Sudah beberapa hari warga kampung Betal gempar membicarakan sosok bergentayangan. Keresahan ini membuat pemuda dan orang tua mengadakan ronda setelah salat Isya.
Aku berhenti di pos ronda yang diterangi lampu teplok minyak tanah karena kampungku belum ada aliran listrik. Aku duduk di pos sembari menunggu Tama. Terlihat jalanan dari tanah dan bebatuan.
"Gung, tega ya, aku ditinggal lari!" Tama tiba-tiba sudah berada di dekatku.
"Aku takut, Tam. Ada suara tangisan dan bayangan berkelebat." Aku membela diri.
"Besok lagi aku jangan ditinggal lari, ya," ujar Tama yang mempunyai postur tubuh cukup besar.
Aku dan Tama akhirnya terlibat pembicaraan seputar suasana kampung yang sedang diliputi ketakutan. Tidak terasa waktu sudah memasuki tengah malam.
Badan menggigil teringat kalau saat ini adalah malam Jumat Kliwon. Ketika kami memutuskan untuk pulang, hujan justru turun dengan lebat. Jalanan pasti berubah licin dan becek membuatku dan Tama mengurungkan niat keluar dari pos.
Hujan cukup lama mengguyur kampung menambah suasana makin mencekam. Apalagi rumah yang memiliki lampu petromax bisa dihitung dengan jari membuatku makin gelisah.
"Mas ..., Mas ..., tolong antar aku!" Terdengar suara wanita yang menjadikan tubuh bergetar. Ingin rasanya berlari. Namun, melihat Tama yang tertidur membuatku bergeming.
Tam! Tama, bangun!" Tubuh gembul itu aku goyang beberapa kali hingga terbangun.
"Ada apa lagi, Gung? Ganggu tidurku saja!" Tama duduk dan mengusap-usap mata.
"Dengar nggak suara wanita meminta tolong," ujarku memperjelas.
"Tolong, antarkan aku!" Aku dan Tama terlonjak saat suara itu terdengar lagi.
"Iya! Siapa, ya?" Sambil bergetar Tama memberanikan diri bertanya.
Angin berembus agak kencang padahal hujan sudah sedikit reda. Bau melati semerbak membuat bulu kuduk berdiri karena di sekitar pos setahuku tidak ada tanaman tersebut. Keringat dingin membasahi tubuh hingga pikiran menjadi tidak karuan. Tidak disangka, tiba-tiba wanita berambut panjang telah berdiri di hadapanku.
Ingin rasanya berteriak, tetapi bibir kelu. Aku bahkan sudah tidak mempedulikan keadaan Tama karena tubuh sudah terasa lemas melihat wanita tengah malam berada di luar.
"Mas, antar aku pulang, ya?" Wanita tersebut berekpresi datar.
"I--iya, Neng!" Tanganku menarik Tama yang bengong melihat penampakan wanita tersebut.
"Rumah Neng di mana?" Rasanya aku ingin menangis karena perasaan takut yang amat sangat.
"Di perbatasan kampung ini, Mas," jawab si wanita sembari menunjuk arah pulang ke rumah.
Aku tidak berani melihat lebih lama. Sekarang yang penting mengantar wanita misterius itu pulang secepatnya.
Kami berjalan beriringan. Wanita itu ada diantara kami berdua. Pandanganku hanya tertuju ke depan. Tidak beberapa lama, wanita di sebelah terlihat terjatuh. Tampak darah mengucur di bagian tangan dan kakinya.
Aku dan Tama hanya terpaku melihat keadaan wanita yang mulai mengeluarkan air mata tersebut. Ingin rasanya menolong, tetapi ada ketakutan luar biasa yang membuatku membiarkan dia bangun sendiri untuk melanjutkan perjalanan.
Akhirnya, sampailah kami di rumah wanita itu. Sebuah rumah tua yang tampak tidak terawat dan banyak ilalang memenuhi teras rumah.
"Mas berdua duduk dulu. Saya ambilkan minum!"
Aku memilih mengangguk dan menunduk agar tidak melihat wajah wanita tersebut. Tama mengajak duduk di sebuah bangku panjang yang tersedia di sana. Kantuk tiba-tiba datang kembali hingga akhirnya semua menggelap.
Aku terbangun saat azan subuh terdengar. Setelah mata terbuka, betapa terkejutnya ketika kusadari kami tertidur di kuburan seorang wanita yang beberapa minggu lalu mengalami kecelakaan.
Aku berlari meninggalkan Tama, teman mainku yang masih tertidur.