Di antara embun pagi yang setia menyapa dedaunan dan desir angin yang melintasi sawah hijau, ayah menulis surat ini untukmu. Bukan dengan tinta emas, tetapi dengan tetesan keringat yang jatuh di sela-sela napas panjang. Juga di antara dagangan cincau yang ayah dorong dari satu sudut kampung ke sudut lainnya.
Nak, di kota besar yang penuh cahaya itu, apakah langit masih terlihat biru secerah di sini? Apakah senyum orang-orang masih setulus tetangga kita di kampung? Ayah tak tahu bagaimana kerasnya perjuanganmu di sana, tapi satu yang ayah yakini: di setiap langkah kecilmu, doa ayah dan ibu menyertaimu.
Dagangan cincau ayah mungkin tak seberapa, tapi rezeki selalu datang dengan cara yang ajaib. Kadang ramai, kadang sepi. Tapi ayah belajar satu hal: bukan seberapa banyak yang kita dapat, tetapi seberapa ikhlas kita menerimanya. Sabar, rida, dan syukur, kata Pak Ustad, adalah kunci membuka pintu ketenangan. Dan ayah berusaha sekuat tenaga memegang erat kunci itu, di genggaman yang mulai keriput ini.
Nak, di sela riuhnya suara klakson dan hiruk pikuk kota, jangan pernah lupa pulang ke dalam dirimu sendiri. Di sanalah ketenangan sejati bermukim. Jika engkau merasa lelah, ingatlah wajah ayah dan ibu yang menunggu dengan senyum sederhana di balik pintu rumah kayu kita.
Jangan takut gagal, Nak. Gagal bukan akhir dari segalanya. Gagal hanyalah jeda sejenak sebelum kesuksesan datang mengetuk pintu. Di setiap sujud malam, ayah selalu meminta pada Allah agar hatimu dikuatkan, langkahmu dimudahkan, dan impianmu diijabah.
Adikmu di sini juga tak henti-hentinya bertanya tentangmu. Ia bercita-cita ingin kuliah agama. Ayah berharap, kelak ia bisa menjadi cahaya bagi keluarga ini, menyampaikan hikmah-hikmah ilahi yang barangkali sering terlewat oleh pandangan dunia kita yang terbatas.
Teruslah belajar, Nak. Belajar bukan sekadar mengisi kepala dengan ilmu, tetapi mengasah hati agar lebih peka pada makna kehidupan. Dalam kitab-Nya, Allah menjanjikan kemuliaan bagi mereka yang berilmu. Jangan pernah lelah menuntut ilmu, sebab ilmu adalah bekal terbaik untuk perjalanan panjangmu kelak.
Sudah dulu ya, Nak. Malam semakin larut, suara jangkrik mulai terdengar di balik gubuk kecil kita. Besok pagi-pagi sekali, ayah harus kembali berkeliling kampung dengan gerobak ini. Siapa tahu ada rezeki yang Allah titipkan di antara langkah-langkah kecil ayah.
Jaga dirimu baik-baik di sana. Tetaplah menjadi anak yang saleh, cerdas, dan rendah hati. Ayah tak pernah meminta banyak, hanya satu harapan: semoga engkau menjadi manusia yang bermanfaat, bagai pohon rindang yang menaungi banyak orang.
Doa ayah tak pernah putus untukmu, Nak. Dari ujung kampung ini, di bawah langit yang sama denganmu, ayah menitipkan namamu di setiap sujud dan sejadah panjang.
Salam rindu dari kampung halaman,
Ayah