Bayangkan sejenak sebuah negeri yang semangatnya membara setiap awal bulan, saat saldo rekening masih subur dan senyum pun terkembang. Tapi anehnya, begitu menginjak tanggal tua, Senin mendadak jadi hari paling ditakuti di kalender. Ibarat tamu tak diundang, Senin ini datang dengan muka tanpa dosa, mengintip dari jendela saldo yang mulai merana. Menggelikan, bukan?
Sejatinya, Monday Syndrome ini mungkin bukan masalah Senin-nya, tapi justru efek dari dompet yang sudah lelah bekerja keras. Ibarat filosofi alam semesta, Senin yang datang di tanggal tua seolah-olah mau berkata, "Jangan berharap terlalu banyak, karena bahagia itu mahal, terutama kalau sisa saldo lebih sedikit dari harga kopi."
Bagi mereka yang bekerja keras, Monday Blues ini mungkin ibarat angin. Berhembus di saat yang salah, masuk tanpa diundang, hanya untuk mengingatkan bahwa akhir pekan telah berlalu. Anehnya, semakin kosong saldo, semakin berat anginnya. Aneh, ya? Senin di tanggal muda terasa ringan seperti kapas, tapi begitu masuk ke tanggal tua, beban Senin seolah ditambah pemberat. Bukan anginnya yang berubah, mungkin beban kita saja yang tambah galau.
Di momen-momen seperti ini, Monday Syndrome menjelma jadi sahabat kocak yang tahu semua rahasia: tahu kapan kita sedang bokek, kapan kita lagi galau. Dia datang tepat waktu, nggak pernah terlambat. Seperti ingin menertawakan kita dari pojokan, hanya untuk berkata, "Tenang aja, aku datang sebagai pelengkap kegalauanmu sebelum gajian."
Nah, pernah nggak sih mikir, kenapa semangat kita kok bisa mendadak loyo tiap Senin di tanggal tua? Bisa jadi karena saldo di rekening kita yang menipis ikut mempengaruhi mood kita. Bukan cuma badan kita yang capek, tapi mental kita juga kecapekan ngitung sisa uang, berharap semangat datang diiringi nada dering transfer gajian.
Senin di tengah bulan itu kayak pengingat halus yang menyentil kita, "Ayo, bangun! Pekerjaan nggak cuma butuh waktu, tapi juga saldo yang masih sehat." Sering kali, kita malah mendapati bahwa bukan hari libur yang berkurang, melainkan angka saldo yang berkurang. Jadi, kalau Senin terasa berat, mungkin bukan karena hari Senin-nya, tapi ekspektasi kita yang ingin santai tapi kondisi dompet lagi berdendang lirih.
Di situasi seperti ini, Monday Blues jadi seperti tamu yang datang di pesta yang salah. Kita ingin menyambutnya dengan senyuman, tapi tiap kali kita melihatnya, hati kecil hanya bisa menatap nanar dan mengeluh, "Sabar ya, Monday, kita cuma bisa temenan sementara saldo masih ada."
Jadi kenapa ya, Monday Syndrome ini sering datang di tanggal tua? Mungkin karena dompet kita sedang ikut 'puasa', menanti hari bahagia saat saldo kembali berbunga di akhir bulan. Monday Blues, akhirnya, jadi bukan sekadar sindrom, tapi satire kehidupan yang mengajarkan kita untuk sabar, bahwa semangat akan selalu terikat sama saldo yang tinggal bersisa seiprit.
Akhirnya, selamat menertawakan Monday Blues yang sudah jadi sahabat sejati di hari-hari tanpa saldo.