Banyak di antara kita, dalam mengejar kebaikan hidup, sering terjebak dalam kesibukan duniawi tanpa henti. Namun, tanpa kita sadari bahwa apa yang kita kejar ternyata hanyalah bayang-bayang.
Kebaikan sejati tidaklah hanya berpatokan pada materialisme atau prestasi dunia, tetapi lebih kepada nilai-nilai spiritual yang abadi, seperti yang diingatkan oleh Ibnul Qoyyim rahimahullah. Beliau mengatakan bahwa siapa yang enggan membelanjakan hartanya di jalan Allah, maka suatu hari kelak ia akan membelanjakannya di jalan yang tidak ia sukai. Nasihat ini memiliki makna mendalam yang menjadi cerminan sikap hidup seorang Muslim dalam menggapai kebahagiaan sejati.
Menjaga Harta dengan Jalan Kebaikan
Sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnul Qoyyim, harta merupakan amanah dari Allah. Bila kita enggan menggunakannya untuk kebaikan, maka harta itu justru akan terpakai untuk sesuatu yang mungkin kita sesali kelak. Menggunakan harta di jalan Allah, seperti bersedekah, membantu mereka yang membutuhkan, dan mendukung kegiatan dakwah, bukan hanya menambah pahala tetapi juga menjaga hati kita dari ketamakan dan egoisme.
Tidak ada yang lebih mulia dari menafkahkan harta demi kebaikan dan di jalan Allah. Harta yang disalurkan dengan ikhlas untuk ketaatan akan membersihkan jiwa kita dari sifat keduniawian, yang kerap menjadi sumber dari berbagai masalah psikologis seperti kecemasan dan ketidakpuasan. Di sisi lain, ketulusan dalam memberi menanamkan rasa syukur dan kedamaian yang tidak tergantikan oleh nilai materi.
Keletihan yang Berpahala
Setiap pekerjaan menuntut keletihan, tetapi pilihan berada pada kita: apakah keletihan itu bernilai pahala atau sia-sia? Keletihan untuk Allah, seperti menuntut ilmu, mengajar, atau beribadah, akan menjadi pelipur di hari akhir nanti. Ibnul Qoyyim mengingatkan bahwa jika kita memilih tidak bersusah payah di jalan Allah, maka kita akan tetap menghadapi keletihan---tetapi untuk hal-hal yang mungkin tidak kita inginkan, seperti keletihan melayani nafsu, atau malah menjadi budak dari pandangan orang lain.
Keletihan di jalan kebaikan juga dapat meningkatkan rasa kebermaknaan hidup, yang merupakan salah satu pilar dalam psikologi positif. Dengan fokus pada amal saleh, kita akan merasakan kepuasan yang lebih tinggi dan pemahaman bahwa setiap pengorbanan bukanlah sia-sia, melainkan investasi untuk kebahagiaan abadi.
Menjaga Pikiran dengan Wahyu
Ibnul Qoyyim pun memberikan nasihat berharga tentang menjaga pikiran dari limbah pemikiran yang kotor dan merugikan. Bagi seorang Muslim, wahyu adalah petunjuk yang paling utama, yang menuntun kepada kebenaran dan kebahagiaan yang hakiki. Namun, ketika kita berpaling dari wahyu, pikiran kita mudah terjebak dalam asumsi-asumsi yang salah, hawa nafsu, atau pandangan yang menyesatkan.
Dalam konteks psikologi sosial, lingkungan dan media yang kita konsumsi sangat memengaruhi kualitas pemikiran. Mengisi pikiran dengan wahyu membantu kita membangun fondasi yang kokoh untuk mengenali mana yang benar dan salah, mana yang membawa kebaikan dan mana yang menyesatkan. Dengan demikian, pemikiran kita akan senantiasa bersih dan terjaga dari keburukan.
Meniti Jalan Kebaikan: Sebuah Pilihan
Pada akhirnya, seperti yang disampaikan oleh Ibnul Qoyyim, siapa yang menginginkan kebaikan, kebahagiaan, dan keberuntungan untuk dirinya, hendaklah ia memerhatikan hal-hal ini dengan serius. Memilih jalan yang benar adalah keputusan yang harus kita buat setiap hari, bukan hanya untuk diri kita sendiri tetapi juga bagi orang-orang di sekitar kita.
Sebagai seorang Muslim yang merindukan kebaikan, marilah kita renungkan, sudahkah kita memberikan yang terbaik bagi Allah? Sudahkah harta kita dipakai untuk kebaikan, lelah kita dihabiskan di jalan-Nya, dan pikiran kita dipenuhi dengan cahaya petunjuk-Nya?
Refleksi Hidup Menuju Kebaikan Sejati
Kebaikan hidup bukanlah sekadar capaian duniawi. Ia melibatkan niat tulus, pengorbanan ikhlas, dan ketundukan hati pada Sang Pencipta. Dalam setiap pilihan, terdapat konsekuensi yang harus kita sadari, baik di dunia maupun akhirat.