diperbantukan untuk mengajar di sekolah-sekolah dan "learning center" tersebut sebanyak 109 orang. "Untuk tahun 2011-2014 belum ada," lanjut Hetifah.
Ironisnya, kata Hetifah, pemerintah negara bagian Sabah cenderung mempersulit izin tinggal bagi guru-guru asal Indonesia. Guru asal Indonesia harus mendapat jaminan bahwa mereka memang bekerja sebagai guru, bukan yang lain-lain.
Oleh sebab itu, sebagai salah satu jalan keluar, pemerintah Indonesia bermitra dengan Humana, LSM setempat yang menjadi penjamin atas guru-guru asal Indonesia tersebut.
"Saya melihat bahwa pemerintah kita harus juga tegas kepada Malaysia. Kalau mau mempekerjakan TKI, harus juga menjamin hak-haknya, termasuk hak anak-anaknya untuk mendapat pendidikan yang layak," tegas Hetifah.